"Ada
pertanyaan?" tanya Pak Dosen sambil menatap para mahasiswanya. Namun
suasana hening penuh kebisuan sudah cukup menjadi jawaban baginya.
Sejak 30 menit
yang lalu suasana kelas masih hanya diisi oleh suara dia saja. Dosen yang satu
ini memang terlihat calm dan sabar.
Namanya Pak Manzhur. Perhatikan baik-baik ejaannya. Manzhur. Bukan Mansyur,
Manshur, ataupun Mantsur. Ia tak akan membiarkan orang salah melafalkan
namanya.
"Sedikit
saja salah lafal, maka perubahan maknanya berakibat fatal", tegas Dia di
awal perkenalan minggu lalu.
Dan memang
benar. Mansyur[1] berarti “nama
yang tersiar”, Manshur[2]
artinya “orang yang mandapat pertolongan”, sedangkan Mantsur
berarti “Sesuatu yang berhamburan”. Adapun Manzhur[3]
(Namanya sendiri) berarti “Orang yang diperhatikan”. Tapi sepertinya nama
tersebut bukanlah doa yang terkabul kali ini.
“Sampai sini
ada pertanyaan?“, Lagi-lagi ia bertanya.
Beberapa wajah
mulai terlihat bosan, sebagian sibuk dengan laptopnya di bangku belakang, ada
pula yang hanya terpaku di depan gadget dan blackberrynya, namun beberapa juga
hanya turut memperhatikan tanpa ada respon sama sekali. Dan aku?. Jangan ditanya.
Mata ku masih berat untuk terbuka karena habis begadang. Film anime semalam
terlalu seru untuk dicancel.
Tapi
setidaknya aku masih bisa menangkap beberapa materi Sejarah pemikiran Ekonomi yang disampaikan oleh Dosen yang satu
ini. Barusan ia menyinggung tentang teori Alfred
Marshal tentang Supply and Demand yang katanya mengadopsi pemikiran Ibnu Taymiyah.
Dan sekarang Ia mengkritisi status Luca Pacioli sebagai Bapak Akuntansi
sedunia. Katanya pencatatan dua kolom sudah ada sejak zaman Dinasti Abbasiah.
Pak Manzhur
lalu mengganti slidenya dan melanjutkan materi. Terlihat ia tak bosan melihat kebosanan
kami. Ia tetap menjelaskan sekan-akan diperhatikan oleh semua orang. Padahal
nyatanya tidak. Sampai akhirnya materi slidepun
habis.
Ia bertanya
lagi,"Ada pertanyaan?"
Bisu dan acuh, Mahasiswa masih
terlihat bermasa bodoh.
"Ada
pertanyaan? Atau ada yang mau memberi gagasan?". Sedikit menekan. Kantukku mulai hilang
mendengar suaranya yang setengah teriak. Kulirik kiri dan kanan, masih tak ada
juga yang bertanya.
"Ada
pertanyaan?", suaranya semakin keras.
Ini sungguh
lucu, bahkan untuk mendapatkan pertanyaanpun orang masih perlu bertanya. Namun
lagi-lagi tak satupun manyahut dan mengangkat tangan. Aku sendiri juga bingung
apa yang harus ditanyakan. Semua materi mengalir begitu saja.
"Baiklah,
kalau begitu bapak yang akan bertanya?". Mahasiswa mulai cemas, yang lain
buru-buru membuka catatannya.
"Apa bedanya kalian dengan
pelacur?", Semua tersentak dan
saling berpandangan satu sama lain. pertanyaan macam apa itu?. Dari awal hingga
akhir materi, tak ada penjelasan mengenai hal tersebut.
"Ayo! yang
bisa jawab dengan tepat tak usah ikut UTS. Apa bedanya kalian dengan pelacur?"
Wajahnya tampak tenang tanpa tanda amarah sedikit pun. Namun Para Mahasiswa
merasa gelisah dengan pertanyaan itu. Khawatir Pak Manzhur tersinggung tak
diperhatikan.
"Pak",
si Lukman mengacungkan tangan. "Jelas
beda dong pak, pelacur itu hina. sedangkan kami Mahasiswa yang dipandang
terpelajar"
"Ada lagi
yang mau jawab?", Pak Manzhur mengharap jawaban yang lain.
"Pelacur
itu dibayar sedangkan Mahasiswa membayar" Jawab Si Udin dengan asal. Aku yakin bocah ini cuma ingin selamat dari
UTS.
" Ada jawaban
lain?"
tiga detik, 5 detik, 7 detik.
Waktu seperti berhenti melihat tatapan Pak Manzhur ke mana-mana. Semua
mahasiswa kini memperhatikannya dengan penuh kebisuan. 9 detik, 11 detik, 13
det......
"Ternyata
pelacur masih lebih terhormat dibanding kalian". Semua dahi langsung
berkerut mendengarnya. Semua bertambah resah dan gelisah saat dengan santainya
ia melangkah ke setiap bangku mahasiswa.
"Seorang
cendekia pernah mengatakan bahwa menuntut
ilmu itu lebih nikmat dari bersetubuh", yang bener aja pikirku dalam hati.
"Kalian
yang masih asal-asalan belajarnya sudah tentu belum pernah merasakannya. Silahkan
cari kitab al-ulama al-uzzab, di
dalamnya akan kalian temukan ilmuwan-ilmuwan jomblo yang hidupnya mebujang
karena asik bercumbu dalam keilmuwan"
Ketegangan
agak reda mendengar pernyataan Pak Manzhur. Kali ini Semua menyimak penuh
khidmat. Tak ada lagi laptop yang terbuka, tak ada lagi gadget di tangan.
"Proses
belajar mengajar ataupun diskusi sebenarnya sama dengan hendak berjima'. yaitu
bagaimana kita menjima'kan pemikiran kita masing-masing sehingga suasana
keilmuwan terasa lebih nikmat. Sayangnya di kelas ini kurang memuaskan.”
Majas macam apa ini?, Kenapa
analoginya harus dengan Jima’. Pikiranku
langsung kemana-mana. Yang lain pun pasti begitu.
“Dan tahu kah
kalian arti dari melacur? ". Langkahnya terhenti tepat disamping bangkuku.
"Yaitu kau membiarkan siapapun masuk ke
punyamu. Segala pengetahuan yang saya paparkan tadi, siapa yang menjamin
kebenarannya?. Dan apakah kalian akan menerimanya begitu saja?. Tanpa ada
respon ataupun pertanyaan?”, Kini aku mengerti maksud si Bapak ini, aku yakin
yang lainpun sudah paham.
“Di luar sana
akan banyak pemikiran-pemikiran yang hendak memperkosa otak kalian. Lantas
apakah kalian hendak pasrah dan membiarkannya begitu saja?".
"Benar
kata Udin”, Pak Manzhur meliriknya, diikuti semua kepala berbalik ke arah Udin.
Kampret sekali bocah ini. Jawaban asalnya diiyakan juga oleh Pak Manzhur. Kulihat
ia cengar cengir membayangkan dirinya bebas UTS.
“Semurah
murahnya pelacur ia tetap memilih siapa yang bayar. Namun kalian?" Pak
Manzhur geleng-geleng tersenyum sinis.
Aku tertunduk malu, namun ada
juga yang tak sudi dikatakan seperti itu.
“Maaf Pak!
kami tak memberi respon bukan berarti kami menerima pemikiran yang Bapak paparkan.”,
Sahut Lukman membela diri.
Pak Manzhur menyipitkan mata ke
arahnya, tajam tapi tetap tenang.
“Lantas apa?”
“Di saat
kalian sudah membisu terhadap keilmuan. Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama . Kalian melacur. Kedua. Kalian onani dalam intelektualitas.
Tahu tapi pengetahuan itu dinikmati
sendiri. tak mau dishare dengan memberi gagasan. Atau ketiga, kalian sudah
impoten. Apatis, acuh, dan sudah tak terangsang terhadap fenomena yang
ada. Sehingga pisau analisis kalian sudah tumpul dan tak lagi peka merespon
segala hal. Lukman. sekarang kamu yang mana?”. Tanya Pak Manzhur dengan tegas.
“Dia tipe yang
kedua Pak”, teriak suara lain dari belakang. Tawapun meledak. Sebagian wajah
masih terlihat polos dan hanya ikut tertawa. Lukman tertunduk malu.
“Tak usah
saling menertawai. Kalian semua sudah pasti ada di ke tiga tipe tersebut”
Dalam hati
kuiyakan juga perkataan itu. Parahya aku sering melakukan ketiga-tiganya. Melacur,
entah sudah berapa kali. Ku telan habis tanpa filter semua yang orang katakan.
Di seminar, kuliah, ceramah, maupun pada tulisan-tulisan mereka.
Onani
intelektual?. Begitu banyak pengetahuan yang kunikmati sendiri. Sembunyi-sembunyi
mencium cicipi lezatnya ilmu baru. Takut disaingi orang. Dan baru berbagi jika
dipuji, dilike, serta dicomment oleh para penjilat.
Sering pula
pikiranku Impoten. Tak lagi bisa dirangsang dengan sentuhan isu-isu hangat.
Benar-benar Telmi tingkat dewa.
Kelas kembali
sunyi. Pak Manzhur kembali berjalan di dekat papan tulis. Sentakan langkah sepatunya
sampai ke setiap telinga. Ia mengambil board-marker
dan menulis sebuah kalimat aneh besar-besar di papan tulis. Entah apa
maksudnya.
“ لَوْلَ
السَّائِل لَزَالَ الْعِلْم ”
“Untuk kali ini tak ada paper. Tugas
kalian minggu ini adalah memahami makna kalimat di atas. Sampai ketemu minggu depan. Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh”. Ia kemudian berlalu meninggalkan kami dalam
keadaan masih terpaku.
Sejak saat
itu, tak ada lagi mahasiswa yang tak memperhatikan kuliahnya. Semuanya ingin memberi pertanyaan maupun
pernyataan. Dan kini aku mengerti mengapa orang tak boleh salah mengeja namanya.
Manzhur.