Thursday 26 January 2017

Bookspirasi : Tamasya ke "Perpustakaan Kelamin"


 Sekilas tentang Perpustakaan Kelamin

Novel ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Hariang yang dibesarkan oleh seorang Ibu yang sangat mencintai buku. Di dalam rumah, ada sebuah ruangan yang sangat dirahasiakan oleh ibunya. Tiap kali Hariang menanyakan perihal tersebut, ibunya selalu mengelak dengan berkata “Kamu belum waktunya tahu”. Tak jarang perihal tersebut menimbulkan pertengkaran diantara mereka berdua.

Barulah ketika Haring beranjak Dewasa, ia kembali memberanikan diri untuk kembali menanyakannya. Dan kini Ibunya mengizinkan. Saat dia membuka ruangan tersebut, ia terkejut. Ruangan yang  selama ini  ia kira makam ayahnya ternyata adalah sebuah perpustakaan dengan ribuan buku  yang dikumpulkan dari hasil keringat ibunya selama ini. Uniknya, rahasia yang selama ini ditutupi oleh ibunya merupakan sebuah metode yang sengaja diterapkan sang Ibu.

"Merahasiakan ruangan ini dari kamu, adalah mutlak rencana ibu. Alasan ibu sederhana, biar kamu terus bertanya, merindukannya, lalu jatuh cinta kepada yang ibu rahasiakan itu, sesaat setelah kamu mengetahuinya”
“Ibu hanya ingin kamu jatuh cinta kepada buku, menganggapnya sebagai benda yang istimewa”
(hlm 10)

Akhirnya Hariang dan Ibunya membuka perpustakaan tersebut untuk masyarakat desa dengan nama Pabokan Kadeudeuh (Sunda : Perpustakaan Kasih Sayang) . Hadirnya perpustakaan itu sedikit demi sedikit membawa minat baca pada warga desa, bahkan orang luar desa / kota pun sering datang untuk mencari  tambahan referensi. Pabokan Kadeudeuh bak oase intelektual bagi masyarakat desa Cigendel.

Suatu ketika perpustakaan itu mengalami kebakaran. Api melahap segalanya, tak ada buku yang tersisa, semuanya menjadi abu. Kebakaran ini membawa dampak psikologis pada Ibu Hariang. Kewarasannya tergocang. Hariang melihat ibunya tenggelam dalam keadaan mengerikan dibanding kematian.

Saat itu ada sabda yang masuk dalam jiwa Hariang. Bahwa jalan satu satunya untuk mengembalikan Ibunya seperti yang dulu adalah dengan membangun kembali Pabokan Kadeudeuh. Namun dari mana Hariang mendapatkan buku tersebut dalam waktu singkat?.

Tiga bulan ia bekerja serabutan, baru 400 an buku yang terkumpul, ini masih jauh dari harapan. Ia tak bisa menunggu lama lagi , ia tak tahan melihat ibunya tersiksa lahir batin. Di tengah frustasi itu, nama Kang Ulun melintas ke dalam pikirannya. Seorang sahabatnya yang sedang membutuhkan donor kelamin dengan menjanjikan imbalan sebanyak 1,5 Milyard. Inikah jalan satu-satunya untuk mengembalikan kesehatan ibunya?.

Buku tentang Buku

Menurut saya perpustakaan kelamin merupakan buku tentang buku. Banyak sekali dialog-dialog para tokoh dalam novel ini yang membahas tentang dunia kepustakaan dan karya-karya penulis legendaris. Contohnya dialog antara Hariang dan ibunya tentang Puisi Sutardji Chalzoum Bachri dalam buku O Amuk Kapal (Hal. 17) atau tentang perkawinan sejarah kertas yang ditemukan oleh  Tsai lun dan mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Van Guttenberg. Atau diskusi para Barudak PAKU atas Karya Fernando Baez yang berjudul “Penghancuran Buku dari masa ke masa”. Juga ketika sedang buang hajat, Hariang membaca karya Patut Widjanarko “memposisikan Buku di Era Cyber”, dan ia menemukan hal menarik tentang Jenis jenis para Penggandrung buku yang begitu unik. (Hal. 27)

Meskipun materi-materi dialognya terasa kurang natural dan terkesan dibuat-buat _itu menurutku, yah namanya juga cerita_. Tak jarang penjelasan demi penjelasan dalam cerita mengutip pendapat para tokoh dan penulis dalam bukunya. Sehingga saya merasa bahwa buku ini juga semacam katalog dalam bentuk cerita. Saya _ sebagai orang yang belum begitu banyak mengkonsumsi buku_ banyak menemukan judul buku-buku menarik yang sepertinya diam diam direkomendasikan oleh penulis untuk kita baca.

          Selain, itu buku ini sekilas menggambarkan etika dan adab seseorang terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Diceritakan bagaimana Ibu hariang sangat menghormati para penulis sampai-sampai tiap malam ia membaca surah Yasin untuk mereka _yang Hariang kira Ibunya sedang mendoakan sang Bapak.

