Gentayangan adalah buku pertama dengan format "Choose Your Own Adventure" yang saya baca. Mungkin penggemar serial petualangan karya Edward Packard di era 90-an tidak asing lagi dengan bacaan seperti ini, di mana kita disuguhkan berbagai macam pilihan pada cerita dan setiap pilihan akan menentukan arah perjalanan cerita yang berbeda beda. Judul Novel ini agak mirip dengan acara TV “Uka-uka” waktu zaman saya SD dulu, namun buku ini tak sehorror judulnya. Saya sendiri juga agak bingung ini mau diklasifikasikan ke genre apa, apakah petualangan, detektif, misteri atau apa. Ahhhh bodo amat, kita nikmati saja dulu (Dasar manusia hobinya mengotak-otakkan).
Tokoh utama pada
novel ini adalah "Kau", seorang perempuan kosmopolitan yang menjalin hubungan asmara dengan
Iblis, kekasih romantis yang cintanya selalu datang bersama kekejian. Pada
suatu ketika ia memberi hadiah sebuah sepatu yang
membawamu _ tokoh cerita _ ke
berbagai tempat di penjuru dunia, mencicipi pengalaman unik, absurd dan tak kau
bayangkan sebelumnya.
Kuperingatkan dirimu, sepatu ini adalah
sepatu terkutuk. Kau terkutuk untuk bertualang, atau lebih tepatnya
gentayangan. Bernaung, tapi tak berumah. Di tempat kau berasal, hantu
gentayangan cuma bisa beristirahat dengan tenang setelah dukun merapal mantra
atau kiai berkomat kamit membaca Al-fatihah. Biarlah kutegaskan bahwa di sini
tak ada dukun atau kiai yang terlibat, sebab ini permainanku, dan aku juga
terkutuk.
Tapi mungkin ini sesuai dengan keinginanmu.
Tiket sekali jalan. Dalam perjalananmu, kau akan mendengar banyak cerita, dan
kau akan memungut hadiah. Satu hadiah untuk satu cerita, begitu kira-kira. Kau
boleh memilih hadiah, juga jalan cerita sesuai keinginanmu. (Iblis Kekasih,
hlm. 7-8)
--------------------------------------------------------------
Lima belas
halaman pertama, saya berusaha untuk
memposisikan diri sebagai
seorang perempuan yang mulai bosan dengan kehidupan tanpa prestasi dan hal-hal yang bisa dibanggakan, sedikit mengganti kacamata saya menjadi skeptis, sinis
dan pragmatis akan segala hal. Di
beberapa halaman saya bahkan merasa lucu menemukan diri saya sebagai tante sinis
yang tidak terlalu senang dengan keponakannya yang lucu lucu. Atau sebagai
orang medioker yang kadang merasa
dengki dengan kesuksesan yang
dimiliki orang lain.
Yang cukup menghibur adalah pandangan sarkas sang
tokoh akan fenomena yang kadang terjadi di sekeliling kita. Tentang pacarnya yang
marxis eksploitatif (ini sedikit mengingatkan saya pada tipikal senior senior di
asrama dulu yang begitu lihai bercakap tentang ideologi, perlawanan dan komunisme,
namun ditagih iuran bayar listrik saja susahnya minta ampun), tentang sang
kakak dengan evolusi bisnis busana muslimahnya dan pemberian nama pada
anak-anaknya, tentang para Ustadz dengan genre dakwahnya masing-masing, tentang diskriminasi etnis tinghoa dan hantu
hantu peristiwa 1998, atau tentang gerwani serta penamaan monumen pancasila
sakti yang butuh “kesaktian” untuk mengganyang PKI (Perempuan Kutang Item),
tentang kaum Kanan yang sama sama memiliki gerakan perlawanan melawan tirani
namun lucunya begitu takut akan bahaya Komunis.
Ada banyak realita, mitos maupun sejarah yang disinggung
(meski tidak mendalam). Selain itu cerita juga kadang melompat ke beberapa
dongeng atau cerita rakyat yang didekontruksi dengan persepektif berbeda.
Seperti Malin Kundang dan Wizard of Oz.
Hasrat bepergian dan Kerinduan akan Rumah
Bepergian
adalah hasrat manusia paling purba (hlm. 12)
Tak heran jika dalam novel ini perjalanan keluar negeri tidak terlalu banyak digambarkan dari kacamata seorang turis yang bertamasya untuk menikmati destinasi nan eksotis, namun kita diajak untuk menjadi seorang pendatang yang berusaha beradaptasi dan bertahan hidup di negeri orang dengan berbagai pilihan keputusan.
Dari pengalaman perjalanan tersebut kita mulai
belajar sebuah konsep akan “rumah” dari perspektif feminis sang tokoh serta
bagaimana ia memaknai sebuah identitas sebagai seorang yang kosmopolit.
Semua
orang ingin pergi tapi tak bisa, maka mereka menanam kaki pada rumah, tanah dan
kebun (hlm. 419)
Sekilas saya melihat bahwa berkelana dan menetap
merupakan dua hal yang saling bertentangan. Meskipun demikian, hal ini tidak
serta merta menjadi kesimpulan bahwa sang tokoh “Kau” adalah tipe pengelana yang
bebas secara terus menerus. Ada jalur pilihan di mana ia menjadi konservatif
misalnya dengan memilih menikahi Bob (seorang professor mapan) untuk memperoleh
Green Card sebagai warga Amerika,
atau tatkala sang tokoh sudah mulai lelah dengan petualangan yang semakin
berantakan sehingga memilih pulang ke tanah airnya Indonesia, meskipun
ironisnya kampung halamannya tidak lagi memiliki rasa yang sama saat ia datang. Layaknya being neither here nor there, Bergentayangan.
Dan akhirnya saya menduga-duga bahwa hasrat
berkelana sang tokoh sebenarnya berbarengan dengan pencariannya atas makna
rumah itu sendiri. Batas ke duanya mungkin menjadi samar namun berkelana dan
menetap sebenarnya adalah dua sisi pada koin yang sama.
Di salah satu episode kita juga diperlihatkan bagaimana
karakter feminis sang tokoh “Kau” dengan segala kenaifannya, penuh kebingungan
dan berusaha mendobrak batas-batas paham akan peran domestik seorang perempuan.
Mungkin ini yang dimaksud bandel sabagaimana tagline novel ini “Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan”,
yang awalnya saya kira bandel lebih mengarah pada cewek nakal penggoda atau
cewek liar pemberontak dalam arti yang sebenarnya.
Rumah
adalah tempat terbaik untuk menyalib seseorang (hlm. 6)
Kepolosan sang tokoh juga terlihat dari betapa
gemasnya ia melihat kakaknya begitu menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga
yang taat dengan perkataan suami namun di satu sisi sang kakak juga menjadi
perempuan muslimah yang progresif dengan menjalankan bisnis busana muslimahnya.
Merasakan kegemasan sang tokoh tersebut, saya malah merasa gemas dengan sang
tokoh sendiri, _atau barangkali saya gemas dengan diri saya sendiri_. Perempuan
memang sering diidentikkan dengan rumah. Saya pun kadang mengiyakan hal tersebut tatkala sedang merindukan emak saya atau mungkin di saat mengidamkan seorang perempuan yang
suatu saat kujadikan rumah jiahahaha.
Persimpangan Takdir
Seorang senior pernah berkata kepada saya bahwa garis
takdir kita tersusun dari sekumpulan titik-titik keputusan yang kita ambil. Pernahkah di benak kita terlintas,
“seandainya dulu saya tak memilih ini, mungkin sekarang saya tak di sini dan begini?”.
Bagaimana seandainya waktu diputar kembali, lalu pada persimpangan tersebut
kita memilih jalur yang berbeda dari sebelumnya?. Akankah kita menjadi lebih
baik atau sebaliknya?.
"Gentayangan" memperlihatkan hal tersebut, betapa pilihan sederhana bisa menjadi titik awal dari perubahan takdir seseorang. Hanya dengan memutuskan apakah engkau akan mampir atau tidak di rumah seseorang, akan menjadi titik penentu apakah hidupmu hanya menjadi orang yang biasa biasa saja, ataukah menjadi kekasih lesbian, ataukah menjadi istri seorang ustadz atau mungkin menjadi spesies eksperimen alien di ruang angkasa.
"Gentayangan" memperlihatkan hal tersebut, betapa pilihan sederhana bisa menjadi titik awal dari perubahan takdir seseorang. Hanya dengan memutuskan apakah engkau akan mampir atau tidak di rumah seseorang, akan menjadi titik penentu apakah hidupmu hanya menjadi orang yang biasa biasa saja, ataukah menjadi kekasih lesbian, ataukah menjadi istri seorang ustadz atau mungkin menjadi spesies eksperimen alien di ruang angkasa.
Namun di beberapa bagian diperlihatkan bahwa adakalanya
manusia tidak bisa lari dari takdir, apapun pilihannya ia akan kembali bermuara pada jalur yang sama. Seperti ketika sang
tokoh memilih menuju Zagreb ketimbang Amsterdam, namun karena faktor cuaca, mau
tidak mau ia harus ke Amsterdam.
Jika direnungi kembali dalam konteks yang lebih
nyata ini akan menjadi hal yang lucu.
Menikmati Ketersesatan
Untuk saya pribadi, novel ini sungguh menyebalkan. Agak sulit mengikuti
alurnya tanpa coretan-coretan
rute perjalanan dan penanda di tiap halaman tertentu. Bahkan dengan itu pun saya masih suka tersesat, salah melangkahi rute yang
membuat kisah saya jadi berantakan meski
masih terasa nyambung.
Ketika jenuh dan jengah dalam ketersesatan, novel ini bisa saya tinggalkan berminggu-minggu sambil berganti dengan
bacaan yang lain. Namun tetap saja ia selalu mengeluarkan bisikan, memanggil untuk segera dilanjutkan. Saya
baru tuntas membacanya dalam kurun waktu hampir setengah tahun. Cukup lama. Itupun saya masih ragu apakah
saya benar benar menyelesaikannya.
“Penulis
fiksi ternyata benar-benar iseng, kalau bukan keji. Mereka bekerja keras
menciptakan labirin, mencari orang orang patuh untuk disesatkan di dalmnya,
menikmati penderitaan korban sambil minum kopi dan makan donat” (hal 319)
Rute yang sejauh ini saya temukan _entah bagaimana
cara menghitungnya_ jika dirunut bisa sampai 23 rute, bisa juga 13 atau 15 (jika
rute berbeda yang berujung pada satu tamat dihitung 2). Yang jelas saya telah
melalui 23 titik persimpangan pilihan yang berujung pada 13 TAMAT. Melelahkan
namun cukup menyenangkan.
Cewek baik masuk surga, cewek bandel
gentayangan.
------------------------------------------
(Larangan, 10/02/2019)