Dalam
hati aku juga mengiyakan tentang tawuran itu, namun jelas tak bisa ku terima
jika nilai-nilai leluhurku hanya dianggap semu. Jelas ia belum melihat
Masyarakat bugis secara keseluruhan.
“Mana Budaya Siri’ orang Bugis-Makassar kalau begitu,
mereka jelas tidak malu bahkan dengan bangganya menampilkan aksi-aksi bar-bar
mereka di media. Anda juga bilang Pacce itu simbol kesetiakawanan?. Tapi mana?.
Mereka justru saling menyakiti satu sama lain. Padahal sama-sama orang Bugis-Makassar
loh.”
Ku lirik Si
Udin, mukanya memerah entah itu karena malu atau marah.
“Kalian berdua
itu lucu sekali. Jangan mentang-mentang orang Bugis-Makassar sikap objektif
kalian hilang demi keberpihakan. Jangan-jangan kalian juga sama bar-barnya
dengan mereka”
Si
Udin tak tahan dan angkat bicara,“Hei bung, tidak semua orang batak itu sopir
angkot, tidak semua orang papua itu kampungan, tidak semua orang sunda tidak
bisa mengucapkan F, tidak semua orang padang itu pandai dagang. Begitu pula
dengan orang bugis-Makasar tidak semuanya kasar. Ini bukan statistika bung,
Jangan seenaknya menjudge individu berdasarkan watak sampel yang dominan. Anda
jelas belum melihat secara keseluruhan”, suara Udin semakin meninggi.
“Hahahah,
Benar-benar polos. Justru keilmiahan itu dilihat dari statistik. Kalau memang
tidak seperti itu. Buktikan!”
“Saya
Buktinya”, tegas si Udin dengan keras..
“Berarti anda
sama saja kasarnya dengan mereka. Baru gitu aja udah emosi dan bentak-bentak”
“Siapa juga
yang membentak, ini intonasi namanya”, suara udin semakin tinggi dan memang terkesan
membentak. Si David jelas sengaja memancingnya ke suasana seperti ini. Kulihat
ia sudah tersenyum penuh kemenangan. Ku coba memberi isyarat pada Udin namun
tak ia gubris dan semakin masuk ke perangkap David.
“Tapi tetap
saja kasar kan? Dasar orang Makassar”
“Anda ini bikin
emosi saja, kalau mau cari ribut ayo kita selesaikan di luar”, Aku mulai
menunduk malu melihat tingkah si Udin.
“eitts, apa ini
yang namanya orang Makassar?”. David semakin menjadi-jadi.
“Sudah, sudah.
Waktu presentase habis. Silahkan duduk kembali”, Untungnya Pak Dosen dengan
bijak segera memotong. Aku kembali ke kursi dengan sedikit malu dan tertunduk. Sejenak,
ku tatap David dengan penuh amarah. Tangan telah ku kepal keras untuk
mendaratkan di wajahnya. Namun tiba-tiba aku berpikir ulang, dalam benak ku
bergumam sendiri, ”Lihat siapa dirimu? Siapa lagi yang mau menyekolahkanmu di
Universitas se-elit ini kalau bukan ayah David”. Teman-teman hanya tertawa
kecil melihat kami dipermalukan si David. Skenario presentase tak berjalan semestinya.
Rasa malu dan kesal itu ku bawa
sampai ke kos-an. Ku lihat si Udin sedang asik menonton bola. Kekesalanku
akhirnya tertuju padanya, karena ulahnya aku jadi malu. Si Idiot yang satu ini,
seharusnya dia tidak usah meladeni si David. Ku lempar tasku ke arahnya, hingga
ia terkejut. Ku bentak ia habis-habisan.
Sementara ia hanya menatapku.
“Ulah kamu itu
bikin kita malu saja”
“Sebenarnya
kamu berpihak dengan siapa sih?”, Udin hanya mengucapkan itu kemudian keluar.
Terdengar bantingan pintu yang keras dan itu semakin menambah kekesalanku
padanya. Ku lihat remot TV tergeletak di lantai begitu saja. Mungkin dengan
menonton aku bisa lebih tenang. Tapi ternyata tidak. Dari layar kaca, Yang
muncul malah berita tawuran mahasiswa Makassar. Matakupun semakin merah membara
dan akhirnya berkaca-kaca.
“Kalian
ini maunya apa sebenarnya?, tidakkah kalian berpikir kalau saudara-saudara
perantauan sering menanggung malu akibat ulah kalian. Apa yang kalian cari,
hah?. apa hanya sekedar pengakuan dan rasa ego”. Gumamku dalam hati ketika
menyaksikan lemparan batu, botol, bom terlihat dimana-dimana. Jendela kampus
rusak pecah. Jalanan di penuhi asap. Ingin pula ku sumbat mulut wanita pembawa
berita itu. Mengapa harus tawuran yang kau tampilkan. Tidakkah kau lihat menariknya
pantai Losari atau karts di Maros,
sedapnya kuliner coto Makassar dan sop konro’, anggunnya Baju bodo serta
uniknya tari Bosara’ dan tari Pa’golla.
*****************
Lamunanku atas peristiwa kemarin
terhenti saat merasakan tepukan dari belakang. Aku berbalik. Ternyata si Udin. Baru
ingin ku utarakan penyesalanku, Ia malah minta maaf duluan atas peristiwa yang
kemarin. Ia mengakui semua itu karena kebodohannya. Akupun sadar itu bukan
sepenuhnya salah Udin. Beruntung sekali ku punya teman seperantauan seperti
dia. Kami pun ngopi dan ngobrol seperti biasanya.
Meja
di belakangku semakin gaduh. Suaranya nampak jelas. David dan kawan semejanya masih
menertawakan tingkah konyol si Udin
kemarin. Berbagai singgungan ledekan mereka luncurkan tentang si Udin
seolah-olah tak memperhatikan kami berdua di dekatnya. Ku lirik Udin. Ia cuma
diam, tak mau bereaksi, sambil menikmati sebatang rokoknya.
Namun
tetap saja telingaku panas mendengarnya. Kemarin aku telah kehilangan siri’ karenanya. Dan aku tak ingin lagi
melepas Pacce, simbol kesetiakawanan sesama orang Makassar. Kini aku
tak peduli, mau dia anak Rektor, anak Dosen atau apalah. Aku pun berbalik. Ku
lihat mulut David dan lainnya tertawa lebar. Ku datangi Si David cerewet itu
dengan tatapan tajam. Tanganku pun mengepal dan sudah gatal mendaratkan ke
mukanya. Semakin ku mendekat gelak tawa mereka semakin kecil hingga terdiam. Semakin
ku tatap, ekspresi mereka semakin pucat pasih.
Jangan
salahkan aku, Singa pun akan marah jika anaknya kau ganggu. Bahkan semut yang
kecilpun akan menggigit jika hendak kau injak-injak. Jika itu yang kalian
anggap kasar, maka aku bahkan lebih kasar.