Sunday 21 June 2020

Bookspirasi : Spiritualisme Kritis pada Bilangan Fu




     1 : a = 1 x a = 1; dan a bukan 1. Bilangan apakah a?


Dalam novel ini, formula tersebut dijabarkan secara filosofis melalui pergulatan batin seorang pemanjat tebing bernama Sandi Yuda yang mendapatkan bisikan bilangan mistis dari makhluk bulsebul (manusia-serigala-jantan-betina) yang kerapkali datang dalam mimpinya.

Spiritualisme kritis menjadi inti sel dari buku ini, yakni sikap spiritual yang tidak bertolak belakang dengan nalar kritis. Pemikiran ini dijewantahkan penulis secara dialogis dalam kisah persahabatan Yuda yang modernis dengan seorang ahli geologi yang humanis bernama Parang jati, sehabat sekaligus rival dari kebiasaan bertaruhnya.

Yuda tak pernah membayangkan kalau suatu saat, sedikit demi sedikit Jati membawanya pada misteri dan alam pikiran tak berujung yang mulai mempengaruhi paradigma dan kehidupannya. Dipacu oleh kasus-kasus ganjil, seperti hilangnya mayat dari kubur, pembunuhan guru ngaji hingga kemunculan pasukan ninja juga manusia sirkus aneh mengantarkan mereka dari teka-teki yang satu ke teka-teki yang lain.

Secara garis besar, ada 3 laku kritik yang ditujukan penulis pada apa yang ia sebut sebagai musuh dunia postmodern, yaitu modernisme, militerisme dan monoteisme.

Tiga serangkai itu kemudian dibenturkan pada isu lingkungan. Diceritakan bahwa Sewu Gunung yang merupakan tempat pemanjatan mereka, areanya mulai menjadi sasaran korporasi untuk kepentingan tambang.

Modernisme dengan segala konsep hak kepemilikannya mengakomodasi keinginan manusia untuk menguasai. Juga peran rasionalisme yang telah mengakhiri abad kegelapan perlahan menggeser takhayul dan mistisme di masyarakat. Padahal sebenarnya beberapa takhayul telah lama berfungsi untuk menjaga alam_.
 
Modernisme memiliki jalan yang lurus, tapi tidak tujuan yang lurus.  
Takhayul memiliki tujuan yang lurus, tapi tidak jalan yang lurus. 
Modernisme adalah alat untuk memperalat. Takhayul adalah alat untuk diperalat. 
(hlm. 188)

Modernisme pun akhirnya berjodoh dengan monoteisme yang beberapa kaum fanatik memeluknya dengan penuh nafsu kemahabenaran. Ayat-ayat sucinya ditunggangi untuk kepentingan kekuasaan sehingga agama lokal seakan dihakimi sebagai setan, penganutnya dicap penyembah berhala. (Hal ini diilustrasikan secara apik dengan kehadiran tokoh pemuda bernama Kupu-kupu, yang digambarkan sebagai pria berjubah, sosok yang menjadi rival jati di masa lalu. Debat mereka terkait agama lokal ketika SMP cukup seru untuk diikuti.)
Dan untuk mencapai tujuan modernisme, tak jarang militerisme dijadikan alat untuk memuluskannya meskipun dengan cara kekerasan. Tiga M yang disebutkan tadi pada akhirnya bergandengan tangan, sama sama memiliki naluri untuk memaksakan kebenaran yang dianutnya sendiri.

Buku ini juga tak lepas dari fakta-fakta dan berita menarik yang sempat viral dasawarsa kemarin, yang diselipkan penulis seperti klipping di sela-sela halaman cerita. Salah satunya yang saya ingat adalah fenomena hantu cekik yang semasa saya kecil seringkali muncul di berita, sebagai alat yang dimainkan penguasa untuk menyebarkan rasa panik pada masyarakat sehingga mudah untuk dikendalikan. Fenomena hantu cekik juga menjadi bukti bahwa betapa kesadaran modern pun tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takhayul.


***

Analogi Pemanjatan Bersih

Di sini saya mulai paham kalau pemanjatan tebing terdiri dari clean climbing dan artificial climbing berdasarkan metode dan alat yang digunakan. Penulis cukup unik memberi  perumpamaan pada alat pemanjatan suci (clean climbing) vs alat pemanjatan kotor (artificial climbing), di mana kita diberi gambaran bagaimana semestinya kebenaran (yang kita yakini) itu disampaikan bukan dengan cara pemaksaan.

“Ada dua macam alat. Alat yang memaksa, dan alat yang dialogis. Alat yang memaksa adalah bor, paku, piton gantungan, kampak, palu. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip, pengaman pegas, pengaman perangko, tali ambin. Ialah alat yang menanggapi uluran atau tantangan yang diberikan alam. Alat yang memaksa datang dari sifat tamak dan kuasa…..Tapi alat yang dialogis datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifat-sifat yang tidak memegahkan diri. Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri. Menerima segala sesuatu, merawat segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”(hlm. 84)

Analogi tersebut ternyata tidak hanya berlaku tentang bagaimana pemanjat memperlakukan tebing, tapi juga tentang bagaimana seorang lelaki memperlakukan perempuan. Karena "seorang satria bersetubuh sejati bersetubuh dalam hubungan dialogis sedangkan perampok memerkosa".

***

Perihal Seksisme dan Femininitas

Berbicara tentang perempuan, kehadiran Marja, sebagai kekasih Yuda dalam cerita selalu menjadi tombol refresh dari tegangnya dialog Yuda dan Jati. Ibarat manusia di antara malaikat polos dan iblis nakal. Sifat manjanya kerapkali membungkam ke dua lelaki tersebut.

Hal itu juga yang menyelamatkan nuansa ceritanya dari terlalu maskulin. Adanya bumbu asmara dan erotis di antara mereka kerapkali bersinggungan dengan fenomena seksisme dan feminisme yang terjadi pada budaya lokal, seperti pada hubungan inses antara Sangkuriang dengan dayang Sumbi.

“Sangkuriang yang polos menginginkan seks. Tapi Dayang Sumbi menginginkan bahtera lengkap dengan danaunya. Lelaki adalah tolol dan tulus  dengan nafsu-nafsunya. Tapi perempuan memiliki maksud dibalik nafsu-nafsunya.”
“Femininitas kalau sudah kawin dengan kekuasaan jadinya ya begitu: manipulatif” 
(hlm. 393)

Itulah mengapa dijelaskan alat reporduksi lelaki ada diluar tubuh dan terlihat, yang manandakan kepolosannya, sedangkan alat reproduksi perempuan ada di dalam tubuh, tersembunyi tanpa diketahui motif dan maksud yang ia simpan.

 “Monster ubur-ubur itu berdenyut dan haus untuk menggelembungkan diri. Tampaknya kenikmatan si monster adalah menggelembungkan diri. Untuk menggelembungkan diri, si monster membutuhkan sedikit saja makanan pemicu. Yaitu, kecebong sperma kita!” (hlm. 29)

Di sini penulis dengan lucunya menggambarkan bagaimana alat reproduksi manusia kerap kali menguasai pemiliknya sendiri dengan memberi perumpamaan monster ubur-ubur untuk rahim perempuan dan mollusca anjing gila pada batang lelaki. Bahwa tubuh kita hanyalah agen untuk memenuhi kebutuhan monster tersebut.

***

Satu yang mencerai beraikan


“Setiap agama menawarkan kebenarannya masing-masing. Tapi agama-agama itu terjebak pada kebenarannya sehingga sikap kritis atas kebenaran sering dianggap sebagai tidak beriman.” (Hlm. 435)

Atas kritiknya pada monoteisme, bab "Antara Nol dan Satu" saya rasa cukup menarik. Yaitu catatan Parang Jati tentang kegelisahannya akhir-akhir ini atas kekerasaan yang dilakukan kaum monoteis (istilahnya dia), terhadap beberapa sekte yang dianggap sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Satu yang bukannya menyatukan justru seringkali mencerai-beraikan, lantaran Tuhan yang Satu ditafsirkan sebagai kebenaran yang satu juga, kemudian diklaim oleh masing-masing kelompok bahwa merekalah pemegang kebenaran yang satu itu. "Satu" yang menjadi benih intoleransi.

Di sini kita diajak menelusuri teologi konsep satu dari sudut pandang geneologi bilangan. Bagaimana sejarah satu itu sendiri sebelum manusia mengenal nol.

Renungan Parang Jati menyimpulkan bahwa konsep tuhan satu menurutnya telah menjadi aritmatis, dan kehilangan makna metaforis dan spiritualnya. Berbeda dengan corak filsafat timur, di mana tuhan berada pada posisi ada yang tiada.

Satu yang tak terpisah dari nol.

Apakah satu itu adalah ketika kita mengancungkan jari telunjuk dengan tegak?. Apakah satu yang dimaksud adalah 2 dikurang 1? Atau 3 dikurang 2?. Saya rasa bukan. Karena apabila satu yang kita maksud sudah berwujud maka itu sudah kalkulasi, sudah nampak, sudah menjadi rupa. Dan saya rasa itu bukan Dia.

Rasio kita hanyalah satu lapisan paling permukaan. Bahasa rasio, yang memahami bilangan secara matematis, logis, operasional-hanyalah bahasa paling permukaan. (hlm. 332) 

Dari properti nol dan satu yang dijabarkan penulis, kita akan mengenal Hu, bilangan sunyi dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan rasional, melainkan spiritual.

Fu atau Hu?

Keduanya memiliki keterkaitan bahkan saya ia langsung diperkenalkan oleh penulis secara simbolis pada cover barunya sebelum kita membuka lembaran.


***


Ciledug, 22 April 2020
Comments
0 Comments

No comments: