Sunday, 23 June 2019

Bookspirasi : Tiba Sebelum Berangkat, Luka Liku Si Gender ke Lima



Saya telah salah pilih bacaan saat bulan Ramadhan. Ada beberapa adegan yang mudah mudahan tidak membuat puasa jadi makruh. Gambaran awal cerita cukup filmis dan menegangkan. Novel ini sama sekali tidak se-kawaii covernya.

Tokoh utamanya adalah Mapata (juga dipanggil Laela), seorang tawanan yang disekap oleh sebuah organisasi gelap penjual organ tubuh manusia, telah menerima berbagai macam siksaan selama proses interogasi, dari penisnya yang ditindih dengan kaki kursi, jemarinya yang dipatahkan satu per satu hingga lidahnya yang dipotong dengan bilah bambu. Awalnya semua itu tak membuatnya gentar.

Kau tidak akan mampu membunuhku selain dengan membuatku berhenti bernyawa, dan itu ..... itu bahkan tidak mampu menghentikanku tertawa, malah seperti dipijit.

Namun beda cerita ketika orang terdekatnya ikut terlibat. Akhirnya ia menyerah dan mulai bercerita melalui tulisan kepada Ali Baba, ketua dari Organisasi tersebut. Catatan demi catatan yang Pata tulis mulai mengungkapkan semua peristiwa kelam yang beririsan dengan masa lalu Pata sebagai seorang Bissu.

Bissu, gender ke-lima masyarakat Bugis

Bissu merupakan sebutan untuk tokoh pendeta di masyarakat Bugis. Kadang menjadi penasehat spiritual untuk para raja dan beberapa tokoh di masa lampau. Bissu berbeda dengan manusia pada umumnya, mereka dianggap bukan laki laki, bukan juga perempuan. Dari sini pula Penulis menerangkan bahwa masyarakat Bugis memang mengenal lima jenis gender, yaitu oroane, makkunrai, calabai, calalai dan bissu.

Dalam kitab I La Galigo disebutkan bahwa dititipkan pasangan pemimpin manusia pertama di Dunia tengah,  yang laki laki datang dari Dunia Atas dan yang perempuan muncul dari Dunia Bawah dan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia, diturunkan pula seorang bissu – yang bukan lelaki, bukan pula perempuan – sebagai pengatur tatanan spiritual di muka bumi. (hal. 60-61)

Di beberapa daerah peran Bissu masih dianggap penting dalam melayani kebutuhan masyarakat pada ritual ritual tertentu seperti pernikahan, membantu yang sakit, sebelum menanam padi ataupun saat panen, penentuan hari baik untuk mengadakan syukuran barazani, sunatan, akikahan dan ritual ritual lainnya.

       Di suatu acara orang Bugis, pernah juga saya temukan para Bissu menampilkan tari ma’giri di depan para tokoh-tokoh pejabat. Mereka berhasil membuat para penonton merinding dan takjub dengan atraksi atraksi don’t try it at home nya dengan menusuk nusuk leher dan anggota badannya dengan menggunakan badik, tanpa menyisakan bekas darah sedikitpun. Tari ini sama ekstrimnya dengan atraksi debus yang dimiliki oleh masyarakat Banten.

         Bissu memang terkenal dengan ilmu kekebalannya. Di TSB disebut sebagai makhluk tak berdarah. Tak berdarah karena kebal dan tak berdarah karena tidak mengalami datang bulan.

 Mapata telah mempelajari berbagai macam ilmu kabatinan Bugis saat dirinya menjadi taboto untuk Puang Matua Rusmi. Taboto bisa dibilang asistennya Bissu, ada juga yang menyebutnya suami atau pasangannya Bissu yang membantu keperluan Bissu dalam berbagai hal. Tidak hanya ilmu kekebalan, Pata juga menguasai ilmu cenningrara (memikat), ilmu assikallaibineng (kamasutra) untuk persetubuhan serta ilmu pakkarawa yang mampu membuat lawan jenisnya orgasme hanya dengan sentuhan kulit.

Andi Kapang meninggal dengan perut yang membesar lalu meledak. Ingat, kan? Saya hanya menelan ludah untuk melakukan itu. (Hal. 194)

Iapun menjelaskan tiga tingkatan ilmu kebatinan yang dimilikinya.  Pertama adalah Saba’ saba’ atau baca baca seperti mantra. Kedua yaitu Gau gaukeng atau lakuan, seperi melipat ujung lidah ke langit-langit mulut untuk menjadi kebal. Dan yang terakhir dan tingkat tertinggi adalah Paringngerang atau ingatan.


Kenbonshoku Haki seorang Bissu


Jika mengikuti serial One Piece, istilah Haki mungkin tidak asing lagi. Pada manga tersebut ada tokoh bernama Katakuri yang memiliki Kenbonshoku haki tingkat tinggi (the color of observation), dimana ia bisa memprediksi gerak lawan di masa depan ketika bertarung.

Paung Matua Rusmi dalam pertarungannya melawan tentara Gurilla menerapkan ilmu yang hampir sama dengan kenbonshoku haki ini, meskipun milik Puang lebih jauh melihat ke depan.

Saya tidak akan berangkat sebelum sampai di tempat tujuan, saya tidak akan bertarung sebelum selamat lebih awal. Dia melihat dirinya berjalan menyusuri jalanan kampung ..... Bissu Rusmi melangkah sebagai laki-laki dan melangkah sebagai orang yang akan selamat. (Hal. 131)

Dengan salah satu ilmu tersebut, Bissu Puang Matua Rusmi bahkan telah menyelesaikan pertarungannya sebelum ia memulainya. Sampai saat ini saya juga belum tahu apakah ada Bissu yang masih menerapkan ilmu itu.

Penderitaan Masyarakat Sipil di Era Gurilla

Dengan berlatar Sulawesi Selatan, novel ini banyak menggambarkan sejarah Sulawesi Selatan di era 1950 - 60an, yaitu dari pembubaran Negara Indonesia Timur, kedatangan APRIS (tentara Jawa/TNI), munculnya KGGS hingga pemberontakan Kahar Muzakkar di bawah bendera TII/DI.

Penulis menjelaskan motif sejarah mengapa Gurilla _ Gerilya dalam dialek bugis, sebutan untuk tentara KGSS_ mulai perang. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik pada saat itu yang terlalu Jawa-sentris. KGSS yang isinya para veteran perang ingin dimasukkan menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) atau TNI pada saat itu. Sayangnya permintaan mereka ditolak, karena untuk masuk APRIS perlu dilakukan berbagai tes termasuk baca tulis.

Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN), namun hal ini hanya dianggap sebagai bujuk rayu pemerintah untuk berkompromi. CTN bagi Gurilla belum setara dengan APRIS, malah dianggap sebagai bentuk diskriminasi.

Di tambah lagi banyaknya bekas tentara KNIL yang merupakan bentukan Belanda pada saat itu, diterima menjadi tentara APRIS. Hal ini menambah kecemburuan di kubu Gurilla. Dari sini pulalah berawal pemberontakan pasukan Gurilla yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Yang beberapa tahun kemudian Kahar Muzakkar tertarik untuk bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo dan membentuk darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk membangun Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan.

Situasi politik yang sangat bergejolak pada saat itu adalah masa masa sulit bagi rakyat sipil yang berada di antara kubu yang saling bertikai.

Nak Pata, kau mungkin tidak bisa membayangkan kekacauan yang terjadi. Tentara Jawa dan TII saling serang dan menguasai kampung. Kami sebagai warga biasa yang jadi korbannya. Jika perang di utara maka kami lari ke selatan, perang di barat maka kami mengungsi di timur. Kami meninggalkan kampung yang dihancurkan perang. (hal. 110)

Warga membenci gurilla karena mereka biasa mencuri bahan makanan dan ternak penduduk. Sedangkan tentara nasional dibenci karena mereka selalu mengancam dan meresahkan warga. Ditambah ketika mereka membakar kebun, sawah dan ternak warga. ..... agar gurilla kehabisan logistik.
(hal. 192)

Pada masa itu, Bissu menjadi salah satu korban perseteruan antara kelompok. Kahar muzakkar setelah memproklamirkan DII di Sulawesi Selatan, mulai melakukan Operasi Toba (Tobat) untuk menghilangkan secara keras hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Komunitas Bissu dinilai banyak melenceng dari ajaran Islam. Mereka sering dianggap layaknya Kaum sodom, komunis, penista agama, penyembah berhala, pembangkang. Sehingga pada masa itu kelompok bissu diporak porandakan.

Suatu waktu, Tentara Islam akan turun gunung dan mencari kami, para bissu, untuk dikembalikan jadi lelaki. Jika kami menolak, kami akan di bunuh. Tentara jawa sama kejamnya, mereka menuduh kami mata-mata Tentara Islam, mereka akan menangkap lalu menyiksa bahkan membunuh beberapa warga yang berusaha melarikan diri. (hal. 110)

Dengan alur zig-zag yang melompat lompat dari masa lalu ke masa yang lain melalui medium catatan, semua peritiwa itu digambarkan dengan padat layaknya diruang interogasi.

Novel ini cocok bagi peminat sejarah kebudayaan Indonesia Timur khususnya di Sulawesi. Meskipun ini hanya fiktif, banyak adat dan tradisi masyarakat Bugis yang diselipkan di dalam cerita yang penuh dengan luka, konflik berdarah, pengkhiantan dan penderitaan.

Comments
0 Comments

No comments: