Saturday 23 June 2012

PERKEMBANGAN ISLAM DI ASIA TENGGARA


KERAJAAN GOWA-TALLO (Makassar) 



oleh :

ILHAM MANSUR
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA BOGOR





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masuknya Islam ke Asia Tenggara di awali dengan kegiatan kaum pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India dan para sufi pada abad ke-7 M. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Awal masuknya ditandai dengan munculnya kejaan Samudra Pasai yang memperluasislamisasinya di kawasan pulau Sumatera. Disusul dengan munculnya kerajaan demak di pulau Jawa pada abad ke-11. Selama beberapa masa para muballig maupun pedagang melakukan aktivitas da’wahnya di Nusantara.
Di jazirah Sulawesi tepatnya di kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut  kerajaan Makassar. Kerajaan ini  terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi sehingga sangat strategis untuk dijadikan daerah transit oleh para pedagang dan Muballig. Ketika kerajaan tersebut memeluk Islam, masyarakat Sulawaesi Selatan yang dulunya penganut paganisme berubah 360 derajat menjadi umat muslim. Dan sampai sekarang menjadi masyarakat mayoritas yang mempunyai kebudayaan dari hasil campuran adat penduduk pribumi dan peradaban Islam di timur tengah. Hal ini disebabkan oleh ajaran dan prinsip penyebaran islam yang mudah diterima oleh penduduk pribumi. Sayangnya, setelah beberapa dekade kerajaan Islam ini mengalami kemunduran yang dilatar belakangi oleh beberapa faktor.



B. Permasalahan

Dari uraian tersebut di atas, maka muncullah beberapa persoalan sebagai berikut:
1.      Bagaiman awal mula kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam?
2.      Seperti apa prinsip Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan?
3.      Bagaimana perkembangan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan masyarakat?
4.      Apa latarbelakang sehingga kerjaan Gowa Tallo mengalami Kemunduran?

C. Metode dan Sistematika Penulisan
Tulisan yang berupa makalah ini mencoba membahas persoalan atau masalah-masalah pokok sebagaimana telah dikemukakan diatas dengan secara seksama. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca demi kesempurnaan tulisan ini.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif analisis, yakni menelaah sumber-sumber data dan menganalisisnya dengan pendekatan sejarah.
Penulisan ini dibagi dalam tiga Bab yakni: Bab I berisikan Pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, Permasalahan dan Metode Penulisan. Pada Bab II akan dibahas awal kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, prinsip-prinsip dalam penyebarannya dan perkembangannya serta latar belakang kemundurannya. Bab III adalah penutup yang memuat tentang kesimpulan dari tulisan ini.

A.     Awal Mula Kerajaan Gowa-Tallo Memeluk Islam

Sebenarnya Islam sudah dikenaldi Jazirah Sulawesi sejak Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.
Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal.1 Kemudian datanglah Datuk Ribandang seorang Muballig dari Minangkabau Sumatera, hingga Akhirnya berhasil mengislamkan raja Gowa dan Tallo.
Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Gowa dan Tallo disusul ketika ke dua raja tersebut memeluk Islam yaitu Daeng Manrabia (Raja Gowa XIV), yang bergelar Sultan Alauddin dengan Karaeng Matoaya  (Raja Tallo) yang bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan. Selain itu para muballig lain menyebar ke kawasan Sulawesi Selatan diantaranya Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.2   
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 – 1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.



B.     Prinsip Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan

  •     Prinsip Pendekatan Struktural dan Kultural

Penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan kultural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkan ke kerajaan-kerajaan lainnya. Disamping tentunya diikuti dengan pendekatan kultural yakni Kerajaan mengutus para muballigh keseluruh pelosok-pelosok daerah.
Perlu dicatat bahwa penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo kepada rakyat ataupun Raja-raja memegang teguh prinsip mengajak dengan cara damai. Maka bisa kita lihat bagaimana Kerajaan Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang dan Sidenreng) memeluk Islam dengan cara damai setelah diajak oleh Gowa. Berbeda halnya ketika Kerajaan yang diajak oleh Gowa memeluk Islam, lalu menolak Islam, maka Gowa akan memeranginya, seperti yang dilakukannya terhadap Kerajaan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo) sampai ditaklukkannya.
Ini menunjukkan bahwa Gowa sebagai institusi pemerintahan menyadari kewajibannya untuk menyebarkan Islam kepada siapa saja dan dimana saja, yang akhirnya bisa kita saksikan betapa keberhasilan Gowa menyebarkan Islam di Sulawesi, Nusa Tenggara, Ambon dan bahkan bagian timur Nusantara lainnya hingga Marege, Australia bagian utara. Ini dipastikan tidak akan bisa dilakukan kalau tidak didukung oleh kepemimpinan Kerajaan Gowa.
  •           Prinsip penyebaran Islam dengan cara damai

Prinsip damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam, dapat dicermati ketika Raja Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (raja Tallo) Sultan Awwalul Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa sebagai raja Bone XI adalah raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah mengadakan pembicaraan antara raja Gowa dan Raja Bone, maka rakyat Bone dikumpul disuatu lapangan terbuka karena Raja akan menyampaikan sesuatu kepada mereka.
Maka berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak:
“Hai rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada kesanksian apa-apa, saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad SAW.”
Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
“Dan memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan , bahwa barangsiapa diantara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun didepan. Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh ditengan lapangan. Bila kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya  takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun kegelanggan, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati.” Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.3
Kalau kita mencermati petikan pidato diatas dapat dipahami bahwa betapa Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam, bahkan dikatakan kepada mereka jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli yang saling menguatkan satu sama lain. Namun sekalipun Raja Bone La Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun menolak bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya. Dan bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII (1611-1625). Maka Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja Gowa, sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam.
Oleh Abdul Razak Daeng Patunru’ (1969:21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak Kerajaan-kerajaan memeluk Islam, sebagai berikut:
“Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, akan tetapi karena ternyata kepada baginda , bahwa selain raja-raja itu menolak seruan baginda, merekapun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam ditanah-tanah Bugis pada umumnya.

   C.  Perkembangan Prinsip-prinsip Syariat Islam pada Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo diseluruh Sulawesi Selatan bahkan sampai kebagian timur Nusantara, telah memberikan pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat yang meliputi segala bidang, baik aspek politik, pemerintahan, ekonomi maupun sosial-budaya. Tentu perubahan ini adalah mengarah kepada islamisasi segala aspek kehidupan tersebut. Karena begitu kuatnya pengaruh islam yang dikembangkan oleh para muballigh dengan dukungan para raja-raja yang telah memeluk Islam, maka rakyat kerajaan berbondong-bondong memeluk Islam tanpa mereka dipaksa ataupun diancam. bisa kita lihat bagaimana proses Islamisasi di Sulawesi Selatan yang dimulai pada abad ke-17 ini dapat merubah sendi-sendi “Pangngadakkan (Makssar) atau Pangngaderreng (Bugis) yang menyebabkan pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Makassar dan Bugis, Mandar dan lain-lain memperoleh warna baru, karena sara’ (syariat) telah masuk pula menjadi salah satu dari sendi-sendi adat-istiadat itu. Pangadakkang/Pangngaderreng adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi orang Bugis/Makassar. Sistem paranata sosial ini sudah lama mengakar dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bugis/Makassar.4
Maka sebelum Islam datang Pangngadakkan ini terdiri 4 sendi yaitu; Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi yakni Sara’ (syariat Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.5
Dalam prakteknya 4 (empat) dari yang pertama, dipegang oleh Pampawa Ade’ (Pelaksana Adat) yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya, sedangkan yang kelima dipegang oleh Parewa Sara’ (perangkat Syariat) dipimpin oleh Ulama, Imam, Kadi (Qodhi), dan para pembantunya. Kedua Lembaga ini memiliki fungsi dan tugas sesuai bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan otonomi tersendiri. Pemimpin tertinggi Pampawa Ade’ adalah Raja yang khusus menangani pemerintahan, sedangkan pemimpin tertinggi Parewa sara’ adalah ulama yang menagani hal-hal yang berhubungan dengan syariat Islam. Adanya dikotomi tugas ini berimplikasi pada sistem pengaturan sosial selanjutnaya, tetapi tidak berarti terjadi sekularisasi antara urusan Kerajaan dan keagamaan (bukan pemisahan negara dengan Islam, pen.). Sebab dalam prakteknya keduanya saling mengisi atau beriringan, namun adat tetap tunduk kepada ajaran (syariat) Islam. Sehingga yang terjadi adalah syariat Islam tetap bertoleransi kepada adat sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan syariat Islam. Karena syariat Islam telah masuk kedalam sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng, maka wibawa dan kepatuhan rakyat kepada Islam dan adat sama kuatnya.6


