Dalam sebuah rapat, seorang stakeholder asmara mereview lembar demi lembar laporan akhir tahun.
Sekilas, Neraca hati tetap seimbang. Meski dengan puluhan penyesuaian dan koreksi patah hati tersembunyi di dalamnya.
Sekilas, trend laba rugi asmara tetap stabil. Begitupula dengan perubahan modal cinta. Namun sekilas arus kas terasa sepi.
Lalu, ia pun mencoba menafsirkan kisah di setiap deretan angka dan akunnya. Menguak misteri di balik digit-digit rasa yang gelisah. Rasio pun dimainkan.
"Hmm, likuiditas kenangan tampak menurun. Ada apa?"
Bertanya ke manajer perasaan. Di jawabnya, liabilitas rindu jangka pendek bahkan belum bisa terbayar hanya dengan aktiva sapa darinya.
"Hmmm, profitabilitas tetap positif. Tahukah kamu dari mana datangnya laba?"
Dari pendapatan harapan yang lebih besar dibanding beban beban penyesalan.
"Tidak”, tiba tiba auditor logika bersuara.
Ada yang tidak wajar, Hati ini tidak baik baik saja. Coba periksa kembali tiap transaksi yang tercatat di jurnal memori!
Ketika belanja ada aktiva pada pasiva.
Ketika bayar ada pasiva pada aktiva.
Ketika isu saham ada aktiva pada ekuitas.
Ketika rindu, Ada aku pada kamu.
"Sepertinya tak ada masalah”, sahut manajer perasaan membela diri.
"Tidak!, keluarkan semua voucher, faktur, berita acara dan segala bukti bukti transaksi asmara di masa lalu"
"Lihat! Tumpukan faktur-faktur itu!”
Besarnya pendapatan harapan tak lain dari jelmaan piutang tak tertagih. Ilusi pengakuan. Bertepuk sebelah tangan. Yang tersisa hanyalah angan. Ya, Investasi asmara tidak menghasilkan apa apa selain faktur-faktur janji.
Suasana hening.
Auditor tersenyum.
Manajer tercenung.
Sang Stakeholder merenung.
Mungkin sudah saatnya membiarkan hati yang lama terakuisisi. Ada ratusan perusahaan. Ada ribuan perasaan. Dan masih banyak lahan-lahan Investasi yang baru.
Tangerang, Desember 2016