Cendekiawan mana yang tak tahu ungkapan “Cogito Ergo Sum”, sebuah konsepsi filsafat yang keluar dari ijtihad briliant Rene Descartes. “Aku berpikir maka aku Ada”. Konsep ini menunjukkan pada kita bahwa eksistensi manusia ada pada sejauh mana manusia menggunakan pikirannya. Di mulai dari rasa ragu akan semua hal, kemudian mempertnyakan, lalu memikirkannya. Di lain pihak, Newberg dan Waldman memiliki sudut pandang berbeda, “Credo Ergo Sum” Aku percaya maka aku ada. Konsep yang satu ini menekankan bahwa “percaya” adalah dasar eksistensi manusia. Tidak ada kepercayaan sama dengan tidak ada keberadaan.
Credo versus Cogito, lagi lagi pertarungan antara instuisi dan logika, antara iman dan akal, antara otak kanan dan otak kiri. Masing-masing memiliki argumentasinya. Jadi mana yang benar-benar benar?. Bagi saya sendiri, sebuah mouse tetap membutuhkan yang namanya klik kanan dan klik kiri, bahkan keduanya saja belum cukup, perlu ada scrool, laser, atupun punggung mouse sandaran telapak tangan.
Saya sendiri lebih condong pada cogito sebagai setapak awal menuju puncak ergo sum. Mengapa bukan credo? Saya meyakini bahwa kepercayaan pun diawali dengan sebuah keraguan. Dan untuk menjawab keraguan, manusia perlu berpikir. Setelah itu barulah kita bisa melangkah pada setapak credo. Dari cogito, saya pun menemukan setapak baru, sebuah pijakan yang berlandaskan kesok-tahuan untuk menuju eksistensi diri.