Jum’at. Ada yang unik pada hari ini. Libur kuliah? bukan. Dapat ayam tulang lunak dari kantor? bukan juga. Telat mandi? Hah, itu sih hampir setiap hari. Mau tau banget atau mautau aja nih? Ok aku bocorin.
Kemarin, waktu semester satu aku
kebagian mata kuliah Statistika dan Akuntansi pada hari jum’at. Hari yang menantang bagi sebagian mahasiswa, bayngkan bagaimana deretan angka menari nari diatas kepalamu pada hari itu selama hampir 5 jam. Akhirnya setelah menimbang dan memutuskan, maka sah-lah hari jum’at menjadi Yaumul hisab/ Hari perhitungan.
kebagian mata kuliah Statistika dan Akuntansi pada hari jum’at. Hari yang menantang bagi sebagian mahasiswa, bayngkan bagaimana deretan angka menari nari diatas kepalamu pada hari itu selama hampir 5 jam. Akhirnya setelah menimbang dan memutuskan, maka sah-lah hari jum’at menjadi Yaumul hisab/ Hari perhitungan.
Untungnya, jum’at semester ini agak berbeda. Gak ada kelas pada hari
Jum’at. Yes. Tapi tetap saja, predikatnya sebagai Hari perhitungan masih
berlaku. Hal ini dikarenakan semester ini statusku tidak hanya sebagai
mahasiswa, akan tetapi juga seorang Marbot. Dan tahukah kalian apa aktivitas
para marbot stelah Shalat Jum’at?
Yah, apa lagi kalau bukan menghitung keropak/ Ktak amal?.
Dan di mesjid Andalusia agak beda. Keropaknya tak hanya satu
sebagimana di mesjid mesjid biasa. Mesjid ini memiliki belasan keropak di
setiap shafnya. Itu baru keropak kecil loh. Belum lagi 2 keropak jumbo yang
berada di ujung tangga yang setiap saat menanti para penderma. Isi kedua kotak
jumbo ini lumayan juga. Kira kira bisalah beli sepuluh baskom siomaylah per
minggunya. (sioomay segitu buat apaan bung?).
Perhitungan isi keropak memiliki beberapa tahap. Tahap pertama
adalah tahap membuka gembok keropak. Memang mudah kedengarannya. Tapi ini
lumayan merepotkan dan bikin rempong bagi orang yang tak biasa. Soalnya gembok
keropaknya ada banyak dan pasangan kuncinya lebih banyak lagi. Kalian akan
kewalahan mencari pasangan kunci setiap gembok. Apa hikmah yang bias dipetik
dari dari proses ini? Hikmahnya dalah bahwa setiap sesuatu memilik
pasangannya masing masing. Namun perlu perjuangan untuk menemukan pasangan
tersebut.( Heheh maksa banget). Untuk pekerjaan yang satu ini kami
serahkan kepada juru kuncinya. Zein, marbot asal Pulau Madura. Dan sekedar
info, dia masih bujang. Jadi yang mau cari suami atau menantu alumni marbot,
kami masih punya stok kok.
Semua uang yang telah dikeluarkan akhirnya dikumpulkan jadi satu dan
membentuk sebuah gundukan uang. Dan Selanjutnya kami beralih ke tahap
klasifikasi uang. Proses yang satu ini membutuhkan banyak tangan. Tantangan
para marbot yaitu meluruskan kembali uang yang telipat dan mengumpulkannya
dengan sejenissnya. Cepe’ ama cepe. Goceng ama goceng, Dua ribuan ama dua
ribuan. Lima ribuan dengan lima ribuan. Begitu seterusnya. Pekerjaan ini gak
boleh asal asalan loh. Uang yang terklasifikasi harus tersusun dengan rapi
persis kaya’ teller di bank. Dan jangan sampai posisinya terbalik (kaki di
kepala kepala di kaki).
