Saya telah salah pilih bacaan saat
bulan Ramadhan. Ada beberapa adegan yang mudah mudahan tidak membuat puasa jadi
makruh. Gambaran awal cerita cukup filmis dan menegangkan. Novel ini
sama sekali tidak se-kawaii covernya.
Tokoh utamanya adalah Mapata (juga dipanggil
Laela), seorang tawanan yang disekap oleh sebuah organisasi gelap penjual organ
tubuh manusia, telah menerima berbagai macam siksaan selama proses interogasi,
dari penisnya yang ditindih dengan kaki kursi, jemarinya yang dipatahkan satu
per satu hingga lidahnya yang dipotong dengan bilah bambu. Awalnya semua itu
tak membuatnya gentar.
Kau tidak akan mampu
membunuhku selain dengan membuatku berhenti bernyawa, dan itu ..... itu bahkan tidak
mampu menghentikanku tertawa, malah seperti dipijit.
Namun beda
cerita ketika orang terdekatnya ikut terlibat. Akhirnya ia menyerah dan mulai
bercerita melalui tulisan kepada Ali Baba, ketua dari Organisasi tersebut. Catatan demi catatan yang Pata tulis mulai
mengungkapkan semua peristiwa kelam yang beririsan dengan masa lalu Pata sebagai seorang Bissu.
Bissu, gender ke-lima masyarakat Bugis
Bissu merupakan
sebutan untuk tokoh pendeta di masyarakat Bugis. Kadang menjadi penasehat
spiritual untuk para raja dan beberapa tokoh di masa lampau. Bissu berbeda
dengan manusia pada umumnya, mereka dianggap bukan laki laki, bukan juga perempuan. Dari sini pula
Penulis menerangkan bahwa masyarakat Bugis memang mengenal lima
jenis gender, yaitu oroane, makkunrai, calabai, calalai dan bissu.
Dalam
kitab I La Galigo disebutkan bahwa dititipkan pasangan pemimpin manusia pertama
di Dunia tengah, yang laki laki datang
dari Dunia Atas dan yang perempuan muncul dari Dunia Bawah dan untuk
menciptakan keseimbangan hidup manusia, diturunkan pula seorang bissu – yang
bukan lelaki, bukan pula perempuan – sebagai pengatur tatanan spiritual di muka
bumi. (hal. 60-61)
Di beberapa daerah peran Bissu masih dianggap
penting dalam melayani kebutuhan masyarakat pada ritual ritual tertentu seperti
pernikahan, membantu yang sakit, sebelum menanam padi ataupun saat panen, penentuan
hari baik untuk mengadakan syukuran barazani, sunatan, akikahan dan ritual
ritual lainnya.
Di suatu acara orang
Bugis, pernah juga saya temukan para Bissu menampilkan tari ma’giri di depan para tokoh-tokoh
pejabat. Mereka berhasil membuat para penonton merinding dan takjub dengan
atraksi atraksi don’t try it at home nya
dengan menusuk nusuk leher dan anggota badannya dengan menggunakan badik, tanpa
menyisakan bekas darah sedikitpun. Tari ini sama ekstrimnya dengan atraksi
debus yang dimiliki oleh masyarakat Banten.
Bissu memang terkenal dengan ilmu kekebalannya. Di TSB disebut sebagai
makhluk tak berdarah. Tak berdarah karena kebal dan tak berdarah karena tidak
mengalami datang bulan.
Mapata telah mempelajari berbagai macam ilmu
kabatinan Bugis saat dirinya menjadi taboto untuk Puang Matua Rusmi. Taboto
bisa dibilang asistennya Bissu, ada juga yang menyebutnya suami atau
pasangannya Bissu yang membantu keperluan Bissu dalam berbagai hal. Tidak hanya
ilmu kekebalan, Pata juga menguasai ilmu cenningrara
(memikat), ilmu assikallaibineng
(kamasutra) untuk persetubuhan serta ilmu pakkarawa
yang mampu membuat lawan jenisnya orgasme hanya dengan sentuhan kulit.
Andi
Kapang meninggal dengan perut yang membesar lalu meledak. Ingat, kan? Saya
hanya menelan ludah untuk melakukan itu. (Hal. 194)
Iapun menjelaskan tiga tingkatan ilmu kebatinan
yang dimilikinya. Pertama adalah Saba’ saba’ atau baca baca seperti
mantra. Kedua yaitu Gau gaukeng atau
lakuan, seperi melipat ujung lidah ke langit-langit mulut untuk menjadi kebal.
Dan yang terakhir dan tingkat tertinggi adalah Paringngerang atau ingatan.
Kenbonshoku Haki seorang Bissu
Jika mengikuti serial One Piece, istilah Haki
mungkin tidak asing lagi. Pada manga tersebut ada tokoh bernama Katakuri yang
memiliki Kenbonshoku haki tingkat tinggi (the color of observation), dimana ia
bisa memprediksi gerak lawan di masa depan ketika bertarung.
