Kita adalah saudara
dari Rahim Ibu pertiwi
ditempa oleh gelombang
dibesarkan zaman
di bawah tiang bendera
_Franky & Iwan Fals_Mungkin lirik di atas cukup pas untuk memulai lembaran makalah ini, setelah berkutat dengan tumpukan buku referensi, akhirnya lahirlah makalah ini di ujung deadlinenya.
Dan Alhamdulillah, berhasil dipresentasekan di depan para peserta Intermediate Training HMI Tingkat Nasional di Bandung. Cekidot !!!
Kepemimpinan Nasional dengan Semangat Nasionalisme dalam Bingkai Multikulturalisme Budaya
Oleh
Ilham Mansur
Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Bogor
2013
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya
memiliki syarat untuk tidak bersatu[1]. Perbedaan
dan keberagaman kehidupan Indonesia dengan 1128 suku[2],
begitu besar sehingga wajar bila terasa sulit untuk bersatu. Hal ini merupakan
suatu keunikan tersendiri, mengingat kini kita masih berpijak dibawah satu
bendera.
Pancasila dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”
sudah lama berperan sebagai kredo
pemersatu bangsa Indonesia. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, berbagai
etnisitas berhasil disatukan. Namun seiring pergantian Kepemimpian dari zaman
ke zaman, negeri masih sering ditengarai oleh konflik-konfilk berbau SARA
(Suku, Agama, dan Ras ). Aksi-aksi radikal yang sering terjadi bermula dari
sentimen-sentimen yang tidak menerima eksistensi sebuah golongan. Hal ini
menandakan semangat nasionalisme untuk bersatu dalam Ke-bhinneka-an sedikit
demi sedikit mulai keropos.
Dari beberapa hasil studi, Salah satu penyebab
konflik tersebut karena kurangnyaa pemahaman
terhadap kearifan budaya. Sikap saling menghargai, menerima, menghormati
dan toleransi terhadap sesama perlu ditanamkan dalam menghadapi perbedaan. Maka dari itu, kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah golongan yang begitu beraneka ragam menjadi sebuah keharusan.Tentunya Bangsa ini membutuhkan sosok Soekarno baru yang lebih prima dari sebelumnya. Pemimpin yang berdiri di atas semua golongan dan tetap mampu mempertahankan identitas serta nilai-nilai luhur dalam jati diri bangsa Indonesia. Pemimpin yang memiliki semangat kebangsaan yang berjiwa agamis dan pancasilais.
Oleh karena itu, berdasarkan tema “Kepemimpinan
Nasional, upaya mempersiapkan Pemimpin dalam Bingkai Multikulturlisme Budaya”,
maka disusunlah makalah yang berjudul “Kepemimpinan Nasional dengan Semangat
Nasionalisme dalam bingkai Multikulturalisme Budaya”.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah “Kepemimpinan
Nasional dengan semangat Nasionalisme dalam bingkai Multikulturalisme Budaya”,
Maka penulis merumuskan beberapa masalah :
- Bagaimana konsep kepemimpinan nasional yang ideal untuk Indonesia?
- Seperti apa makna nasionalisme yang sesungguhnya dalam sebuah kepemimpinan Nasional?
- Bagaimana Kepemimpinan nasional menghadapi multikultural etnis dan budaya?
Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini
disusun sebagai berikut :
- Agar memahami konsep kepemimpinan yang ideal untuk Indonesia.
- Untuk meluruskan pemaknaan semangat Nasionalisme Indonesia.
- Untuk mengetahui bagaimana cara kepemimpinan nasional menghadapi multikiultural etnis dan Budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kepemimpinan Nasional
1.1 Definisi Kepemimpinan Nasional
Definisi Kepemimpinan
Ada
banyak definisi kepemimpinan dari para tokoh-tokoh. Namun secara etimologi,
kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun.
Kemudian mengalami penambahan pe- yang merubahnya maknanya menjadi pelaku,
berarti orang yang memimpin, orang yang menuntun, orang yang membimbing. orang
yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga
orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan
setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai.
Apabila dilengkapi dengan awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership)
berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk
pihak lain agar melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan
demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian
Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang
sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang
berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang
tepat bagi situasi yang khusus.
Sementara Menurut Ordway Tead dalam bukunya
“ The Art of Leadership” Kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi
orang-orang untuk bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki.[3]
Dari berbagai definisi tersebut dapat kita
temukan bahwa inti dari kepemimpinan adalah kemampuan mengarahkan sejumlah
orang untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi Nasional
Dari segi etimologi, Nasional berasal dari
bahasa inggris yaitu Nation. Kata nation berakar dari kata bahasa Latin,
natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam
penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif).Ini karena
kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau
keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut
standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang
adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata natio
dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa bahasa turunan Latin
seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya
bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang
artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk
menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas
berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The
Grolier International Dictionary: 1992).
Dengan adanya imbuhan maka National/ Nasional
diartikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebangsaan.Sementara menurut
Benedict Anderson (2002), nasion diartikan sebagai komunitas politik terbayang
(an imagined political community).[4]
Maka
Kepemimpinan Nasional adalah Sebuah sistem kepemimpinan dalam rangka
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, meliputi berbagai unsur dan
srtuktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan Pemerintahan negara dan
masyarakat, yang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan
tujuan bangsa sesuai dengan posisi masing-masing dalam Pemerintahan dan
masyarakat, menurut nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan
konstitusi negara.
Kriteria
Seorang pemimpin Nasional
Pemimpin
Nasional adalah sosok yang mampu memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat
Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai yang berlaku, agar
mempunyai kemampuan memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia dan mempunyai
visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.[5]
Menurut Sutjipto Wirosardjono, Kriteria
pemimpin sejati ada 5[6]
Yang pertama, Character dalam bahasa Inggris
(Budi Pekerti atau Budi Luhur).Atau kalau menggunakan bahasa Islam, ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kalau menggunakan bahasa sekuler, karakternya, budi
luhurnya. Pentingnya sabuah karakter pernah diucapkan oleh H. Norman Schwazkopf bahwa,Kepemimpinan adalah Kombinasi dari
strategi dan karakter. Jika harus menghilangkan salah satunya, hilangkanlah
srategi.[7]
Yang kedua, courage (keberanian). Keberanian
itu sebenarnya bukan terjemahan yang pas bagi Courage.Tetapi artinya, orang itu
seperti orang berdoa “Ya Tuhan berilah saya petunjuk dan kemampuan untuk
mengatakan yag benar itu benar dan yang salah itu salah”. Kelihatannya begitu mudah, tetapi tidak begitu mudah untuk dilaksanakan. Maka seorang pemimpin itu harus berani mengambil resiko untuk menjalankan apa yang dia yakini yaitu mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Inilah yang kita maksud dengan courage.
Yang Ketiga Kejujuran. Kejujuran itu
bukan hanya materi, tapi yang dimaksud adalah sincerity, ketulusan hati.
Dia tidak pernah berbohong. Dalam hidup sehari-harinya, dalam tindak-tanduknya
dan reputasinya. Kalau dia bilang “ya”, maka “ya”, kalau dia bilang tidak, maka
dia tidak. Kalau dia sulit untuk mengatakan tidak, dia diam. Itu Sincerity.
Yang keempat, baru soal Capability
(kemampuan). Sering kali orang yang sekuler menempatkan ini pada tempat yang
tinggi, Kemampuan (Capability). Menurut Sutjipto urutan capabilty di
nomor empat sudah benar. Karena kemampuan yang tidak dibarengi dengan character
(Karakter dan Budi Luhur), dengan courage (Keberanian) dan sincerity
(Kejujuran secar tulus), maka hasilnya tidak akan maksimal.
Yang ke lima, yaitu kecakapan atau kecerdasan.
Sebagaimana yang diungkapkan Tacitus bahwa pemikiran ke depan dan akal
sehat adalah kualitas yang diperlukan oleh seorang pemimpin[8].
Kecerdasan dari segi intelektual, emosional maupun spiritual akan menjadi modal
seorang pemimpin dalam membawa pengikutnya ke jalan yang benar. Dan sekali
lagi, kecerdasan harus diberengi dengan Character, Courage, dan Sincerity.
Dari ke lima kriteria tersebut, maka kita bisa menyimpulkan
bahwa Pemimpin Nasional juga harus memiliki kriteria tersebut. Pemimpin
yang kuat karakternya, yang tidak
ambivalen dan tidak ragu dan takut untuk membenarkan dan menyalahkan. Jujur
tetapi rendah hati.Cerdas tetapi menyembunyikan kecerdasannya. Dan berbicara
melalui kerja nyata.
1.2 Konsep Kepemimpinan Nasional berdasarkan Pancasila
Dalam
perjalanan sejarah, Indonesia tetap berpegang teguh pada pancasila sebagai falsafah bangsa. Sehingga Pancasila menadi landasan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan landasan tersebut, usaha untuk lebih memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral, etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
Sultan Hameng Kubuwono X, semangat persatuan dan kesatuan yang dijiwai
oleh pancasila itu adalah nilai-nilai normatif yang diperjuangkan melalui nation
and character Building oleh para pendiri Bangsa. Proses itu harus
dilanjutkan dan dikembangkan serta tidak boleh terhenti sejak terbangunnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia Merdeka dengan tonggak-tonggak sejarah
“Soempah Pemoeda”1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. [9]
Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila
adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada
nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan Pancasila merupakan suatu
perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan
Indonesia, sehingga dalam kapemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu
“Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
Jadi, ada tiga sumber pokok Kepemimpinan
Pancasila, yaitu:
- Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
- Nilai-nilai kepemimpinan universal
- Nilai-nilai spiritual nenek moyang.[10]
Maka
dari itu, kepemimpinan nasional merupakan kepemimpinan yang didasari oleh
nilai-nilai pancasila. Nilai nilai pancasila tersebut tak lain dan tak
bukan adalah (1) Ketuhanan Yang Maha
Esa. (2) Peri Kemanusiaan (3) Kebangsaan/ Kesatuan (4) Kedaulatan dan (5) Keadilan.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut, bangsa ini
membutuhkan pemimpin yang memiliki spiritualitas yang tinggi, Semangat
nasionalisme, kekeluargaan dan semangat gotong royong yang tak padam. Pemimpin
yang optimis dalam membangun negara dan
memakmurkan bangsa berazaskan persatuan, kesatuan dan kebersamaan. Pemimpin
yang amanah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Selain itu ia harus tanggap terhadap kemajuan di era
globalisasi tanpa memudarkan kemurnian budaya bangsa.
2. Semangat Nasionalisme dalam Kepemimpinan
2.1 Definisi Nasionalisme
Salah
satu nilai yang harus dimiliki dalam kepemimpinan pancasila yaitu adanya
semangat kebangsaan yang sering kita sebut dengan semangat nasionalisme. Nasionalisme
per definisi sering dikonotasikan dengan aspek emosional, kolektif, dan idola
serta sarat memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosi atau
asa, seperti seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, dan senasib. Faktor
kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah
konsep kebangsaan tertentu.
Dalam sebuah Essai berjudul “What is
nation?” yang dikarang oleh es Ernest Renan, seorang teoritikus Prancis
menyebutkan bahwa nasion adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan
bersama baik dalam pengoranan maupun dalam kebersamaan. Dalam semangat itulah
nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan melawan kolonialisme. Di sini, nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan
bersama oleh ketertindasan kolonialisme, dan oleh karena itu, dipakai sebagai
senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan
kolonialisme.[11]
Revitalisasi Semangat Nasionalisme
Bagaimanakah patriotisme dan nasionalisme kita sekarang? Di
era reformasi dan otonomi ini makna patriotisme dan nasionalisme justru terasa
kabur - untuk tidak mengatakan sama
sekali tidak dimengerti. Bahkan sebagai akumulasi dari sejarah perkembangan
patriotisme dan nasionalisme itu sendiri, keduanya tak jarang disebut-sebut
sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan zaman. Kalau kita mau belajar dari masa
lalu, kita pernah memiliki semangat patriotisme dan rasa nasionalisme yang
begitu tinggi menjelang dan di awal kemerdekaan. Bisa jadi, hal ini disebabkan
oleh tiga hal.
Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh bersama (common enemy),
penjajahan. Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang
sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh.
Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini
memiliki tujuan yang sama yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang
merdeka.
Ketiga, karena kedua hal di atas bangsa ini menjadi merasa senasib
seperjuangan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan
menjadi terasa selalu diinjak-injak dan tak dihargai sama sekali. Di sinilah
terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing
untuk berjuang mengubah nasib bersama.
Pemimpin yang memiliki
semangat nasionalisme berarti orang yang siap menghadapi segala bentuk
penjajahan dan selalu merasa senasib sepejuangan dengan rakyatnya. Susah bila
rakyat susah, senang bila rakyat senang. Saat ini kita sebenarnya masih memiliki ketiga hal itu
namun luput dari kesadaran kita.
Pertama, yang dapat dijadikan musuh bersama bangsa ini dan masih
sangat garang mencengkeram kita, berupa korupsi, kebodohan, kemiskinan, dan
keterbelakangan. Musuh yang ini bukanlah sesuatu yang ringan dan sebenarnya
itulah musuh bangsa ini yang sesungguhnya. [12]
Kedua, kemakmuran bangsa ini merupakan tujuan bersama yang masih terus harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Kita masih senasib di dalam cengkraman bangsa asing. Di sektor ekonomi, neo kolonialisme menyerang dengan jebakan utang yang
berkedok hibah juga pasar bebas yang semakin meningkatkan konsumerisme bangsa
dibandingkan dengan produktifitasnya.[13]
2.2 Pemaknaan Nasionalisme Indonesia
Semangat
Nasionalisme telah menjadi topik perbincangan dikalangan umat muslim sedunia,
dan hal itu tidak terlepas dari pro dan kontra. Pada sebuah Konferensi Pemuda
Islam Internasional di Tripoli (2-12juli 1973) yang diselenggarakan oleh Seruan
Masyarakat Islam, Teori Internasional Ketiga diketengahkan pada sekelompok
sarjana dan tokoh intelekual muslim terpilih. Rapat tersebut mengeluarkan sebuah
argumentasi dalam menentang nasionalisme. Beberapa argumentasinya sebagai
berikut :
- Nasionalisme adalah suatu bentuk kesukuan yang didandani sehingga tampak begitu indah.
- Nasionalisme telah meningatkan jumlah negara-bangsa yang menuntut kemajuan demi kepentingannya sendiri dengan mengesampingkan dan mengeorbankan kepentingan pihak lain.
- Nasionalisme hidup dengan ditunjang oleh berbagai faktor seperti territorial, bahasa, dan keunggulan ras. [14]
Argumentasi terhadap nasionalisme tersebut bisa
saja benar, namun dalam konteks yang berbeda. Perlu ditegaskan bahwa
Nasionalisme Bangsa Indonesia adalah Nasionalisme yang dijawai oleh pancasila. Semangat
Nasionalisme kita tentunya sangat jauh dari argumen di atas.
Jika kita kembali pada sejarah, dahulu
Indonesia terdiri dari ratusan suku ras dan Budaya yang terpisah dibawah
golongannya masing-masing. Namun sejak teks proklamasi deklarasikan kini
berbagai suku, etnis, ras dan Agama berdiri di bawah satu bendera Merah Putih.
Hal ini bertentangan dengan anggapan
bahwa nasionalisme memecah belah ummat Islam. Justru dengan kepemimpinan yang
landasi semangat nasionalisme tadi ummat Islam yang dulunya dibawah suku maupun
kerajaan masing akhirnya bersatu dalam kelompok yang lebih besar, dengan
pemerintahan yang lebih besar dalam bentuk sebuah negara yang nilai-nilai falsafah
negaranya mencerminkan ajaran Islam.
Nasionalisme bangsa kita juga merupakan
nasionalis yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut
dijiwai oleh sila ke- dua dalam pancasila. Bung Karno dalam sebuah pidatonya di
istana negara (tanggal 22 juli 1985) mengemukakan bahwa nasionalisme yang tidak
dihikmati oleh peri kemanusiaan akan menjelma menjadi chauvinisme dan
rasialisme. Seperti nasionalisme yang dibawa oleh Hitler. Dia berkata bahwa
hanya manusia-manusia turunan Arya-lah
manusia sejati. Yang bukan Arya harus dimusnahkan di muka bumi.Sehingga
dalam masa kepemimpinannya di Nazi satu setengah juta orang Yahudi
dibunuh.Bahkan orang Asia pun dia Benci, di dalam kitab Mein Kampf dia menyebut
orang tiongok Chinese vuile koeli yang artinya Kuli Cina yang kotor.
Bung Karno kembali menegaskan dalam pidatonya
bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang jahat seperti Hitler. Meskipun
kita berpendirian bahwa kebangsaan adalah satu sila yang esensil untuk membuat
bangsa kuat dan negara ini kuat dan
untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur, kita tak menghendaki supaya
nasionalisme kita mnjadi nasionalisme yang chauvinis , tapi nasionalisme yang
hidup di dalam suasana peri kemanusiaan nasionalisme yang mencakup usaha agar
seluruh umat manusia in akhirnya hidup dalam satu keluarga besar yang sama
bahagianya. [15]
Semangat Nasionalisme seorang pemimpin yang
dijiwai prinsip kemanusiaan akan menentang segala bentuk penjajahan, tidak
pandang apakah itu negaranya maupun negara lain. Konferensi Asia Afrika di
Bandung 1955 merupakan salah satu bukti bahwa Nasionalisme kita juga memikirkan
bangsa lain. Keinginan Indonesia dalam memerangi kolonialisme berhasil
menyatukan bangsa-bangsa lain.
3. Nasionalisme Kepemimpinan dalam Bingkai Multikulturalisme.
3.1. Definisi Multikulturalisme dan Kaitannya dengan Nasionalisme
Istilah multikulturalisme pada mulanya dikenal
di negara barat ketika maraknya konfilk perpecahan pasca perang dingin. Yang
mana ketika masyarakat lebih cenderung bersatu pada etitas entitas yang lebih kecil lagi, yaitu
berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini kemudian menciptakan adanya
multicultural.Masyarakat yang multikultural berarti masyarakat yang memiliki
keanekaragaman budaya.
Secara etimologis, multikulturalisme
berakar dari kata culture yang berarti kebudayaan. Kata kultur ini
kemudian dibentuk dengan menambahkan kata multi (banyak) dan Isme
(suatu aliran dan paham). Multikulturalisme berkembang ditengah tengah
masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya. Ini adalah sebuah paham yang
menekankan pada penerimaan seseorang terhadap keanekaragaman. Multikulturalisme
juga bisa dikatakan sebuah pandangan yang mengedepankan prinsip paralogisme di atas monologisme,kemajemukan diatas kesatuan.
Konsep multikulturalsime baru marak di
Indonesia ketika pasca reformasi. Hal ini
disebabkan pemaksaan kebijakan bersifat monokultural yang dilakukan di
zaman orde baru, menjadikan masyarakat semakin bebas dan tidak sabaran untuk
menunjukkan etnisitasnnya masing-masing. Adanya suasana kompetisi dalam
menunjukkan eksistensi sebuah etnis terkadang menimbulkan kecemburuan pada
pihak lain. Sehingga dibutuhkan kesadaran pemahaman antara satu etnis terhadap
etnis yang lain. Saling mengenal (Ta’aruf), saling memahami (Tafahum),
saling tolong menolong (Ta’awun) sehingga tercipta Masyarakat harmonis yang akan menjadi salah satu pilar kedamaian
berbangsa dan bernegara.
“Bhinneka tunggal ika” yang menjadi slogan
falsafah negara kita adalah salah satu
bentuk multikulturalisme. Hanya saja semangat Bhinneka tunggal Ika lebih
sering diekspresikan dalam bentuk
nasionalisme oleh Bung Karno. Mengenai hal tersebut ada keterkaitan antara
nasionalisme dan multikulturalisme. Adanya semangat nasionalisme yang melekat
pada diri seseorang menandakan dia telah mampu menerima dan menghormati
kemajemukan bangsa ini sehingga mampu berbaur dalam masyarakat yang
multikultural.
3.2 Nasionalisme dalam Menghadapi Multikultural Etnis dan Budaya
Dalam memperjuangkan persatuan bangsa Indonesia
dalam satu kesatuan tentunya timbul pertanyaan utama, “Bagaimana membina
kerukunan, membina persatuan membina bangsa diantara semuanya dan dari
semuanya?”. Soekarno memberikan jawaban bahwa untuk mencapai hal tersebut ,
maka disamping tiap-tiap suku memberikan sumbangannya yang positif, tiap-tiap
suku juga harus menerima sumbangan dari suku-suku lain. Secara singkat, semua
suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar bagi Indonesia.[16]
Soekarno berpandangan bahwa salah satu peran
nasionalisme dalam rangka menjembatani segala perbedaan baik dari segi etnis
maupun gerakan-gerakan perjuangan. Hal terpenting dari pemikiran nasionalisme
soekarno adalah :
a) Cita-cita
tentang persatuan nasional.
b) Toleransi
dan harmoni yang diwujudkan melalui kesepakatan dan musyawarah.
c) Sikap
noon- kooperatif dengan penjajah, namun yang lebih prinsipil adalah perlunya
kebangkitan kesadaran nasional .
d) Konsep
marhenisme yang merupakan penilaian jujur terhadap masyarakat Indonesia, di
mana perjuangan yang dilakukan merupakan perjuangan sederhana dari kemurnian
hati nurani rakyat relawan penjajah.[17]
Nasionalisme menjadi spirit yang paling kuat
untuk mempersatukan keragaman etnis dan budaya dalam sebuah masyarakat. Namun
nasionalisme selalu mendapat tantangan dari perubahan global seperti menguatnya
etnisitas dan agama. Hal ini menyebabkan fondasi nasionalisme yang dibangun
dengan filosofi Bhinneka tunggl Ika, secara perlahan mendapat kerikil tajam. Setelah
Timor-timur lepas, Aceh, Papua, dan Maluku seolah tak sepi dari gejolak untuk
memisahkan diri dari NKRI.
Seperti dikemukakan Ghia Nodia (1992),
nasionalisme ibarat satu koin dengan dua sisi, politik dan etnis. Tidak ada
nasionalisme tanpa sentimen politik, tetapi substansinya tak lain adalah
sentimen etnis. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya
dalam etnisitas. Oleh karena itulah, etnisitas menjadi spirit bagi pencarian kehidupan bersama dalam
komunitas tertentu. Sayangnya dalam banyak kasus etnisitas seringkali
menimbulkan gerakan separatismen di beberapa daerah. Maka, dari itu
nasionalisme bukan hanya perlu menonjolkan loyaitas kepada bangsa semata ,
tetapi penciptaan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Sebagaimana yang ditulis Eriksen
dalam bukunya: “Ethnicity and Nationalism”, bangsa adalah sebuah
komunitas yang diharapkan terintegrasi dalam hal budaya dan identitas diri
secara abstrak dan anonim. Semasa Bung Karno, semangat nasionalisme berhasil
dijaga dan ditanamkan, sehingga merasuk ke darah daging setiap orang Indonesia,
tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal.
Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan HB IX, tidak pernah
menonjolkan identitas etnisnya. Bung Karno hampir tidak pernah menyatakan
dirinya orang Jawa, tidak banyak menggunakan bahasa Jawa, tidak pula
menonjolkan budaya Jawa-nya. Demikian pula Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX
serta pemimpin lainnya. Kedua,
kehidupan pemimpin yang tak terlalu jauh di atas kehidupan rakyat dalam
kemewahan[18].
Hal tersebut salah satu bentuk keadilan Bung karno sehingga tidak terkesan memihak
pada suatu golongan. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus
merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Recognition) merupakan
akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
3.3 Kepemimpinan Nasional yang Adil dalam Bingkai Multikulturalisme
Telah disebutkan bahwa
nasionalisme yang tidak dibarengi keadilan (sosial ekonomi politik) hanya akan merapuhkan kepercayaan masyarakat
pada sebuah kepemimpinan karena dalam menghadapi masyarakat majemuk yang
terdiri dari berbagai suku, keadilan tidak hanya cukup pada pengakuan etnis
semata akan tetapi harus dibarengi pada keadilan dari segi ekonomi Sosial dan
Politik.
Zaman orde baru merupakan
salah satu contoh keroposnya sebuah nasionalisme yang tidak ditopang oleh
pilar-pilar keadilan. Pada saat itu pemerintah pusat melaksanakan program
pembangunan, tetapi dalam kenyataan mengeruk kekayaan dari daerah untuk di
ambil ke pusat. Kekayaan ini tidak kembali ke daerah, bahkan di pusat pun hanya
di nikmati oleh sekelompok orang.[19]
Adanya ketidakadilan tersebut menimbulkan sakit hati dari daerah daerah yang
kemudian mempertebal ethnic boudaries yang diikuti territorial
boudaries berdasarkan etnis. Sehingga rasa kebersamaan sebagai satu bangsa
pun mulai menyusut.
Jika dilihat dari kacamata
Islam, baik dari al-Qur’an dan Hadist, begitu banyak disebutkan keutamaan
pemimpin yang adil. Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan
pancasila yang mewajibkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Bercermin pada kepemimpinan
Rasulullah SAW pada sebuah miniatur negara Madinah yang juga terdiri dari
berbagai etnis dan golongan. Di kalangan Muslim terdiri dari Kaum Muhajirin dan
Kaum Anshar, Sementara di kalangan non-Muslim juga ada yang menganut paganisme,
Nashrani, dan Yahudi. Yahudi pun bersuku-suku seperti Bani Nadhir, Bani
Quraidhah dan Bani Qainuqa.[20]
Meskipun demikian Rasulullah mampu mengendalikan kerukunan dan keharmonisan
Madinah dengan Bersikap adil kepada semua golongan. Nilai-nilai keadilannya
bisa kita lihat dari Piagam Madina, Betapa setiap golongan tak ada yang
dimarginalkan kecuali pengkhianat yang melanggar piagam tersebut. Secara umum
kandungan Piagam Madinah berisikan hak-hak asasi menusia, hak-hak dan kewajiban
bernegara, hak perlindungan hukum sampai toleransi beragama.[21]
Maka sekali lagi ditegaskan bahwa nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus diwujudkan dalam sebuah
kepemimpinan Nasional dengan semangat nasionalisme yang benar. Keadilan
tersebut harus ada pada diri pemimpinnya maupun rakyatnya. Sehingga terjadi
sinkronisasi keadilan antar keduanya.
Upaya untuk menanamkan kembali semangat
Nasionalisme adalah permenungan sekaligu tugas kita semua sebagai masyarakat
madani di alam reformasi dewasa ini. Pemerintah dan masyrakat perlu disadakan
kembali akan makna “Bhinneka tungga Ika” secara sesungguhnya, bukan sekedar
semboyan yang menempel pada lambang negara kita, melainkan perbedaan yang harus
dicari titik temunya. Mungkin semangat nasionalisme tidak akan memuaskan
kepentingan seluruh pihak secara maksimal, tetapi kebersamaan dalam alam
perbedaan ini (sebagai landasan utama semangat nasionalisme) akan lebih terasa
bermakna apabila disadari secara bersama-sama pula bahwa kita adalah satu
bangsa, tinggal bersama dalam satu tanah air, dimana seluruh bangsa Indnesia
memiliki hak hidup yang sama, senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang masih
harus berjuang meningkatkan harkat, martabat dan penghidupan yang layak di era
globalisasi dan persaingan dunia internasional yang semakin tajam.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
Negara yang memilik masyarakat multikultural seperti Indonesia dibutuhkan
sebuah kepemimpinan nasional yang ideal, yaitu kepemimpinan berasaskan
pancasila sebagai falsafah negara yang dipetik dari nilai-nilai luhur
kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut menjunjung
tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kebangsaan, kedaulatan,
dan keadilan.
Sejarah mencatat bahwa nilai-nilai tersebut
telah ampuh dalam mempersatukan etnis yang beraneka ragam, salah satu nilai
tersebut adalah nilai-nilai kebangsaaan dan kesatuan yang diekspresikan dalam
bentuk semangat nasionalisme.
Namun, dalam realitasnya semangat nasionalisme
kadangkala hanya dipahami dalam bentuk loyalitas terhadap bangsa. Padahal itu
hanyalah kulitnya saja. Ketika nasionalisme hanya dimaknai sebagai loyalitas, maka itu hampir tak ada
bedanya dengan sukuisme, hanya saja dalam ruang lingkup lebih besar. Pemahaman
seperti ini hanya akan menciptakan separatisme dengan bangsa lain.
Maka dari itu perlu ada pemaknaan yang benar
terhadap semangat nasionalisme. Sebagaimana yang dikoarkan oleh Bung Karno
bahwa substansi dari nasionalisme bangsa kita yaitu semangat kesatuan dalam
menghapus kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun.
Dalam bingkai multikulturalisme budaya,
semangat nasionalisme yang hanya didasari nilai nilai kebangsaaan dan kesatuan
dari pancasila ternyata belumlah cukup, kolaborasi dari nilai-nilai Pancasila
perlu diterapkan dalam sebuah kepemimpinan Nasional. Ketuhanan, Keadilan, dan
Kemanusiaan juga harus hadir dalam
semangat nasionalisme kepemimpinan sehingga sejalan dengan makna nasionalisme
Indonesia yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
Aden. (2010).100 Prinsip
Kepemimpinan Terhebat Spanjang Masa.Yoyakarta: Hanggar Kreator.
Antonio,Muhammad Syafii.(2010)“Kepemimpinan
Sosial dan Politik :Ensiklopedia Leadeship and Management Muhammad SAW “The
Super Leader, The Super Manager”, jilid
5. Jakarta :Tazkia Publishing
Buwono X, Hamengku. (2007). Merajut
Kembali Keindonesiaan Kita.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Chandrawati ,Nurani. (2001). “Semangat
Nasionalisme Soekarno dalam Jiwa Bangsa Indonesia yang Terluka” dalam Imam Toto
K. Raharjo dan Herdianto. WK.Bung Karno. Bapakku, Guruku, Sahabatku,
Pemimpinku. Jakarta : PT. Grasindo.
Hadi, Syamsu.dkk.(2005). Pancasila
Bung Karno. Jakarta : Bhinneka Tunggal Ika
Sardar, Ziauddin. (1986). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim.
Terjemahan Rahmani Astuti dengan judul, Bandung: Penerbit Mizan.
Syafe’ie, Inu Kencana.(2003).Kepemimpinan
Pemerintahan Indonesia. Jakarta : PT. Rafika Aditama
Tead, Ordway.(1935).The
Art of Leadership.New York : McGraw Hill Book Company, Inc.
Wahjosumidjo. (2007). Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Wirosardjono, Sutjipto.
(1990). ”Kepemimpinan HMI dalam Pembangunan Bangsa Masa Depan”,
dalam HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta : PT. Gunung Kulabu.
[1]
Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka, 2007), h. 8
[2]Dari
Badan Pusat Statisik
[3] Ordway Tead, The Art of Leadership, (New York :
McGraw Hill Book Company, Inc., 1935).
[4] Sultan Hamengkubuwono X , op. cit ., h. 85
[5]Lihat
Pasal 1, Tap MPR No. VII tahun 2001
[6]Sutjipto
Wirosardjono,”Kepemimpinan HMI dalam Pembangunan Bangsa Masa Depan”, Moerdiono
dkk., Perkembangan HMI dalam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta : PT
Gunung Kulabu, 1990)
[7]
Aden R, 100 Prinsip Kepemimpinan Terhebat Spanjang Masa, (Yoyakarta:
Hanggar Kreator, 2010), h. 63.
[8]
Ibid, h. 21
[9]
Sultan Hameng Kubuwono X , op. cit., h. 94
[10]Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 119
[11]
Sultan Hameng Kubuwono X , op. cit., h. 85
[12]Ibid,
h. 88-89
[14]
Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilisation, diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti dengan judul Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1986), h. 85.
[15]
Syamsu Hadi dkk, Pancasila Bung Karno, (Jakarta : Bhinneka Tunggal Ika,
2005), h. 187-188
[16]Dra.Nurani
Chandrawati, “Semangat Nasionalisme Soekarno dalam Jiwa Bangsa Indonesia yang
Terluka” dalam Imam Toto K. Raharjo dan Herdianto WK, Bung Karno. Bapakku,
Guruku, Sahabatku, Pemimpinku (Jakarta : PT. Grasindo, 2001), h. 359.
[17]
ibid
[18]
Sultan Hamengkubuwono X , op. cit., h.86-87.
[19]ibid,
h. 87.
[20]
Muhammad Syafii Antonio, “Kepemimpinan Sosial dan Politik”, Yudhistira ANM
Massardi (ed), Ensiklopedia Leadeship and Management Muhammad SAW “The Super
Leader, The Super Manager”, jilid 5,
(Jakarta : Tazkia Publishing, 2010), h.xi-x
[21]Ibid,
h. 96.
[22]Dra.
Nurani Chandrawati, op. cit. h. 366.