v           Bidang sosial kemasyaraktan

Ada beberapa conntoh penerapan syariat Islam dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng dapat dilihat diantarnya :
Perzinahan
Pada wanita atau pria yang berzina setelah menikah, dimana didalam Islam dirajam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk dicemplungkan hidup-hidup kedasar laut. Jika yang bezinah adalah pria atau wanita lajang maka dihukum cambuk.7
  • Kawin Lari (silariang (Makassar))
Apabila sepasang muda-mudi kawin lari (silariang) atau kabur, bila tiba dirumah Imam (Abballa’ imang/mabbola imang) ia akan dilindungi dari kejaran to masiri’na (mahram) demi menghargai otonomi imam yang akan menikahkan mereka menurut syariat Islam. Bila ditemukan diluar rumah Imam, to masiri’na berhak menghukumnya sesuai ketentuan adat karena berada dibawa wilayah otonomi adat.
  • Wanita dalam menerima tamu, safar dan berpakain.
Para penjaga wanita Bugis-Makassar, istilah mahram diterjemahkan to masiri’na (diadopsi dari budaya siri’) yang berfungsi menjaga dan melindungi nama dan harkat perempuan. Itulah sebabnya jika tidak ada to masiri’na didalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula bila bepergian, dia harus dikawal oleh to masiri’na (mahram) dan juga selalu menggunakan dua sarung, satu diikat dipinggang (appalikang, makassar) dan satunya lagi dipakai menutup kepala (berkerudung) atau “abbongong (makassar)”. Begitu juga dalam pakain adat Gowa, sebelum Islam, sudah dikenal pakain Baju Bodo (baju yang lengannya pendek), lalu setelah Islam menjadi agama Kerajaan Gowa, maka baju Bodo diganti menjadi Baju Labbu seperti dituturkan oleh Andi Kumala Idjo, SH selaku putra mahkota pewaris tahta kerajaan Gowa sekarang ini menggantikan Raja Gowa ke-36 Andi Idjo Daeng mattawang Karaeng Lalolang (1946-1960).
Berbagai penerapan syariat yang lain di Kerajaan Wajo misalnya setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru’ Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, maka raja Gowa mengirim ulama Minangkabau Sulaiman Khatib Sulung yang sudah kembali dari Luwu’. Khatib Sulung mengajarkan tentang keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti:
a. dilarang mappinang rakka’ (memberi sesajen kepada apa saja)
b. dilarang mammanu-manu’ (bertenung tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan)
c. dilarang mappolo-bea (bertenung melihat nasib)
d. dilarang boto’ (berjudi)
e. dilarang makan riba (bunga piutang)
f. dilarang mappangaddi (berzinah)
g. dilarang minum pakkunesse’ (minuman keras)
h. dilarang makan cammugu-mugu (babi)
i. dilarang mappakkere’ (mempercayai benda keramat)
Setelah ketentuan-ketentuan ditetapkan maka Arung Matowa Wajo mempercayakan pengurusan dan penyusunan aparat sara’ (pejabat syariat, pen.) kepada Sulaiman Khatib Sulung. Sebagaimana sudah kita sebutkan sebelumnya bahwa Parewa Sara’ inilah yang mendampingi raja dalam menjalankan syariat Islam. Maka sudah barang tentu bahwa apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan-larangan yang telah ditetapkan diatas, pasti pelakunya akan dijatuhi hukuman/sanksi sesuai syariat Islam. Dan tentu hal serupa terjadi pada seluruh Kerajaan dibawa kekuasaan gowa ini, karena bisa kita lihat bahwa secara umum berlaku sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng selalu terdiri dari Pampawa Ade’ dan Parewa Sara’.

v           Di bidang hukum/peradilan

Dalam Lembaga Pangngadakkan/pangngaderreng yang terdiri dari Pampawa Ade’ (pelaksan adat) yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara’ (pejabat syariat) yaitu Ulama, Qadhi, Imam, dan lain-lain. Maka kita tahu bahwa Kadi (Qodhi) inilah yang menjadi hakim yang akan mengadili segala perkara dalam penerapan syariat Islam. Sekalipun fungsi Kadi (Qodhi) ini tidak hanya mengadili perkara tentang syariat Islam akan tetapi juga sebagai pejabat sara’ mengatur urusan upacara-upacara keagamaan (hari besar Islam, pen.) seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ mi’raj Nabi, Sembahyang (Shalat, pen.)Ied dan lain-lain yang diadakan diistana raja. Juga urusan pernikahan dan urusan kematian terutama keluarga raja.
Tentang keberadaan Kadi (Qodhi, pen.) yang sering juga di sebut KALI bisa kita jumpai setidaknya sebagai mewakili seluruh kerajan yang lain yakni Kerajaan Gowa sebagai pemimpin Kerajaan-Kerajaan lainnya, diangkat seorang Kali (Kadhi) dengan sebutan Daengta Kalia atau Daengta Kali Gowa8.  Di Kerajaan Bone juga diangkat Kali (Kadhi) dengan sebutan Petta KaliE . Disebut Petta karena semua Kali diangkat dari kalangan bangsawan. “Petta” adalah sebutan bangsawan berarti “Tuanku”. Begitu juga di Kerajaan Wajo diangkat juga Kali (Kadhi).9 Keberadaan Qodhi (Kadhi/Kali) yang sering juga disebut Daengta Kalia/Petta KaliE menunjukkan bahwa penerapan syraiat Islam sudah terlembaga dengan sitematis pada waktu itu.

