Cendekiawan mana yang tak tahu ungkapan “Cogito Ergo Sum”, sebuah konsepsi filsafat yang keluar dari ijtihad briliant Rene Descartes. “Aku berpikir maka aku Ada”. Konsep ini menunjukkan pada kita bahwa eksistensi manusia ada pada sejauh mana manusia menggunakan pikirannya. Di mulai dari rasa ragu akan semua hal, kemudian mempertnyakan, lalu memikirkannya. Di lain pihak, Newberg dan Waldman memiliki sudut pandang berbeda, “Credo Ergo Sum” Aku percaya maka aku ada. Konsep yang satu ini menekankan bahwa “percaya” adalah dasar eksistensi manusia. Tidak ada kepercayaan sama dengan tidak ada keberadaan.
Credo versus Cogito, lagi lagi pertarungan antara instuisi dan logika, antara iman dan akal, antara otak kanan dan otak kiri. Masing-masing memiliki argumentasinya. Jadi mana yang benar-benar benar?. Bagi saya sendiri, sebuah mouse tetap membutuhkan yang namanya klik kanan dan klik kiri, bahkan keduanya saja belum cukup, perlu ada scrool, laser, atupun punggung mouse sandaran telapak tangan.
Saya sendiri lebih condong pada cogito sebagai setapak awal menuju puncak ergo sum. Mengapa bukan credo? Saya meyakini bahwa kepercayaan pun diawali dengan sebuah keraguan. Dan untuk menjawab keraguan, manusia perlu berpikir. Setelah itu barulah kita bisa melangkah pada setapak credo. Dari cogito, saya pun menemukan setapak baru, sebuah pijakan yang berlandaskan kesok-tahuan untuk menuju eksistensi diri.
Sotoyyo Ergo Sum.
********************
Aku sotoy maka aku Ada. Sebelum menjelaskan konsep ini. Saya hendak menceritakan dari mana gagasan ini bermuara.
Syahdan, dua anak muda yang pikirannya selalu digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Sebut saja si Ganteng dan si Gagah. Saat itu mereka berdua berada di atas bus tujuan Jakarta, selepas menghadiri sebuah acara Musyawarah Nasional di Yogyakarta. Sepuluh jam di bus itu cukup lama. Terlalu sayang rasanya jika dihabiskan hanya untuk tidur. Mereka berduapun mengobrol panjang lebar meskipun saat itu sudah tengah malam. Bahan pembicaraan tak pernah habis, tiap topik selalu saja menyebrang ke topik berikutnya, dari perkuliahan, akuntansi, organisasi, filsafat, keagamaan, sampai gibahin orang. Entah kenapa? Mungkin karena suara mereka terlalu keras, tiba-tiba seorang teman yang duduk di kursi belakang _mungkin_merasa terganggu dan setengah berteriak, “Kajian Sotoy”.
Si Ganteng berbalik dan bertanya, ”Kajian itu apa? Sotoy itu apa?”. Teman yang tadi pun cuma diam.
“Berarti kamu juga sotoy”, Kata mereka berdua.
Si Ganteng menambahkan, “Ini sih bukan kajian, karena perbedaan kajian diskusi dengan ngobrol biasa terletak pada unsur notulensinya”. (Jadi, diskusi tanpa notulensi hanyalah ilusi. Krik Krik).
Setelah itu, obrolanpun berlanjut hingga kantukpun memberatkan mata mereka. Namun ada sedikit yang masih tersangkut dalam otak Si Ganteng. Sebuah bisikan bahwa Sotoy bisa saja ada pada tiap manusia, atau mungkin semua gagasan hanyalah kesotoyan belaka?.
Beberapa hari kemudian sebuah pertemuan diskusi_yang sudah agak rutin_ diadakan didepan pintu masuk Auditorium Al-Hamra’, Masjid Andalusia. Pertemuan ini dihadiri oleh makhluk makhluk terpilih dimuka bumi yang sebagian besar adalah Kaum Hijau Hitam _termasuk Si Ganteng dan Si Gagah_. Diskusi mereka membahas hal-hal apa saja yang mencoba menggelitik libido intelektual mereka. Dan pada malam itu diskusi berujung pada sebuah closing statement yang dikutip oleh anak muda yang agak tua bernama Muiz. “Jika agama adalah angkot, maka Islam adalah Taksi”.
Si Ganteng pun tertarik dengan kalimat tersebut sampai-sampai mengupdatenya pada akun twitter. Diakhir kalimat, ia mencantumkan hashtag #kajiansotoy. Entah kenapa kata kajian sotoy masih memiliki daya tarik untuk menggelitik pikiran Si Ganteng. Beberapa teman-teman di pertemuan pun memberi berbagai macam respon positif terhadap #kajiansotoy.
Pada pertemuan diskusi selanjutnya, muncul gagasan untuk memberi nama pertemuan tersebut. Pada saat itu cuma satu usulan yang muncul dan diterima oleh semua hadirin. Kajian Sotoy. Kajian yang mewadahi semua ke-soktahu-an manusia. Forum yang memberi ruang hanya untuk mereka yang berani sok tahu. Perkumpulan ini berjalan konsisten dengan tak lepas dari peran kaum hijau hitam yang selalu menghidupkan diskusi, terutama Joni, Khanif, Putu, Taufiqaani, Iqbalaani, Harapan, Alau, Inyong, nengsi dan Andi yang begitu antusias mengajak yang lain.
Kajian Sotoy. Sejak awal, Nama tersebut diterima tanpa pertimbangan akan maknanya. Sehingga lama kelamaan sebagian yang lain memberi usul untuk menjadikan Sotoy sebagai akronim dari kepanjangan yang bermakna positif. Amou mengusulkan “SOlusi Terbaik Orang Islam”, meski terkesan maksa dihuruf I. Ada juga yang mengusulkan “ShOdrun ThOYyibun” (Dada/hati yang baik) namun maknanya agak absurd. Dan hingga saat ini, penamaan Kajian Sotoy masih tanpa pemaknaan yang jelas, karena sebarapa keras dan banyak anda memaknainya, pemaknaan tersebut tak lebih dari kesotoyan belaka. Jadi sotoy tetaplah sotoy.
*******************
Menurut saya ini unik, maka dari itu Penulis pun hendak bersotoy ria untuk memahami dan memaknai sotoy itu sendiri.
Sotoy adalah sebuah istilah yang entah dari mana asal usulnya, diartikan banyak orang sebagai kepanjangan dari “Sok tahu”. Nah dari sini saja kita sudah bersotoy, bahwa sotoy itu artinya sok tahu. Padahal mungkin saja artinya bukan, walaupun kayaknya sih iya, hehehe.
“Sok” merupakan adverbia yang selalu dianggap negatif. KBBI mengartikannya “berlagak (suka pamer dsb)”, “merasa mampu dsb, tetapi sebenarnya tidak”.
Jika ini memang yang diterima oleh Umum. Maka sah-sah saja. Tapi bagaimana jika sejenak kita keluar dari koridor normalitas dalam pemaknaannya.
Sotoy ini seringkali dilontarkan untuk orang orang yang suka berargumen tanpa dalil dan referensi yang jelas hingga mereka hanya akan dianggap berlagak tahu. Fenomena ini seringkali menahan seseorang untuk berargumen sebelum menemukan bukti, referensi, serta dalil otentik yang jelas. Lama kelamaan hal ini hanya dijadikan alibi untuk berapologi karena rasa takut dan canggung untuk berpendapat. Padahal bisa saja argumen tanpa dalil dan referensi mengantarkan kita dan orang lain pada pencarian dalil dan referensi itu sendiri.
Lagi pula dari mana asal referensi itu sendiri?. Bukankah itu lahir dari ide-ide para pemikir yang awalnya merasa tahu?. Lalu mereka membuktikan kesotoyannya dengan berbagai eksperimen. Lagi pula lagi, Dalil maupun referensi apapun bisa saja dianggap kuat oleh sebagian kalangan namun lemah bagi sebagian kalangan, diterima oleh sebagian golongan tapi ditolak oleh sebagian golongan.
Dan jika dipikir pikir, siapa sih yang benar benar tahu. Pada dasarnya manusia tidak diberi ilmu kecuali sedikit. Apa yang kita ketahui masih menyembunyikan misteri yang tak kita ketahui. Ketidaktahuan itu yang membuat Ilmu selalu dinamis. Yang kemarin benar bisa jadi salah saat ini. Dan yang hari ini salah bisa jadi benar esok hari. Dalam pencapaian hakikat kebenaran, akan selalu ada kontradiksi untuk setiap pernyataan dan gagasan. Seperti formula dialektika hegelian. abstract-negative-concrete. Atau biasa kita kenal dengan thesis-antitesis-sintesis.
Maka dari itu, pada ruang abnormalitas, Sotoy saya artikan “berani merasa tahu”. Merasa tahu bahwa dirinya tahu sehingga berani mengumandangkan argumennya untuk menguji apakah thesis nya memperoleh respon anti thesis. Atau merasa tahu bahwa dirinya tidak tahu sehingga tak takut jika disalahkan, karena ia meyakini bahwa kesalahan tak lain adalah kebenaran yang sedang menyamar.
Mengakui kesotoyan merupakan salah satu proses dalam berdialektika. Ketika thesis yang kita kemukakan ternyata ditentang oleh pendapat yang lebih masuk akal (anti-thesis), maka kita hanya perlu meramu dan merakitnya menjadi sebuah sintetis yang lebih baik. Dan jangan lupa! sempatkan waktu untuk menertawakan kesotoyan kita di fase sebelumnya.
Penulis rasa, penamaan Kajian Sotoy menunjukkan sebuah upaya ketawaddhu’an intelektual. Kata sotoy akan selalu mengingatkan kita bahwa pemikiran-pemikiran kita saat ini tidak selamanya dan akan terus menerus pas dan pantas dengan zaman. Suatu saat kita akan menertawakan kesotoyan itu. Karena Kita semua hanyalah penafsir dari ayat-ayat Nya. dan sebagaimana yang dilontarrkan Cak Nun “Bahwa Tafsir belum tentu benar, Yang Benar itu adalah yang ditafsirkan. Maka jangan sombong dengan tafsirmu, Jangan sombong dengan mazhabmu”.
Mungkin segini dulu cuap-cuap zap-zapnya, segala pendapat ini juga tak terlepas dari kesotoyan penulis. Tapi setidaknya dengan sotoy ini, penulis pun sedikit bereksistensi. Karena Aku Sotoy Maka Aku Ada.