“Sebutkan nama
pakar ekonomi yang kalian ketahui?”, pertanyaan itu ku lontarkan ke ratusan siswa
di beberapa sekolah dan pesantren pada roadshow Ekonomi Islam.
"Karl Marx dan Adam Smith". Nama itulah yang sering tampil sebagai jawaban. Yang satu dikenal sebagai Bapak Komunis sedangkan yang satunya sebagai Bapak Kapitalis. Jawaban mereka memang ada benarnya. Toh memang itu yang mereka dapatkan di bangku sekolah.
"Karl Marx dan Adam Smith". Nama itulah yang sering tampil sebagai jawaban. Yang satu dikenal sebagai Bapak Komunis sedangkan yang satunya sebagai Bapak Kapitalis. Jawaban mereka memang ada benarnya. Toh memang itu yang mereka dapatkan di bangku sekolah.
Makanya saya
tanya lagi “Ada yang tahu abu Ubaid?”. Beberapa geleng-geleng kepala. “Abu
Yusuf?”, masih geleng-geleng. “Al-Maqrizi?”. Tetap saja geleng-geleng. “Imam Al-Ghazali?”, sesuai dugaan barulah mereka ngangguk-gangguk.
Ulama yang satu ini memang cukup populer dengan kitab ihya Ulumuddinnya terutama di kalangan para santri. Sayangnya, kepopuleran imam Al-Ghazali hanya pada statusnya sebagai kiai di zamannya. Padahal jika kita membuka satu per satu lembar-lembar pemikirannya, maka akan kita dapati bahwa dia juga seorang ekonom.
Ulama yang satu ini memang cukup populer dengan kitab ihya Ulumuddinnya terutama di kalangan para santri. Sayangnya, kepopuleran imam Al-Ghazali hanya pada statusnya sebagai kiai di zamannya. Padahal jika kita membuka satu per satu lembar-lembar pemikirannya, maka akan kita dapati bahwa dia juga seorang ekonom.
Beberapa buah
pemikiran ekonominya tentang evolusi pasar dan evolusi uang yang mendiskusikan
kelemahan sistem barter dan keteraturan alami dari permintaan dan penawaran. Ia juga
menggagas konsep fungsi kesejahteraan sosial dengan perlindungan terhadap lima aspek
(khamsah kulliyah) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam konsep
itu pula ia membagi tingkatan hirarki utilitas manusia menjadi tiga: dharuriyat
(Primer), hajjiyat (Sekunder), dan tahsiniyaat (Tersier). Gagasan
ini yang kemudian diambil oleh William Nassau dalam statementnya bahwa
kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder
(decency), dan tersier (luxury). Pemikiran al-Ghazali memang banyak
digali oleh ilmuwan-ilmuwan barat. Raymond
Martini menyalin banyak bab dari tahafut al-falasifa. Bar
Hebraeus juga menyalin beberapa bab dari kitab Ihya Ulumuddin. Dan masih
banyak lagi pemikiran ekonomi al-Ghazali seperti perilaku konsumen, aktivitas
produksi, keuangan publik dan peranan negara.
Al-Ghazali
hanya salah satu contoh ekonom dari sekian banyak ulama ekonom yang buah pemikiran
ekonominya sengaja ditimbun oleh sejarah. Dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, Joseph Schumpeter mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark
ages oleh barat. Padahal saat itu Islam disinari
oleh berbagai ilmu pengetahuan termasuk disiplin ilmu ekonomi. Saat itu Ada Abu Yusuf (182H/798M) dengan kitabnya yang berjudul Al-Kharaj,
banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negara
dalam pembangunan ekonomi. Ia menekankan prinsip keadilan, kewajaran, dan
penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya
akuntabilitas dalam pengelolaan uang negara. Pemikiran ini sangat mirip dengan
konsep Adam Smith tentang Canon of Taxitation, yaitu kesetaraan (equal),
kepastian (certain), kenyamanan (convinient), dan ekonomis (economical).
Abu
Ubaid dengan karya fenomenalnya Kitab Al-amwaal, yang diduga sangat memiliki
kemiripan dengan Buku The Wealth of Nation karya Adam Smith. Ada
al-Maqrizi dengan teori inflasinya. Ibnu
taimiyah dengan konsep mekanisme pasarnya, teori supply and demand. atau As-Syaibani (189H/804M) dengan karyanya Kitab
al-Asl membahas berbagai bentuk transaksi bisnis seperti salam (prepaid
order), syarikah (kemitraan), dan mudharabah.
Lalu kemanakah mereka semua di buku-buku referensi ekonomi?.
Seringkali kita dapatkan lompatan sejarah pemikiran ekonomi yang cukup jauh (dan
aneh), dari masa Aristoteles ke masa Thomas Aquinas, dengan melangkahi
kegemilangan pemikiran ekonom-ekonom muslim di zamannya, hingga seakan-akan menjadikan
barat sebagai kiblat referensi ilmu ekonomi dunia. Bukankah ini pelanggaran terhadap budaya ilmiah?. Maka dari itu perlu adanya rekontruksi
sejarah pemikiran ekonomi dengan mengakui kontribusi ekonom-ekonom muslim di masa kegemilangan islam. Dengan begitu kitab-kitab turats (kitab gundul) warisan ulama terdahulu tidak terpisah dari teori-teori ekonomi modern, tidak hanya dibahas pada pengajian-pengajian santri dan tidak lagi disakralkan oleh orang awam karena ke-arab-annya.Wallahu a'lam.