v         Di bidang politik dan pemerintahan

Pemberian gelar “Sultan” kepada Raja
Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabiah yang memeluk Islam pertama kali dari raja-raja Gowa bersama pamannya I Mallingkaan Daeng manyonri’ (raja Tallo) selaku Mangkubumi (kepala pemerintahan/perdana menteri) Kerajaan Gowa. Kemudian Kemudian I Mangarangi Daeng Manrabiah diberi gelar Sultan Alauddin sedangkan I Mallingkaan Daeng Manyonri diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Menurut Andi Kumala Idjo, SH sebagai putra Mahkota kerajaan Gowa sekarang mengatakan bahwa gelar “Sultan” ini diberikan oleh Mufti Makkah.10 Sejak raja Gowa XIV itulah gelar “Sultan” diberikan kepada setiap raja Gowa berikutnya, semisal Raja Gowa XV I Mannuntugi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, diberi gelar Sultan Malikussaid oleh Mufti Arabia.11 Begitu pula raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang diberi gelar Sultan Hasanauddin, demikian seterusnya.
Pemberian gelar “Sultan” ini oleh Mufti Makkah/Arabia, menunjukkan adanya hubungan struktural antara Kesultanan Gowa dengan Negara Khilafah Islamiah pada waktu itu. Dimana Makkah adalah bagian integral dari Kekhilafahan Islam, yakni Makkah sebagai wilayah kegubernuran (wali) dari Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1605 saat raja Gowa XIV telah masuk Islam, masa itu Khilafah dipimpin oleh Khalifah Ahmad I (1603-1617) dari kekhalifahan Bani Utsmaniyah.
Setelah Islam menjadi agama resmi Kerajaan Gowa-Tallo’ maka Kerajaan ini kemudian menerapkan syariat Islam melalui lembaga Parewa Sara’ (Pejabat Syariat, pen.) yaitu Ulama, Qodhi (Kali/Kadi), Imam, dst. Sekalipun masih tetap ada Lembaga Pampawa Ade’ (pelaksana Adat) yaitu raja dan pembatu-pembantunya, akan tetapi Syariat tetap masih mengakomodasi hukum-hukum adat yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Contoh-contoh penerapannya sudah disebutkan diatas.


      D.   Latar Belakang Kemunduran Kerajaan Gowa
Daerah kekuasaan Makassar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makassar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
  1.  VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
  2.  Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
  3.  Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
  4.  Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Karaeng Patingalloang, seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan Tumenanga ri Bonto Biraeng.



BAB III
KESIMPULAN

Dari sejumlah uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa masuknya Islam di Kerajaan berbeda dengan masuknya Islam di daerah timur tengah lain. Datangnya Islam ke Makassar berawal dari aktivitas para pedagang muslim. Kemudian disusul oleh kedatangan sang Muballig Datuk Ribandang dari Minangkabau yang berhasil mengislamkan dua raja Kerajaan sehingga diikuti oleh rakyatnya.
Dengan prinsip-prinsip penyebaran Islam yang bersifat damai dengan metode pendekatan kultural dan struktural. Islam berhasil menyebar ke penjuru kawasan Sulawesi Selatan. Dan kehadiran Islam di Makassar ternyata meninggalkan corak budaya dan adat istiadat yang melekat pada masyarakat Bugis dan Makassar.
Setelah mengalami kemajuan terutama dalam penyebaran Islam, kerajaan gowa mengalami kemunduran yang dilatarbelakangi oleh persaingan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone dan  kehadiran VOC yang berusaha menguasai masyarakat pribumi. Hal itu diperparah ketika VOC dan Kerajaan Bone bekerjasama untuk mengalahkan kerajaan Gowa-Tallo.  Akhirnya, Kerajaan Makassar tersebut mengalami kemunduran sejak dikeluarkannya Perjanjian Bongaya akibat kekalahannya oleh kedua musuh yang bersekutu. Yang mana isi perjanjian tersebut merugikan Kerajaan Makassar.


 FOOTNOTE

1Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia,(Jakarta:Majelis Ulama Indonesia,1991). hlm. 89.2 Naim, Mochtar. Merantau 
 3 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988
3 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.4 Ibid.5 Ibid.6 Ibid.7 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan
10 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 20078,9, dan 11. H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988. 


REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Gowa
Yatim, Badri, 1993, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamyah II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta





Comments
0 Comments

No comments: