Subuh ini saya melihat lini masa dipenuhi berita duka
atas berpulangnya salah satu Ulama terbaik negeri ini ke rahmatullah.
Beliau banyak
dikagumi dan dibicarakan oleh kawan kawan saya semasa kuliah dulu, terutama
kawan kawan yang tinggal di sekitar pemukiman az-zikra. Saya juga pernah sekali berbicara langsung dengan beliau, sayangnya itu adalah
pengalaman yang kurang mengenakkan buat saya.
***
Waktu itu saya
diberi misi oleh seorang Imam Andalusia untuk mengantarkan surat undangan
khatib jum'at ke Beliau. Katanya ”harus berhasil”. Wassem, mendengar
itu saya pesimis duluan, wong siapa saya. "Justru seharusnya sesama Imam yang mengundang Imam", batinku. Namun
karena sudah diberi amanah apa boleh buat, setidaknya surat itu harus sampai ke
tangan Beliau.
Akhirnya subuh
subuh saya bergegas ke Masjid az-zikra, dengan asumsi beliau pasti ada di
masjid memberi kajian subuh.
Tak lupa saya membawa peci
dan sorban tentunya untuk menutupi rambut saya yang waktu itu cukup menggemaskan kalau dipamerkan.
Sayangnya
selepas kajian subuh saya tidak menemukan Beliau. Seorang kawan yang sering
nongkrong di masjid itu melihat saya mondar-mandir. Sebut saja Nurul
Huda. Dia kepo dan saya menjelaskan perihal kebingungan saya. Lalu Huda menyuruh agar saya
mengikutinya. Dari tampangnya cukup meyakinkan kalau dia tahu di mana beliau
berada. Alhamdulillah, rupanya saya
sedikit tertolong.
Kami pun
berjalan ke sebuah ruangan yang terletak di belakang mihrab. Pintunya terbuka
sehingga kami masuk saja. Namun di situ tak ada siapa siapa. Huda bilang biasanya Beliau di sini
(dengan wajah meyakinkan lagi). Saya
baru mengucap salam pas di dalam
ruangan itu, namun tak ada yang menyahut.
Tak lama
kemudian beliau muncul dari balik tirai dengan wajah heran, nampaknya Beliau
habis berzikir. Belum sempat saya
menjelaskan maksud kedatangan saya, Beliau langsung menegaskan kalau ruangan
itu adalah ruang privasinya.
(Alamaaaaakkk.
terkutuk kau Nurul Huda)
Saya langsung
minta maaf dengan penuh rasa
bersalah. Beliau lalu menuntun kami
berdua keluar sambil mengobrol. Pada saat itulah saya menjelaskan tujuan saya
bertemu Beliau sambil menyerahkan amplop surat undangan.
Dia menolak.
Saya tidak
kaget, dengan menyadari ketidaksopanan saya waktu itu. Namun beliau menjelaskan
kalau jadwalnya memang sudah penuh bahkan mungkin untuk tahun depan.
“Gak bisa sama sekali Ustadz?”,
tanyaku sedikit menekan.
Dia lalu
menawarkan Ustadz terbaik Az-zikra
sebagai pengganti dirinya. Katanya lulusan Kairo atau Madinah, saya lupa. Nanti
dia datangkan ke Masjid Andalusia. Karena
sudah ngomong begitu sayapun
menyerah. Karena akan semakin tidak sopan jika saya memelas.
Akhirnya saya
pulang dengan kegagalan. Saya bilang ke Imam Andalusia kalau Beliau tidak bisa.
Adapun cerita ini tidak saya ceritakan ke Sang Imam. Karena nama saya bakal jadi bulan bulanan kalau
ada rapat mingguan nantinya.
***
Untuk Gurunda
Ustadz Arifin Ilham, terima
Kasih atas pengabdiannya untuk ummat. Saya
menjadi saksi bahwa Beliau adalah orang
yang Sholeh. Semoga amal kebaikannya diterima di sisi Nya. Aamiin.
Valar Morghulis