Sekilas tentang Perpustakaan Kelamin
Novel ini
bercerita tentang seorang tokoh bernama Hariang yang dibesarkan oleh seorang
Ibu yang sangat mencintai buku. Di dalam rumah, ada sebuah ruangan yang sangat
dirahasiakan oleh ibunya. Tiap kali Hariang menanyakan perihal tersebut, ibunya
selalu mengelak dengan berkata “Kamu belum waktunya tahu”. Tak jarang perihal
tersebut menimbulkan pertengkaran diantara mereka berdua.
Barulah ketika
Haring beranjak Dewasa, ia kembali memberanikan diri untuk kembali
menanyakannya. Dan kini Ibunya mengizinkan. Saat dia membuka ruangan tersebut,
ia terkejut. Ruangan yang selama
ini ia kira makam ayahnya ternyata
adalah sebuah perpustakaan dengan ribuan buku
yang dikumpulkan dari hasil keringat ibunya selama ini. Uniknya, rahasia
yang selama ini ditutupi oleh ibunya merupakan sebuah metode yang sengaja
diterapkan sang Ibu.
"Merahasiakan
ruangan ini dari kamu, adalah mutlak rencana ibu. Alasan ibu sederhana, biar
kamu terus bertanya, merindukannya, lalu jatuh cinta kepada yang ibu rahasiakan
itu, sesaat setelah kamu mengetahuinya”
“Ibu hanya
ingin kamu jatuh cinta kepada buku, menganggapnya sebagai benda yang istimewa”
Akhirnya
Hariang dan Ibunya membuka perpustakaan tersebut untuk masyarakat desa dengan
nama Pabokan Kadeudeuh (Sunda : Perpustakaan Kasih Sayang) . Hadirnya
perpustakaan itu sedikit demi sedikit membawa minat baca pada warga desa, bahkan
orang luar desa / kota pun sering datang untuk mencari tambahan referensi. Pabokan Kadeudeuh bak
oase intelektual bagi masyarakat desa Cigendel.
Suatu ketika
perpustakaan itu mengalami kebakaran. Api melahap segalanya, tak ada buku yang
tersisa, semuanya menjadi abu. Kebakaran ini membawa dampak psikologis pada Ibu
Hariang. Kewarasannya tergocang. Hariang
melihat ibunya tenggelam dalam keadaan mengerikan dibanding kematian.
Saat itu ada
sabda yang masuk dalam jiwa Hariang. Bahwa jalan satu satunya untuk
mengembalikan Ibunya seperti yang dulu adalah dengan membangun kembali Pabokan
Kadeudeuh. Namun dari mana Hariang mendapatkan buku tersebut dalam waktu singkat?.
Tiga bulan ia
bekerja serabutan, baru 400 an buku yang terkumpul, ini masih jauh dari harapan.
Ia tak bisa menunggu lama lagi , ia tak tahan melihat ibunya tersiksa lahir
batin. Di tengah frustasi itu, nama Kang Ulun melintas ke dalam pikirannya. Seorang
sahabatnya yang sedang membutuhkan donor kelamin dengan menjanjikan imbalan sebanyak
1,5 Milyard. Inikah jalan satu-satunya untuk mengembalikan kesehatan ibunya?.
Buku tentang Buku
Menurut saya
perpustakaan kelamin merupakan buku tentang buku. Banyak sekali dialog-dialog
para tokoh dalam novel ini yang membahas tentang dunia kepustakaan dan
karya-karya penulis legendaris. Contohnya dialog antara Hariang dan ibunya
tentang Puisi Sutardji Chalzoum Bachri dalam buku O Amuk Kapal (Hal. 17) atau tentang
perkawinan sejarah kertas yang ditemukan oleh Tsai lun dan mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes
Van Guttenberg. Atau diskusi para Barudak PAKU atas Karya Fernando Baez yang
berjudul “Penghancuran Buku dari masa ke masa”. Juga ketika sedang buang
hajat, Hariang membaca karya Patut Widjanarko “memposisikan Buku di Era
Cyber”, dan ia menemukan hal menarik tentang Jenis jenis para
Penggandrung buku yang begitu unik. (Hal. 27)
Meskipun materi-materi
dialognya terasa kurang natural dan terkesan dibuat-buat _itu menurutku, yah
namanya juga cerita_. Tak jarang penjelasan demi penjelasan dalam cerita
mengutip pendapat para tokoh dan penulis dalam bukunya. Sehingga saya merasa
bahwa buku ini juga semacam katalog dalam bentuk cerita. Saya _ sebagai
orang yang belum begitu banyak mengkonsumsi buku_ banyak menemukan judul buku-buku menarik yang sepertinya diam diam direkomendasikan oleh penulis
untuk kita baca.
Selain,
itu buku ini sekilas menggambarkan etika dan adab seseorang terhadap buku dan
ilmu pengetahuan. Diceritakan bagaimana Ibu hariang sangat menghormati para
penulis sampai-sampai tiap malam ia membaca surah Yasin untuk mereka _yang Hariang
kira Ibunya sedang mendoakan sang Bapak.