“Hariang, Ibu merasa berhutang budi kepada para penulis buku. Karena mereka telah bersusah payah menangkap berbagai realitas, yang kemudian diteks-kan,agar kita semua bisa membacanya hari ini. Itulah kenapa ibu selalu membaca surat Yasin kepada mereka…. ” (Hal.8)

Di kalangan santri pesantren, adab seperti ini seringkali diajarkan, yakni  mendoakan pengarang sebelum atau sesudah mempelajari kitabnya, sebagai rasa terima kasih atas upaya mereka, yang semoga dengan itu Tuhan membukakan pintu pengetahuannya untuk kita juga.

Sindiran untuk Dunia akademisi dan Budaya Literasi


Selain memperkaya khazanah akan kepustakaan , Saya menemukan ada dua eksistensi lembaga dalam cerita, yang saya pikir WOW untuk diaktualisasikan di dunia nyata. Keduanya hadir sebagai kritik atas kondisi literasi dan akademisi kita saat ini.

Pertama adalah PAKU, yang merupakan akronim dari Pasukan Anti Kuliah. PAKU merupakan perkumpulan yang diikuti oleh Hariang. Organisasi ini diikuti oleh mereka yang kena DO, mereka yang malas kuliah, yang tidak kuliah, atau mereka yang tidak lulus seleksi perguruan tinggi. Kegiatan perkumpulan ini cuma dua yaitu diskusi buku dan membasuh kaki ayah dan ibu (Hal 139). Menurut saya, PAKU merupakan sebuah ekstensi kritik akan dunia akademisi saat ini yang begitu _maaf_ komersil dan feodal. Beberapa satire dan sinisme bisa kita temukan ketika para Barudak PAKU kembali mengutarakan alasannya masing masing, mengapa mereka ikut dalam perkumpulan tersebut.

Aku Reni. Terlalu banyak dosen yang tidak terbuka dengan pikiran pikiran dari mahasiswa. Setiap kali aku membantah argumennya, dia malah mencela, bahkan membeciku. Inilah yang jadi alasanku masuk PAKU.”
“Saya Bajri. Kampus memperlihatkan dirinya dalam bentuk feodal, tapi PAKU memperlihatkan dirinya penuh kesetaraan.”
 “Tantri, Panggil saja aku begitu. Aku memilih masuk PAKU dibanding kampus. Dengan biaya yang sangat mahal, kampus belum tentu membuatku menjadi orang bermutu. Tapi PAKU tanpa biaya, tanpa visi mis yang jelas, telah bisa membuatku dikelilingi ilmu.”
“Dani nama saya. Di PAKU, buku diposisikan sebagai peradaban. Di kampus saya, buku tidak ubahnya seperti seonggok mainan.”
“Kampus membentuk saya menjadi sarjana Fakultatif. Dan PAKU mengajarkan saya menjadi sarjana Universitas. Saya Unang” (Hal 101-102)
Ibu Hariang juga tak kalah pandangannya “Perkuliahan adalah ritual penantian ijazah” (Hal 39)

Anda tentu boleh saja tidak sependapat dengan mereka, mengingat masih banyak hal positif yang bisa ditemukan di dunia perkuliahan, namun pendapat-pendapat mereka juga tak bisa kita nafikan, sekaligus menjadi bahan refleksi untuk kita khususnya para civitas yang terlibat langsung dalam dunia akademisi. Bahkan seorang Margeret Maid saja pernah berkata “Nenek ingin aku meperoleh pendidikan, itu sebabnnya ia melarangku bersekolah”.
Kedua adalah Pabukon Kadeudeuh, yaitu perpustakaan yang dibuka oleh Hariang dan ibunya untuk masyarakat desa Cigendel. Buku bukunya merupakan hasil keringat dari ibu Hariang selama 19 tahun. Dari tiap hasil kebunnya, ia selalu menyisihkan sebagian untuk dibelikan buku. Dari sini, Ibu Hariang ingin menunjukkan kepada kita bahwa buku bukanlah barang ekslusif yang hanya layak dan dapat dimiliki oleh orang kaya ataupun akademisi saja.

Adanya Pabukon Kadeudeuh dalam cerita ini sungguh relevan dengan atmosfer budaya literasi yang masih memprihatinkan. Data statistik UNESCO 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di negeri ini baru mencapai 0,001. Yang artinya, dari setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. PAKU dan Pabukon Kadeudeuh merupakan dua contoh lembaga yang setidaknya mampu memantik kapada kita untuk terus meningkatkan budaya literasi kita yang masih rendah.

 ************* 


Dari berbagai lika-liku alur dan dialog yang disajikan penulis tentang masalah sejarah, pendidikan, perbukuan, kesusastraan, keagamaan hingga sex dan feminisme, semuanya akan bermuara pada satu pertanyaan. Akankah Hariang mendonorkan kelaminnya?. Organ tubuh yang bentuknya memang sepele, namun ia adalah segala galanya.

Endingnya?. Benar benar Kampretos bin bangsatos. Menarik untuk diikuti.



Ciledug, 26 Januari 2017
Comments
0 Comments

No comments: