1 : a = 1 x a = 1; dan a bukan 1. Bilangan apakah a?
Dalam
novel ini, formula tersebut dijabarkan secara filosofis melalui pergulatan
batin seorang pemanjat tebing bernama Sandi Yuda yang mendapatkan bisikan
bilangan mistis dari makhluk bulsebul (manusia-serigala-jantan-betina) yang
kerapkali datang dalam mimpinya.
Spiritualisme
kritis menjadi inti sel dari buku ini, yakni sikap spiritual yang tidak
bertolak belakang dengan nalar kritis. Pemikiran ini dijewantahkan penulis
secara dialogis dalam kisah persahabatan Yuda yang modernis dengan seorang ahli
geologi yang humanis bernama Parang jati, sehabat sekaligus rival dari
kebiasaan bertaruhnya.
Yuda
tak pernah membayangkan kalau suatu saat, sedikit demi sedikit Jati membawanya
pada misteri dan alam pikiran tak berujung yang mulai mempengaruhi paradigma
dan kehidupannya. Dipacu oleh kasus-kasus ganjil, seperti hilangnya mayat dari
kubur, pembunuhan guru ngaji hingga kemunculan pasukan ninja juga manusia
sirkus aneh mengantarkan mereka dari teka-teki yang satu ke teka-teki yang
lain.
Secara
garis besar, ada 3 laku kritik yang ditujukan penulis pada apa yang ia sebut
sebagai musuh dunia postmodern, yaitu modernisme, militerisme dan monoteisme.
Tiga
serangkai itu kemudian dibenturkan pada isu lingkungan. Diceritakan bahwa Sewu
Gunung yang merupakan tempat pemanjatan mereka, areanya mulai menjadi sasaran
korporasi untuk kepentingan tambang.
Modernisme
dengan segala konsep hak kepemilikannya mengakomodasi keinginan manusia untuk
menguasai. Juga peran rasionalisme yang telah mengakhiri abad kegelapan
perlahan menggeser takhayul dan mistisme di masyarakat. Padahal sebenarnya
beberapa takhayul telah lama berfungsi untuk menjaga alam_.
Modernisme memiliki jalan yang lurus, tapi tidak tujuan yang lurus.
Takhayul memiliki tujuan yang lurus, tapi tidak jalan yang lurus.
Modernisme adalah alat untuk memperalat. Takhayul adalah alat untuk diperalat.
(hlm. 188)
Modernisme
pun akhirnya berjodoh dengan monoteisme yang beberapa kaum fanatik memeluknya
dengan penuh nafsu kemahabenaran. Ayat-ayat sucinya ditunggangi untuk kepentingan
kekuasaan sehingga agama lokal seakan dihakimi sebagai setan, penganutnya dicap
penyembah berhala. (Hal ini diilustrasikan secara apik dengan kehadiran tokoh
pemuda bernama Kupu-kupu, yang digambarkan sebagai pria berjubah, sosok yang
menjadi rival jati di masa lalu. Debat mereka terkait agama lokal ketika SMP
cukup seru untuk diikuti.)
Dan
untuk mencapai tujuan modernisme, tak jarang militerisme dijadikan alat untuk
memuluskannya meskipun dengan cara kekerasan. Tiga M yang disebutkan tadi pada
akhirnya bergandengan tangan, sama sama memiliki naluri untuk memaksakan
kebenaran yang dianutnya sendiri.
Buku
ini juga tak lepas dari fakta-fakta dan berita menarik yang sempat viral
dasawarsa kemarin, yang diselipkan penulis seperti klipping di sela-sela halaman
cerita. Salah satunya yang saya ingat adalah fenomena hantu cekik yang semasa
saya kecil seringkali muncul di berita, sebagai alat yang dimainkan penguasa
untuk menyebarkan rasa panik pada masyarakat sehingga mudah untuk dikendalikan.
Fenomena hantu cekik juga menjadi bukti bahwa betapa kesadaran modern pun tidak
bisa menyelamatkan seseorang dari takhayul.
***
Analogi Pemanjatan Bersih
Di
sini saya mulai paham kalau pemanjatan tebing terdiri dari clean climbing dan
artificial climbing berdasarkan metode dan alat yang digunakan. Penulis cukup
unik memberi perumpamaan pada alat
pemanjatan suci (clean climbing) vs alat pemanjatan kotor (artificial
climbing), di mana kita diberi gambaran bagaimana semestinya kebenaran (yang
kita yakini) itu disampaikan bukan dengan cara pemaksaan.
“Ada dua macam alat. Alat yang memaksa, dan alat yang dialogis. Alat yang memaksa adalah bor, paku, piton gantungan, kampak, palu. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip, pengaman pegas, pengaman perangko, tali ambin. Ialah alat yang menanggapi uluran atau tantangan yang diberikan alam. Alat yang memaksa datang dari sifat tamak dan kuasa…..Tapi alat yang dialogis datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifat-sifat yang tidak memegahkan diri. Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri. Menerima segala sesuatu, merawat segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”(hlm. 84)
Analogi
tersebut ternyata tidak hanya berlaku tentang bagaimana pemanjat memperlakukan
tebing, tapi juga tentang bagaimana seorang lelaki memperlakukan perempuan.
Karena "seorang satria bersetubuh sejati bersetubuh dalam hubungan
dialogis sedangkan perampok memerkosa".
***
Perihal Seksisme dan Femininitas
Berbicara
tentang perempuan, kehadiran Marja, sebagai kekasih Yuda dalam cerita selalu
menjadi tombol refresh dari tegangnya dialog Yuda dan Jati. Ibarat manusia di
antara malaikat polos dan iblis nakal. Sifat manjanya kerapkali membungkam ke
dua lelaki tersebut.
Hal
itu juga yang menyelamatkan nuansa ceritanya dari terlalu maskulin. Adanya
bumbu asmara dan erotis di antara mereka kerapkali bersinggungan dengan
fenomena seksisme dan feminisme yang terjadi pada budaya lokal, seperti pada
hubungan inses antara Sangkuriang dengan dayang Sumbi.
“Sangkuriang yang polos menginginkan seks. Tapi Dayang Sumbi menginginkan bahtera lengkap dengan danaunya. Lelaki adalah tolol dan tulus dengan nafsu-nafsunya. Tapi perempuan memiliki maksud dibalik nafsu-nafsunya.”
“Femininitas kalau sudah kawin dengan kekuasaan jadinya ya begitu: manipulatif”
(hlm. 393)
Itulah mengapa dijelaskan alat reporduksi lelaki ada diluar tubuh dan terlihat, yang manandakan kepolosannya, sedangkan alat reproduksi perempuan ada di dalam tubuh, tersembunyi tanpa diketahui motif dan maksud yang ia simpan.
“Monster ubur-ubur itu berdenyut dan haus untuk menggelembungkan diri. Tampaknya kenikmatan si monster adalah menggelembungkan diri. Untuk menggelembungkan diri, si monster membutuhkan sedikit saja makanan pemicu. Yaitu, kecebong sperma kita!” (hlm. 29)
Di
sini penulis dengan lucunya menggambarkan bagaimana alat reproduksi manusia
kerap kali menguasai pemiliknya sendiri dengan memberi perumpamaan monster
ubur-ubur untuk rahim perempuan dan mollusca anjing gila pada batang lelaki.
Bahwa tubuh kita hanyalah agen untuk memenuhi kebutuhan monster tersebut.
***
Satu yang mencerai beraikan
“Setiap agama menawarkan kebenarannya masing-masing. Tapi agama-agama itu terjebak pada kebenarannya sehingga sikap kritis atas kebenaran sering dianggap sebagai tidak beriman.” (Hlm. 435)
Atas
kritiknya pada monoteisme, bab "Antara Nol dan Satu" saya rasa cukup
menarik. Yaitu catatan Parang Jati tentang kegelisahannya akhir-akhir ini atas
kekerasaan yang dilakukan kaum monoteis (istilahnya dia), terhadap beberapa
sekte yang dianggap sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Satu
yang bukannya menyatukan justru seringkali mencerai-beraikan, lantaran Tuhan
yang Satu ditafsirkan sebagai kebenaran yang satu juga, kemudian diklaim oleh
masing-masing kelompok bahwa merekalah pemegang kebenaran yang satu itu.
"Satu" yang menjadi benih intoleransi.
Di
sini kita diajak menelusuri teologi konsep satu dari sudut pandang geneologi
bilangan. Bagaimana sejarah satu itu sendiri sebelum manusia mengenal nol.
Renungan
Parang Jati menyimpulkan bahwa konsep tuhan satu menurutnya telah menjadi
aritmatis, dan kehilangan makna metaforis dan spiritualnya. Berbeda dengan
corak filsafat timur, di mana tuhan berada pada posisi ada yang tiada.
Satu
yang tak terpisah dari nol.
Apakah
satu itu adalah ketika kita mengancungkan jari telunjuk dengan tegak?. Apakah
satu yang dimaksud adalah 2 dikurang 1? Atau 3 dikurang 2?. Saya rasa bukan.
Karena apabila satu yang kita maksud sudah berwujud maka itu sudah kalkulasi,
sudah nampak, sudah menjadi rupa. Dan saya rasa itu bukan Dia.
Rasio kita hanyalah satu lapisan paling permukaan. Bahasa rasio, yang memahami bilangan secara matematis, logis, operasional-hanyalah bahasa paling permukaan. (hlm. 332)
Dari
properti nol dan satu yang dijabarkan penulis, kita akan mengenal Hu, bilangan sunyi dimana satu dan nol menjadi
padu. Sebab ia bukan bilangan rasional, melainkan spiritual.
Fu
atau Hu?
Keduanya
memiliki keterkaitan bahkan saya ia langsung diperkenalkan oleh penulis secara simbolis
pada cover barunya sebelum kita membuka lembaran.
***
Ciledug, 22 April 2020