Paung Matua Rusmi dalam pertarungannya melawan
tentara Gurilla menerapkan ilmu yang hampir sama dengan kenbonshoku haki ini,
meskipun milik Puang lebih jauh melihat ke depan.
Saya tidak akan berangkat
sebelum sampai di tempat tujuan, saya tidak akan bertarung sebelum selamat
lebih awal. Dia melihat dirinya berjalan menyusuri jalanan kampung ..... Bissu
Rusmi melangkah sebagai laki-laki dan melangkah sebagai orang yang akan
selamat. (Hal. 131)
Dengan salah satu ilmu tersebut, Bissu Puang Matua
Rusmi bahkan telah menyelesaikan pertarungannya sebelum ia memulainya. Sampai
saat ini saya juga belum tahu apakah ada Bissu yang masih menerapkan ilmu itu.
Penderitaan Masyarakat Sipil di Era Gurilla
Dengan berlatar
Sulawesi Selatan, novel ini banyak menggambarkan sejarah Sulawesi Selatan di
era 1950 - 60an, yaitu dari
pembubaran Negara Indonesia Timur, kedatangan APRIS (tentara Jawa/TNI),
munculnya KGGS hingga pemberontakan Kahar Muzakkar di bawah bendera TII/DI.
Penulis menjelaskan motif sejarah mengapa Gurilla
_ Gerilya dalam dialek bugis, sebutan untuk tentara KGSS_ mulai perang. Hal ini
tidak terlepas dari situasi politik pada saat itu yang terlalu Jawa-sentris.
KGSS yang isinya para veteran perang ingin dimasukkan menjadi APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat) atau TNI pada saat itu. Sayangnya permintaan
mereka ditolak, karena untuk masuk APRIS perlu dilakukan berbagai tes termasuk
baca tulis.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan
bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN), namun hal ini hanya
dianggap sebagai bujuk rayu pemerintah untuk berkompromi. CTN bagi Gurilla
belum setara dengan APRIS, malah dianggap sebagai bentuk diskriminasi.
Di tambah lagi banyaknya bekas tentara KNIL yang
merupakan bentukan Belanda pada saat itu, diterima menjadi tentara APRIS. Hal
ini menambah kecemburuan di kubu Gurilla. Dari sini pulalah berawal
pemberontakan pasukan Gurilla yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Yang beberapa
tahun kemudian Kahar Muzakkar tertarik untuk bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo
dan membentuk darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk membangun
Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan.
Situasi politik yang sangat bergejolak pada saat
itu adalah masa masa sulit bagi rakyat sipil yang berada di antara kubu yang
saling bertikai.
Nak Pata, kau mungkin tidak
bisa membayangkan kekacauan yang terjadi. Tentara Jawa dan TII saling serang
dan menguasai kampung. Kami sebagai warga biasa yang jadi korbannya. Jika
perang di utara maka kami lari ke selatan, perang di barat maka kami mengungsi
di timur. Kami meninggalkan kampung yang dihancurkan perang. (hal. 110)
Warga membenci gurilla
karena mereka biasa mencuri bahan makanan dan ternak penduduk. Sedangkan
tentara nasional dibenci karena mereka selalu mengancam dan meresahkan warga.
Ditambah ketika mereka membakar kebun, sawah dan ternak warga. ..... agar
gurilla kehabisan logistik.
(hal. 192)
Pada masa itu,
Bissu menjadi salah satu korban perseteruan antara kelompok. Kahar muzakkar setelah memproklamirkan DII di
Sulawesi Selatan, mulai melakukan Operasi Toba (Tobat) untuk
menghilangkan secara keras hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Komunitas
Bissu dinilai banyak
melenceng dari ajaran Islam. Mereka
sering dianggap layaknya Kaum sodom, komunis, penista agama, penyembah berhala,
pembangkang. Sehingga pada masa itu kelompok bissu diporak porandakan.
Suatu waktu, Tentara Islam
akan turun gunung dan mencari kami, para bissu, untuk dikembalikan jadi lelaki.
Jika kami menolak, kami akan di bunuh. Tentara jawa sama kejamnya, mereka
menuduh kami mata-mata Tentara Islam, mereka akan menangkap lalu menyiksa
bahkan membunuh beberapa warga yang berusaha melarikan diri. (hal. 110)
Dengan alur zig-zag yang melompat lompat dari masa
lalu ke masa yang lain melalui medium catatan, semua peritiwa itu digambarkan
dengan padat layaknya diruang interogasi.
Novel ini cocok bagi peminat sejarah kebudayaan Indonesia
Timur khususnya di Sulawesi. Meskipun ini hanya fiktif, banyak adat dan tradisi
masyarakat Bugis yang diselipkan di dalam cerita yang penuh dengan luka,
konflik berdarah, pengkhiantan dan penderitaan.