01/ 11/ 13, Jum’at ini cukup padat.
Pagi ada UTS. Siang ada jum’atan. Setelah itu, akan ada acara besar di
Auditorium al-hamra_Andalusia. Kali ini aku ditugaskan untuk menyambut jamaah
jum’at di lantai bawah sekaligus mengarahkan mereka ke tempat wudhu dan loker
tempat penitipan barang. Dengan koko putih dibalut rompi biru, ku sambut mereka
dengan senyuman. Sebenarnya ini Ustadz apa tukang parkir sih?, hehehe.
Beberapa menit sebelum azan sudah ratusan jamaa’ah yang masuk. Tiba-tiba ada
satu jamaah yang menarik perhatianku. Berkacamata dan berbelah dua. Ingatanku terpeleset di lorong waktu, meluncur
ke memori 3 tahun yang lalu.
*********
Kali
ini ia memegang buku yang berbeda ditangannya. Aku mulai menebak-nebak kali ini
buku apa?. Tiap kali dia dari kota Makassar ada saja buku bagus yang dibelinya.
Entah mengapa selera bacaanku selalu saja sama dengannya. Namanya Ka’ Udin Mudabbir[1]
pertamaku ketika aku masih unyu’unyu' masuk asrama dan saat ini menjadi pembina
Asrama. Aku dan beberapa penggila buku (Ramol, Chaedar, dan Kifli)
tidak akan lalai untuk mengawasi setiap koleksi terbarunya. Maklumlah, akses
untuk buku-buku terbaru di daerah kami lumayan sulit, pilihan satu-satunya yah
ke Kota Makassar yang jarak tempuhnya memakan waktu 5 jam. Dan Satu-satunya anak muda yang sering keluar zona pesantren
yah dia.
Mengandalkan perpustakaan ku rasa tak mungkin. Isinya hanya
dipenuhi dengan buku-buku pelajaran yang tergolong membosankan bagi pecinta fiksi. Satu-satunya yang paling sering di buka para santri hanyalah ensiklopedi
Harun Yahya yang dipenuhi dengan gambar-gambar unik.
“Ini
Novel terbaru yang ditulis anak Gontor, kisah-kisah dan pengalamannya hampir
mirip dengan kita. Harisul Lail[2],
Jasus[3],
Qismul Lughoh[4],
Botak, Semuanya sudah tidak asing lagi. serasa bernostalgia”. Ku perhatikan
buku itu, sampulnya terlihat klasik dengan tulisan angka 5. Dibagian
belakangnya tertulis sebuah kalimat sakti yang sudah tak asing lagi. “Man Jadda
wajada”. Katanya ini mahfuzat paling
pertama yang diajarkan di Pesantren. Tapi aku malah pertama kali mendengarnya
sebelum mondok. Kata orang-orang dikampung “Man Jadda wajada” itu artinya “biar Janda asal ada”. Hahaha,
dasar sesat. Sayangnya Novel itu masih baru, K’ Udin belum selesai
membacanya. Pekerjaan yang mebosankan kembali lagi, Menunggu.
Beberapa
minggu kemudian kuperhatikan Chaedar nyengar-nyengir membaca sebuah buku, dan
ternyata Sial bin Kampret, dia mendahuluiku meminjam buku baru itu. Dia memang
paling jago pdkt di depan K’ Udin dengan topeng kepolosannya. Kini aku haru menunggu
lagi. Sempat ku baca sinospsi singkat dari Novel itu. Hahhay, Ku temukan tokoh unik
yang bernama Baso. Kok unik? Padahal ceritanya saja belum aku baca. Ku anggap
unik karena dia berasal dari Sulawesi selatan, dan yang kedua Namanya mirip
dengan ustadz yang pernah memukulku didapan umum gara-gara menyebarkan berita
bohong yang hampir membahayakan nyawa salah satu santri. Ustadz Baso’ Patau,
Sang Malaikat subuh (mungkin lain kali diceritain).
Lama dalam penantiannya, Novel itu
berada dalam genggamanku juga. Kini saatnya menyendiri, tak akan ku biarkan
Chedar menceritakan secuil kisah yang dibacanya. Aku ingin melahapnya tanpa
suapan dari siapaun. Baru membuka halaman
pertma saja , aku sudah mendapatkan Keutamaan Sompe’[5]
dari Imam Syafii.Kalimat inilah yang selalu menginspirasi ku untuk tidak ragu merantau ke kampung orang.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
Jika didalam hutan.
Isinya tentang pengalaman hidup seorang santri di Pondok
Pesantren Darussalam Gontor. Persahabatan, Kedisiplinan, Ketekunan, Keikhlasan,
Kreativitas. semua didapat dan diajarkan tanpa melalui definisi.
Gambaran tentang pesantren Gontor
benar-benar membuatku takjub bercampur rasa iri. Mengapa aku tak sekolah
disini dari dulu?.
Praakkk, akal sehatku
menampar. “Dasar Bodoh, Allah menempatkanmu pada tempat yang memang sesuai
dengan kebutuhanmu.” Benar sekali, pengalaman-pengalaman yang ku peroleh di
pesantrenku juga tak kalah serunya. Dan setidaknya di pesantrenku masih bisa
melihat betina tiap harinya. Teman-teman nya pun tak kalah hebohnya dan mau
menerimaku apa adanya. Tiba-tiba pendengki dalam diriku kembali bertanya,”Kalau
bagitu, Mangapa bukan aku saja yang membuat novel seperti ini?” bukan kah aku
juga mempunyai pengalaman yang tak kalah serunya?.
Prak praak tangan akal sehat ku
menampar 2 kali, “Hei Kepala kentang, memangnya Cuma kamu?, Setiap orang pasti
mempunyai kisahnya masing-masing, namun hanya segelintir orang yang ingin
menuliskannya. Sehebat apapun kisahmu, hanya akan terkubur bersama mayatmu
tanpa tulisan”.
Aku mengiyakan. Dihalaman Akhir tertera profil Penulis dengan segala jejak-jejak prestasinya. Kekagumanku semakin tak terkendali (jangan salah paham), di dalam hati, ku lantik dia menjadi Rivalku. Ahmad Fuadi, Aku pasti bisa melampauimu. Suatu saat kita akan bertemu.
Aku mengiyakan. Dihalaman Akhir tertera profil Penulis dengan segala jejak-jejak prestasinya. Kekagumanku semakin tak terkendali (jangan salah paham), di dalam hati, ku lantik dia menjadi Rivalku. Ahmad Fuadi, Aku pasti bisa melampauimu. Suatu saat kita akan bertemu.
*****************
01/ 11/ 13, Aku kembali dari lorong
waktu. Tidak salah lagi, orang yang
barusan lewat itu adalah
pembicara pada acara siang ini. One day with Ahmad Fuadi. Ini momentum
untuk bertemu dengan sang Rival. Semakin sulit saja untuk melampauinya. Tidak
kusangka, hanya dalam 3 tahun setelah novel pertamanya terbit dia sudah setenar
ini. Negeri 5 menara sudah menjadi Trilogi dengan kehadiran Ranah 3 Warna, dan
Rantau 1 Muara. Sementara aku, baru menyelesaikan 1
buku yang sudah dua kali ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Bahkan Novel
pertamanya sudah dijadiin film yang tak kalah tenarnya. Mantranya benar benar
ampuh, biar janda asal ada hehehe.
Aku tidak sempat mengikuti acaranya
dari awal, soalnya marbot harus menghitung infak keropak dan beres beres dulu
setelah jum’atan. Tapi tetap kuniatkan hari ini harus bertemu dengannya. Kalau
bertemunya hanya untuk foto bareng rasanya kurang elegan. Siasat satu satunya
adalah pura pura minta rekaman testimoni, kebetulan di kantor ada kamera. Sip,
Time to action.
Kaki ku melangkah Memasuki Auditorium
al-Hambra. Peserta terlihat Khusyu’ dengan obrolan Si Pembicara. Materi yang
disampaikannya beragam namun kaya akan inspirasi, sesekali dia menceritaan
bagaimana pentingnya menguasai bahasa, luarbiasanya dampak dari menulis. Apa
lagi ketika video soundtrack N5M ditampilkan. Kuperhatikan beberapa anak Gontor
nyengar nyengir bangga dengan seniornya.
Iseng-iseng ku cari akun
twitternya, maklumlah akhir-akhir ini aku lagi kecanduan ngetweet dan mention
sana-sini. Nah, akunnya Ketemu, @fuadi1. Tiap kali ada yang terlintas dari
materinya langsung ku tanggapi lewat twitter.
Azan ashar berkumandang, Bang Fuadi segera menyelesaikan cuap-cuap zap zap nya. Namun seperti biasanya akan dibuka sesi Tanya jawab. 1 cowok, 1 cewek. Rupanya banyak yang mengacungkan tangan. Meskipun aku sendiri bingung mau nanya apa?, tetap saja ingin rasanya bertanya langsung dengan penulisnya (soalnya yang bertanya biasanya dapat doorprize aku yakin kebanyakan penanya berpikir sama hehehe). namun Sang moderator hanya memilih 1 yang tercepat mengacungkan tangan. Dan itu bukan aku, huwallah. Dua orang penanya meluncurkan cuap-cuap zap-zapnya, kemudian ditanggapi oleh Bang Fuadi dengan baik.
Dan seperti dugaanku, penanya terbaik akan mendapat hadiah buku. Owwhh, nyesel juga gak nanya’. Namun heranku, tiba-tiba Bang Fuadi mengumumkan sesuatu.
“Selanjutnya akan saya pilih pemenang lomba tweet”
Lomba?
“orang yang pertama adalah Egi_Farigi”
Emang ada lomba apa? Hatiku
bertanya-tanya.
“Dan yang ke dua adalah ilhammansur9
“.
Hehh, itukan akun twitterku?.
Akhirnya aku sadar, ternyata oh ternyata sejak awal acara, di adakan lomba
mention terbaik di akun twitter Bang Fuadi. Hahahah, the miracle of twitter.
Aku sendiri baru menyadari lomba ini padahal banyak loh yang mention berkali-kali
namun tak terpilih,. Contohnya saja kakanda @joneskandar _langsung difollow_.
Hahaha, peace!!
Aku dan dua orang cewek maju
kedepan menerima novel langsung dari penulisnya. Sebelum ditawari, langsung kumintai
novel yang ke tiga, Rantau 1 Muara. Bukan tanpa alasan, sepertinya novel ini
pas dengan keadaanku saat ini di tanah rantau. Andaikan aku tak rantau,
mungkin peristiwa ini tak akan terjadi. Heh, the miracle of Sompe’.
Si ganteng yang berada di tengah. |
[1] Pengurus
Asrama (Arab) ; Orang yang bertanggung jawab mengatur dan melaksanakan segala tata tertib di Asrama
[2] Piket
malam (Arab)
[3]
Mata-mata(Arab) ; Mereka yang ditunjuk secara rahasia untuk menemukan santri yang melanggar aturan secara diam-diam.
[4] Departemen
bahasa