Beberapa kali kuperhatikan tingkah laku para marbot. Jenis uang yang
pertama kali mereka ambil selalu saja uang yang nominalnya tinggi. Apa lagi
kalau bukan si Jago merah dan si Darah biru. (100 dan 50 ribu. Begitu aku
menyebutnya). Kelihatanya memang wajar, manusia memang cenderung menyukai
hal-hal yang besar. Namun yang aku heran mengapa teman-teman marbot ini
menghabiskan waktu untuk mencari si jago merah dan si darah biru di
tengah-tengah banyaknya lembaran 5 ribu,
2 ribu, dan seribuan. Mengapa harus si jago merah dan si darah biru yang
di dahulukan. Bukan kah lebih mudah mengumpulkan lembaran 5,2 atau seribu yang
sudah jelas ada di depan mata. Lagian jika semua uang kecil telahdi kumpulkan
Si jago merah dan si darah biru akan
kelihatan dengan sendirinya.
Dan begitu banyak orang yang menghabiskan waktu mengejar hal hal
besar namun tak menyadari ada begitu banyak hal-hal kecil disekitarnya
terabaikan, yang mana jika hal kecil itu dikumpulkan sedikit demi sedikit akan
lebih bernilai dari pada yang besar.
Klasifikasi sudah beres!. Tahap perhitungan pun dimulai. Yang
seringkali mengeksekusi pekerjaan ini hanya dua orang. Si Ifa dan Si Alau. Si
ifa bukan marbot. Karena dalam sejarah tak pernah ku temukan yang namanya
marbotwati. Dialah menteri keuangan Andalusia dan satu satunya peserta
perempuan yang ikut dalam kegiatan
perhitungan keropak. Persis dengan
karya Buya Hamka
“Gadis perawan di sarang marbot”. (hehehe ngasal). Menghitung uang tanpa Ifa
ibarat sayur tanpa garam, kurang enak kurang segar. Dia sering menjadi teman candaan para marbot
bujang. Adapun si Alau, ia memiliki episode tersendiri, ada banyak hal yang
sesuatu banget untuk dicerita tentang orang ini.
Selama proses perhitungan. Mereka berdua tak banyak bicara dan tak ada yang boleh mengajak mereka berbicara.
Karena kadang kala jumlah nominal yang telah terhitung langsung hilang dalam
kepala. Dan akhirnyas mulaib lagi deh dari awal.
Percaya gak percaya, kegiatan perhitungan uang keropak ini bisa
mengajarkan sedikit nasionalisme. Kalau aku Tanya kenalkah anda dengan I Gusti
Ngurah Rai?..........
Tuh kan? Kalau begitu Sultan Mahmud Badaruddin, kenal gak? ……….
Masih gak tahu juga?
Ok kalau begitu bagaimana
dengan Pangeran Antasari?.............apa? Tersangka kasus bom bali? … parah
sekali kalian, emang duit jajan kalian berapa sih. Mereka semua tak lain dan
tak bukan merupakan tokoh tokoh yang tepampang pada uang 50 ribu, 10 ribu dan 2
rbu rupiah.
Aku baru mengenal mereka setelah beberapa kali menghitung uang
infak. Sultan Mahmud Badaruddin dari Sumatra. Pangeran Antasari dari
Kalimantan. I Gusti Ngurah Rai dari Bali.
Tunggu dulu! Sepertinya aku menemukan sedikit diskriminasi. Jika
diperhatikan, setiap pulau memiliki tokohnya yang terpampang pada Rupiah. Namun
mengapa tak satupun ku temuklan Tokoh dari pulau Sulawesi. Aku kira Sultan
Hasanuddin, Sultan Alauddin ataupun Sam ratulangi tak kalah gagahnya dengan
mereka. Ooohh, atau mungkin orang Sulawesi yang terlalu gagah untuk dipasang
pada nominal seperti itu. Okelah, kalau begitu kita tunggu inflasi berikutnya.
Mungkin ketika lembar SEJUTA telah diterbitkan, wajah tokoh Sulawesi
terpampang. Hay hay.