“Hariang,
Ibu merasa berhutang budi kepada para penulis buku. Karena mereka telah
bersusah payah menangkap berbagai realitas, yang kemudian diteks-kan,agar kita
semua bisa membacanya hari ini. Itulah kenapa ibu selalu membaca surat Yasin
kepada mereka…. ” (Hal.8)
Di kalangan
santri pesantren, adab seperti ini seringkali diajarkan, yakni mendoakan pengarang sebelum atau sesudah mempelajari
kitabnya, sebagai rasa terima kasih atas upaya mereka, yang semoga dengan itu
Tuhan membukakan pintu pengetahuannya untuk kita juga.
Sindiran untuk Dunia akademisi dan Budaya
Literasi
Selain
memperkaya khazanah akan kepustakaan , Saya menemukan ada dua eksistensi
lembaga dalam cerita, yang saya pikir WOW untuk diaktualisasikan di dunia
nyata. Keduanya hadir sebagai kritik atas kondisi literasi dan akademisi kita saat ini.
Pertama adalah
PAKU, yang merupakan akronim dari Pasukan Anti Kuliah. PAKU merupakan
perkumpulan yang diikuti oleh Hariang. Organisasi ini diikuti oleh mereka yang
kena DO, mereka yang malas kuliah, yang tidak kuliah, atau mereka yang tidak
lulus seleksi perguruan tinggi. Kegiatan perkumpulan ini cuma dua yaitu diskusi
buku dan membasuh kaki ayah dan ibu (Hal 139). Menurut saya, PAKU merupakan
sebuah ekstensi kritik akan dunia akademisi saat ini yang begitu _maaf_
komersil dan feodal. Beberapa satire dan sinisme bisa kita temukan ketika para
Barudak PAKU kembali mengutarakan alasannya masing masing, mengapa mereka ikut
dalam perkumpulan tersebut.
“Aku Reni.
Terlalu banyak dosen yang tidak terbuka dengan pikiran pikiran dari mahasiswa.
Setiap kali aku membantah argumennya, dia malah mencela, bahkan membeciku.
Inilah yang jadi alasanku masuk PAKU.”
“Saya
Bajri. Kampus memperlihatkan dirinya dalam bentuk feodal, tapi PAKU
memperlihatkan dirinya penuh kesetaraan.”
“Tantri, Panggil saja aku begitu. Aku memilih
masuk PAKU dibanding kampus. Dengan biaya yang sangat mahal, kampus belum tentu
membuatku menjadi orang bermutu. Tapi PAKU tanpa biaya, tanpa visi mis yang
jelas, telah bisa membuatku dikelilingi ilmu.”
“Dani nama
saya. Di PAKU, buku diposisikan sebagai peradaban. Di kampus saya, buku tidak
ubahnya seperti seonggok mainan.”
“Kampus
membentuk saya menjadi sarjana Fakultatif. Dan PAKU mengajarkan saya menjadi
sarjana Universitas. Saya Unang” (Hal 101-102)
Ibu Hariang
juga tak kalah pandangannya “Perkuliahan adalah ritual penantian ijazah”
(Hal 39)
Anda tentu
boleh saja tidak sependapat dengan mereka, mengingat masih banyak hal positif
yang bisa ditemukan di dunia perkuliahan, namun pendapat-pendapat mereka juga
tak bisa kita nafikan, sekaligus menjadi bahan refleksi untuk kita khususnya para civitas yang
terlibat langsung dalam dunia akademisi. Bahkan seorang Margeret Maid saja
pernah berkata “Nenek ingin aku meperoleh pendidikan, itu sebabnnya ia
melarangku bersekolah”.
Kedua adalah
Pabukon Kadeudeuh, yaitu perpustakaan yang dibuka oleh Hariang dan ibunya untuk
masyarakat desa Cigendel. Buku bukunya merupakan hasil keringat dari ibu
Hariang selama 19 tahun. Dari tiap hasil kebunnya, ia selalu menyisihkan
sebagian untuk dibelikan buku. Dari sini, Ibu Hariang ingin menunjukkan kepada
kita bahwa buku bukanlah barang ekslusif yang hanya layak dan dapat dimiliki
oleh orang kaya ataupun akademisi saja.
Adanya Pabukon
Kadeudeuh dalam cerita ini sungguh relevan dengan atmosfer budaya literasi yang
masih memprihatinkan. Data statistik UNESCO 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di negeri ini baru mencapai 0,001. Yang artinya, dari setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. PAKU dan Pabukon Kadeudeuh merupakan dua contoh lembaga yang setidaknya mampu memantik kapada kita untuk terus meningkatkan budaya literasi kita yang masih rendah.
*************
Dari berbagai
lika-liku alur dan dialog yang disajikan penulis tentang masalah sejarah, pendidikan, perbukuan, kesusastraan, keagamaan
hingga sex dan feminisme, semuanya akan bermuara pada satu pertanyaan. Akankah
Hariang mendonorkan kelaminnya?. Organ tubuh yang bentuknya memang sepele,
namun ia adalah segala galanya.
Endingnya?. Benar
benar Kampretos bin bangsatos. Menarik untuk diikuti.
Ciledug, 26
Januari 2017