Syahdan,
Nabi Isa AS. pernah melihat seorang lelaki mencuri. Ketika Sang Nabi bertanya,
“Apakah engkau mencuri?”. Lelaki itu menjawab “Tidak! Demi Allah yang tiada
Tuhan melainkan Dia!”. Maka Sang Nabi pun langsung percaya pada pria itu dan
mendustakan apa yang telah ia lihat.[1]
Kalimat
sumpah “Demi Allah”, sudah berabad abad menjadi kalimat sakral yang memiliki
otoritas kebenaran atas sebuah pernyataan. Sumpah ini sering diungkapkan dengan
lafaz Wallahi, Tallahi, Billahi atau
bisa juga dengan menyandingkan kata sumpah dengan asma ataupun sifat Allah
seperti “Demi Arrahman” atau “Demi
Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya”.
Di
bumi Rahmatul Asri, kesakralan “Wallahi” juga berlaku. Ketika sebuah berita ataupun pernyataan tidak
memiliki bukti yang cukup, maka dengan mengucapkan Wallahi, pernyataan tersebut seolah telah mendapat sertifikat
kebenaran untuk meyakinkan semua orang. Hal ini juga berarti orang yang
bersumpah siap mengambil resiko atas apa yang ia sumpahkan. Entah itu kualat maupun
kafarat.
Bagi
kami para santri, ungkapan Wallahi
merupakan cara simpel untuk menegaskan pernyataan yang masih dipertanyakan oleh
orang. Tak jarang sumpah ini kerap kali keluar hanya untuk perkara sepele.
“Wallahi, saya yang duluan antri”
“Wallahi, sandal jepit warna kuning itu
punyaku.”
“Wallahi, bukan saya yang kentut”
“Wallahi,
saya tidak pacaran dengan fulanah”
“Wallahi ustadz!, Sakit betulanka’ “
“Wallahi, bukan saya yang merokok di
kamar mandi”
“Wallahi , I didn’t Speak Indonesia.”
“Wallahi
ko?”.[2]
“Wallahi
ka’!”[3]
Siang itu terdengar desas desus di bumi Rahmatul Asri. Seorang petani melaporkan keluhan dan kekesalannya kepada pengasuh pesantren bahwa Gubuknya telah diobrak abrik oleh seseorang. Gubuk itu terletak di samping sawah yang tak jauh dari asrama putra dan biasanya dilalui para santri yang hendak keluar area pesantren jalur belakang, tanpa izin dari pengasuhan. Maka, tak heran jika yang dicurigai adalah para santri.
Akhirnya, pihak pengasuhan mengambil tindakan untuk mencari si pelaku, biar kekesalan petani sedikit redam. Berdasarkan pengumuman yang disampaikan ba’da shalat dhuhur, pelaku diberi waktu sampai ashar agar mengakui kesalahannya.
Desas desus itupun semakin ramai dari telinga
ke telinga. Beragam spekulasi bermunculan. Sayangnya, sang pelaku belum juga
ditemukan. Padahal dua jam lagi azan shalat ashar akan berkumandang.
Selepas makan siang, aku bertemu Dzul yang
tak disangka memberi kabar penting.
“Pelakunya telah ditemukan”, kata Dzul dengan
semangat.
“Siapa?”
“Faisal”
“Faisal kelas 2?”,aku sedikit ragu. Bagaimana
bisa? Dari tadi tak ada dugaan ataupun kemungkinanyang pelakunya mengarah pada
seoranng bocah kelas dua SMP.
“Iya”,
“Wallahi
ko?”,
“Wallahi
ka’”, tegas Dzul dengan sangat yakin.
Dan akhirnya aku percaya.
Beberapa menit sebelum azan ashar berkumandang,
kakiku sudah menginjak pekarangan masjid Ar-raudhatul Munawwarah. Di teras
masjid, terlihat beberapa kakak kelas sedang nimbrung mengobrolkan sesuatu.
Nampaknya mereka masih asyik mendengungkan desas desus kejadian tadi siang. Dari
pembicaraan mereka, terlihat bahwa mereka belum tahu berita yang ter-update.
“Lah, bukannya pelakunya sudah ketemu?”
tanyaku pada mereka.
“Masa’?, memangnya siapa pelakunya?”,
tanya Kak Parman.
“Faisal kan?” kataku. Meski itu setengah
bertanya, setengah menjawab. Yang jelas, mereka telah menemukan nama yang sejak
tadi diributkan. Tak lama kemudian, suara muazin membubarkan aktivitas nimbrung
mereka. Semua masyarakat Rahmatul Asri berkumpul ke sumber suara untuk
melaksanakan ritual sucinya. Di depan teras masjid, seorang senior sedang
menanti dengan sajadah tergulung. Mereka yang datang setelah iqomah, akan
menerima jurus, ”Cambuk sakti pembelah bumi”.
“Hatta khomsah!”, teriak sang senior
“Wahid……”
Saat mendengar aba-aba itu, mereka yang masih
di jalan segera berlarian ke masjid. Tentunya, bukan untuk mengejar rakaat
pertama, melainkan hanya memberi respon agar sang senior merasa ditakuti dan
dihormati. Lagi pula, tidak ada anjuran untuk buru-buru mengejar masbuq. Bahkan ketergesaan itu
bisa jadi makruh.
“Itsnain”
“Tslaatsah”
“Arba’ah”
“Khomsah”, sangkakala telah didengungkan.
Prak prak prak, bunyi sabetan sajadah itu jelas terdengar
sampai ke dalam masjid. Siapa lagi yang kena sial? Biasanya ketahuan ketika
selesai salam, yaitu mereka yang berdiri melanjutan sisa rakaatnya.
Usai shalat Ashar, Salah satu Ustadz pengasuh
berdiri di mihrab hendak mengumumkan sesuatu.
“Sesuai dengan janji tadi siang, ini yang
terakhir, saya kembali meminta pengakuan dari ananda sekalian. Siapa yang telah
mengobrak abrik gubuk si Petani?”.
Belum ada jawaban dari para santri, yang ada
cuma bisik-bisik
berisik.
“Katanya Faisal, Ustadz”, akhirnya Kak Parman
angkat bicara. Semua perhatian santri mengarah padanya. Sepertinya mereka
sedikit terkejut dan disitu aku sedikit heran. Loh, kok baru pada tahu? Bukannya
semua orang sudah tahu pelakunya? Mana mungkin ustadz belum tahu? Lalu dengan
ustadz siapa Faisal mengaku? Lantas dengan siapa Dzul menerima informasi ini?
Semua pertanyaan itu seketika muncul.
Setelah mendengar nama itu, Sang Ustadz undur
diri dari mihrab. Sepertinya tak ada murka. Akupun tidak mendengar adanya
hukuman untuk faisal setelah itu. Namun, nama Faisal sudah tercap sebagai pelaku di kepala para santri yang hadir di
masjid saat itu.
Sayangnya, kasus ini belum berakhir. Selepas
Ashar, terjadi keributan di asrama “Abu Bakar”. Si petani sedang mengamuk
karena belum juga mendapatkan nama pelaku yang telah mengobrak abrik gubuknya.
Nampaknya, Ustadz belum bertemu lagi dengan Si Petani. Berkali kali si petani
menanyakan siapa pelakunya dengan membawa parang. Para santri yang sedang
bingung ketakutan hanya mengingat satu nama yang ia dengar di Masjid tadi.
“Faisal”, Mendengar nama itu, si petani
bergegas mencari si Penyandang nama.
***
Sore itu sedang gerimis. Di lapangan
berlumpur, para santri sedang bermain bola. Di tengah asyiknya permainan.
Tiba-tiba seorang lelaki dewasa masuk ditengah lapangan dengan membawa parang.
“Mana yang namanya Faisal?”, teriaknya.
Seorang bocah dengan wajah kebingungan
muncul, memberi isyarat bahwa mungkin dirinya lah yang sedang dicari. Sontak, si
petani itu mengacungkan parang kepadanya. Si Bocah semakin ketakutan. Para
santri langsung berkumpul menyaksikan kejadian itu.
Untungnya Ustadz Baso’ lewat pada saat itu. Melihat
kehebohan yang terjadi, Ustadz Baso’ menerobos masuk di tengah keramaian
kemudian menanyakan apa yang sedang terjadi. Kehadirannya sedikit meredam
ketegangan yang sedang berlangsung. Dengan amarah yang belum redam, si petani
pun mencurahkan kekesalannya pada Ustadz Baso’. Setelah mendengar seluruh
penjelasan, Ustadz Baso’ melakukan tabayun pada santrinya.
“Apa benar, kamu yang melakukannya?”
“Wallahi,
bukan saya Ustadz”, bela Faisal mengingkari tuduhan itu
“Lalu dari mana tuduhan itu berasal?” tanya
Ustadz lagi.
Si petani mengatakan bahwa nama Faisal lah
yang disebut oleh para penghuni asrama sebagai pelakunya. Selidik demi selidik dari
mulut ke mulut. Rantai sanad berita itu mengarah padaku. Kini aku dipanggil masuk
dalam keheboh-tegangan
itu.
“Atas dasar apa kamu menuduh Faisal?”
“Saya dapat kabar dari Dzul, Ustadz. Kata dia
pelakunya adalah Faisal”
“Lalu dengan bodohnya kamu percaya begitu
saja?. Nyawa temanmu jadi taruhannya.”, geram Ustadz Baso’.
“Soalnya, dia bilang Wallahi, Ustadz. Masa’
saya tidak percaya?”, belaku.
“Mana Dzul?”, Ustadz semakin geram. Dzul
muncul ditengah keramaian. Kini, sanad berita itu berlanjut padanya.
“Balle balle ja’ Ustadz. Main main jeka’”[4]
“Main-main dengan Wallahi? Berani sekali kamu?”,
Ustadz Baso’ lalu mengambil sebuah kabel, kemudian menyuruh kami berjejer. Kukira
hanya Dzul yang akan kena hukuman, ternyata aku juga harus mendapat pelajaran
karena kelalaianku.
Disaksikan oleh para penonton di lapangan dan
depan asrama, ayunan kilat kabel itu mendarat di betis kami yang masih basah
oleh gerimis. Sedap sekali rasanya. Aku hanya tertunduk malu menahan perih
sensasinya. Mungkin, kalian juga tahu kelezatan macam ini. Yah, semoga saja
kalian tahu.
***
Beberapa hari kemudian,
Di sebuah kelas, ada aku, teman-teman, dan Ustadz Baso. Dengan khidmat kami
menyimak pelajaran Aqidah Akhlak dari beliau. Kejadian kemarin sudah lewat
di pikiran semua orang tentunya, hingga dalam pelajaran Ustadz Baso’ membacakan sebuah hadist.
“Tidak akan masuk Surga orang yang suka
mengadu domba”
Awalnya, hadist ini seperti angin lalu saja
buatku. Namun, setelah itu Ustadz Baso melengkapi penjelasannya dengan sebuah
ayat.
Wahai Orang-orang beriman! Jika datang
kepadamu orang fasik yang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya,
agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (ketidaktahuan), yang
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (Al-Hujurat ayat 6).
Kena deh!
Sekali lagi, aku tertunduk malu.
Tangerang, 31 Mei 2016
[2].Akhiran Ko (Kau) setelah kata wallahi
merupakan salah satu suffix dalam dialek bugis para santri, sehingga memberi
arti “Beranikah engkau bersumpah Demi Allah”
[3].Akhiran Ka’ (Saya) setelah kata wallahi
merupakan salah satu suffix dalam dialek bugis para santri, yang memberi arti “Saya
bersumpah Demi Allah”
Picture by Si Qode'
Tulisan ini telah terbit dalam sebuah Antologi yang berjudul "Rahmatul Asri where the stories begin". Sebagai persembahan untuk Milad Ma'had yang ke-20.