Thursday, 2 February 2017

La Garetta' #10 [Di Balik Jeruji]

        Sudah seminggu Ilo’ mendekam di penjara pasca tuduhan kasus asusila tersebut. Meskipun statusnya masih tersangka dan diizinkan untuk beraktivitas di luar seperti biasanya, baginya sama saja, mau di mana pun semuanya seperti penjara. Gerak nya semakin terbatas. Di mana-mana banyak mata. fans dan pers sama sama mengintai. Bersiap untuk menghujani nya dengan berbagai pertanyaan. Cape' Deh.

Dalam keadaan seperti ini, mungkin penjara memang tempat yang lebih baik untuknya menikmati kesunyian dan menjalani perenungan. Ia melihat bahwa sejarah telah mencatat sejumlah mutiara mutiara yang bersinar di balik jeruji. Seperti Nelson Mandella yang dibalik penjara sempat menulis karya berjudul "Conversation with Myself". Bung Hatta menulis "Indonesia Vrij". Ada juga Pram dengan tetralogi Pulau Buru nya. Hamka dengan Tafsir al-Azhar nya. Ibnu Taymiyah dengan Majmu' Fatawa. atau Sayd Quthb dengan Tafsir Fi Zilal al-Qur'an dan Ma'alim fi al-Thariq.  Ilo’ sempat berpikir mungkin dia juga harus menulis karya seperti mereka. Tapi menulis apa? dan untuk apa?. Biar abadi? biar dikenal dan dikenang?. Toh, Ia sudah terkenal. Dan ia juga tak perlu menulis untuk dikenang, sebab dialah sang objek yang ditulis. Para jurnalis sudah beberapa kali menulis tentang dirinya di kolom kolom media. Para penulis sudah banyak menulis buku biografi tentangnya. “Jadi Untuk apa?” alasan itu tak ia temukan. Namun andaikan ada alasan yang paling logis untuknya menulis, mungkin adalah “untuk siapa?”. Ya. Tapi untuk siapa?.
*************

Sejak hari pertama di lapas, Ilo’ mendapati pemandangan penjara tidak seperti yang ditayangkan film-film hollywood, ia bahkan tidak menemukan tahanan berwajah sangar, bertato dan berbadan kekar. Yang ia temukan justru wajah wajah tahanan yang sepertinya familiar di media massa.

Tentu saja. aparat tidak akan tega melepasnya ke dalam jeruji kelas teri. Para tahanan di sana terdiri dari segerombolan preman, pencopet, pembunuh yang konon katanya paling benci dengan pelaku pencabulan. Resikonya terlalu besar. Dipenjara tersebut para pelaku cabul menjadi target siksaan tahanan lain yang haus akan pelampiasan. Sementara people’s power di luar sana sudah sangat sulit untuk dikontrol. Kira kira apa yang akan terjadi jika tahu idolanya lecet sedikit saja?.

Di dalam penjara Ilo sepertinya sudah tak membutuhkan proses sosialisasi dengan tahanan lain. Semua orang sudah mengenalnya. Bahkan sebelum ia tiba disana, para penghuni jeruji langsung mendengar desas desus bahwa sel mereka akan kedatangan seorang superstar.

“Ayo, mas Ilo! Gabung sini. Ngopi dulu”. Sapa seorang pria berbadan tambun, tatkala suatu hari Ilo memasuki kantin.

Pria tambun itu bernama Karim, ia merupakan tahanan yang terjerat kasus korupsi. Di sebelahnya bernama Robby, seorang tahanan mafia pajak. Seminggu bersama para tahanan seperti mereka, tak sedikitpun Ilo melihat rasa penyesalan dan bersalah di wajah mereka. Sebab masing-masing bertindak sesuai dengan apa yang mereka yakini benar.

“Aku tidak berpikir yang ku lakukan itu merugikan negara loh!. Toh duit itu, tiga puluh persennya ku sumbangkan di yayasan amal dan kegiatan sosial. Empat puluh persennya ku investasi kan ke sektor potensial biar sanggup menyerap tenaga kerja dan menambah nilai ekonomis. Sisanya ku belanja kan untuk diri sendiri dan keluarga, anggap saja upah pengabdianku selama ini. Lagipula konsumsinya pun di dalam negeri, untuk produk bangsa kita juga. Jadi toh uangnya tetap bergulir di negeri kita sendiri. Ujung ujungnya tetap bermanfaat.”

“Setuju pak! Selama digunakan di dalam negeri sendiri, angka pendapatan nasional kita tetap stabil kok. Yang salah itu kalau korup nya di negara kita, uangnya di bawa keluar negeri. Investnya di negeri orang. konsumsi nya untuk produk orang lain.”

       Begitulah! ada saja alasan untuk berapologi, berusaha mengampuni perbuatan diri sendiri meski nurani hendak mengadili. Tak lama kemudian tiga orang tahanan muncul memasuki kantin. Seminggu di jeruji, wajah mereka tampak asing di mata ilo’.

“Siapa mereka?”

“Oh, Mereka tahanan yang baru masuk kemarin. Bapak berkepala botak itu seorang pejabat yang digugat kasus korupsi” Jawab Robby.

“Korupsi lagi?”

“Tapi dengar dengar dia dijebak sama atasannya”

“Difitnah?” tanya ilo’, agar lebih jelas bahwa dia akan punya teman senasib.

“Sepertinya. Kalau anak muda di dekatnya itu terjerat kasus narkoba. Ayahnya seorang pejabat, makanya bisa mendapat fasilitas seperti kita”

“Kalau yang terakhir?” Tanya Karim penasaran.

“Hadeh, masa kau gak tahu?. Dia Marlin, tersangka kasus penistaan agama yang juga akhir akhir ini ramai dibicarakan.”

“Ow, ada juga yang seperti itu?.”, ilo’ heran. Bertambah lagi dong koleksi spesies di jeruji ini.

“Tapi Kok bisa sampai sini. Yah”, Robby pun heran.
“Kan memang ada undang undangnya. Lagi pula isu SARA memang rawan jika disentuh. Akan banyak yang akan merasa terlucuti pakaiannya.”

“Jiaah, bahasa mu cuk”

“Lah! gini-gini aku bekas negarawan loh” Karim membela diri.

“Simplenya gini, andaikan kita disuruh memilih, mending bisa makan tapi gak punya rumah atau punya rumah tapi bisa gak bisa makan?”

“Sudah pasti mending bisa makan dong”

“Sekarang, mending bisa makan tapi gak punya pakaian atau mending punya pakaian tapi gak bisa makan?”

“Hmmm, mending gak bisa makan yang penting gak telanjang.”

“Itu dia.”

“Itu dia apanya?”

“Sandang dulu, baru pangan, lalu papan. Pakaian itu harga diri. Kita adalah bangsa yang memiliki harga diri. Sejak dulu kita sudah diajarkan untuk menjaga pakaian martabat terlebih dahulu”

”Dan pakaian martabat itu bisa apa saja, entah itu kebanggaan suku, fanatisme agama, fanatisme organisasi atau nasionalisme. Jadi jangan heran ketika menyenggol sedikit tentang agama, banyak orang yang merasa tersinggung. Karena banyak orang melekatkan harga dirinya pada pakaian bernama agama, yang sudah pasti akan merasa ditelanjangi ketika ada yang mengusiknya."

“Seriusan nih? tahanan korupsi ngomongin martabat dan harga diri. Hahahaha”

Ilo dan Robby tertawa. Karim pun demikian.

Sejenak ilo’ berpikirenung. Bukankah aneh. Mengapa harga diri dimetaforakan oleh Karim pada sandang saja?. Apakah karena itu juga, ketika rumah dan tanah kita diusik, bangsa ini masih bisa asik. Ketika sumber pangan dijarah untuk kepentingan semenisasi, kita masih bisa tertidur dan tertawa renyah. Namun ketika sandang bernama agama disentil sedikit, semua langsung turun merasa terlucuti. “Bukankah, seharusnya agama lebih dari itu.” Desisnya dalam hati. Mungkin ia harus memesan beberapa buku pada bapak sipir.

Karim dan Robby masih saja asik ngobrol sambil tertawa. Hingga suara berisik mereka menarik perhatian tiga tahanan baru tersebut. Si penista agama melirik, sekilas bertatap mata dengan Ilo. dan ia hanya membuang senyum.

Ditengah hangatnya obrolan mereke. Tiba-tiba suara sirine berbunyi,  semua penghuni kantin bertanya -tanya “ada apa gerangan?”. Tak terkecuali para Sipir yang dengan segera mengonfirmasi melalu walkie talkie. Suara gaduh itu terdengar di luar.

“Apaaa? Penjara kelas Teri Bobol?. Segera perketat penjagaan disekeliling area! Jangan sampai satupun ada yang kabur”, teriak salah seorang kepala sipir yang mendapat kabar.

Anehnya suara gaduh itu semakin jelas. Braaakkkk duumm, suara dentuman pintu terdengar. Segerombolan pria kekar bertato muncul berdatangan dengan mata menyala mencari cari sesuatu. Tahanan lain semakin bengong, bukankah mereka tek seharusnya ke sini jika ingin kabur.

“Kami dengar seminggu lalu ada tahanan baru karena kasus pencabulan. Mana orangnya?”, teriak salah satu dari mereka.

      Tiba tiba semua mata di kantin melirik Ilo sebagai isyarat.
Comments
0 Comments

No comments: