Sudah seminggu Ilo’ mendekam di penjara pasca tuduhan kasus asusila tersebut. Meskipun statusnya masih tersangka dan diizinkan untuk beraktivitas di luar seperti biasanya, baginya sama saja, mau di mana pun semuanya seperti penjara. Gerak nya semakin terbatas. Di mana-mana banyak mata. fans dan pers sama sama mengintai. Bersiap untuk menghujani nya dengan berbagai pertanyaan. Cape' Deh.
Dalam keadaan seperti ini, mungkin penjara memang tempat yang lebih baik untuknya menikmati kesunyian dan menjalani perenungan. Ia melihat bahwa sejarah telah mencatat sejumlah mutiara mutiara yang bersinar di balik jeruji. Seperti Nelson Mandella yang dibalik penjara sempat menulis karya berjudul "Conversation with Myself". Bung Hatta menulis "Indonesia Vrij". Ada juga Pram dengan tetralogi Pulau Buru nya. Hamka dengan Tafsir al-Azhar nya. Ibnu Taymiyah dengan Majmu' Fatawa. atau Sayd Quthb dengan Tafsir Fi Zilal al-Qur'an dan Ma'alim fi al-Thariq. Ilo’ sempat berpikir mungkin dia juga harus menulis karya seperti mereka. Tapi menulis apa? dan untuk apa?. Biar abadi? biar dikenal dan dikenang?. Toh, Ia sudah terkenal. Dan ia juga tak perlu menulis untuk dikenang, sebab dialah sang objek yang ditulis. Para jurnalis sudah beberapa kali menulis tentang dirinya di kolom kolom media. Para penulis sudah banyak menulis buku biografi tentangnya. “Jadi Untuk apa?” alasan itu tak ia temukan. Namun andaikan ada alasan yang paling logis untuknya menulis, mungkin adalah “untuk siapa?”. Ya. Tapi untuk siapa?.