Saturday 30 November 2013

Contoh Makalah LK 2 Himpunan Mahasiswa Islam



Kita adalah saudara

dari Rahim Ibu pertiwi

ditempa oleh gelombang

dibesarkan zaman

di bawah tiang bendera


                                                                           _Franky  & Iwan Fals_
Mungkin lirik di atas cukup pas untuk memulai lembaran makalah ini, setelah berkutat dengan tumpukan buku referensi, akhirnya lahirlah makalah ini di ujung deadlinenya. 
Dan Alhamdulillah, berhasil dipresentasekan di depan para peserta Intermediate Training HMI Tingkat Nasional di Bandung. Cekidot !!!


Kepemimpinan Nasional dengan Semangat Nasionalisme dalam Bingkai Multikulturalisme Budaya


Oleh
Ilham Mansur
Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Bogor

2013




BAB I


PENDAHULUAN

Latar belakang

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki syarat untuk tidak bersatu[1]. Perbedaan dan keberagaman kehidupan Indonesia dengan 1128 suku[2], begitu besar sehingga wajar bila terasa sulit untuk bersatu. Hal ini merupakan suatu keunikan tersendiri, mengingat kini kita masih berpijak dibawah satu bendera.
Pancasila dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika” sudah lama berperan sebagai  kredo pemersatu bangsa Indonesia. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, berbagai etnisitas berhasil disatukan. Namun seiring pergantian Kepemimpian dari zaman ke zaman, negeri masih sering ditengarai oleh konflik-konfilk berbau SARA (Suku, Agama, dan Ras ). Aksi-aksi radikal yang sering terjadi bermula dari sentimen-sentimen yang tidak menerima eksistensi sebuah golongan. Hal ini menandakan semangat nasionalisme untuk bersatu dalam Ke-bhinneka-an sedikit demi sedikit mulai keropos.
Dari beberapa hasil studi, Salah satu penyebab konflik tersebut karena kurangnyaa pemahaman  terhadap kearifan budaya. Sikap saling menghargai, menerima, menghormati dan toleransi terhadap sesama perlu ditanamkan dalam menghadapi perbedaan. Maka dari itu, kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah golongan yang begitu beraneka ragam menjadi sebuah keharusan.Tentunya Bangsa ini membutuhkan sosok Soekarno baru yang lebih prima dari sebelumnya. Pemimpin yang berdiri di atas semua golongan dan tetap mampu mempertahankan identitas serta nilai-nilai luhur dalam jati diri bangsa Indonesia. Pemimpin yang memiliki semangat kebangsaan yang berjiwa agamis dan pancasilais. 
Oleh karena itu, berdasarkan tema “Kepemimpinan Nasional, upaya mempersiapkan Pemimpin dalam Bingkai Multikulturlisme Budaya”, maka disusunlah makalah yang berjudul “Kepemimpinan Nasional dengan Semangat Nasionalisme dalam bingkai Multikulturalisme Budaya”.

Rumusan Masalah


Sesuai dengan judul makalah “Kepemimpinan Nasional dengan semangat Nasionalisme dalam bingkai Multikulturalisme Budaya”, Maka penulis merumuskan beberapa masalah :
  1. Bagaimana konsep kepemimpinan nasional yang ideal untuk  Indonesia?
  2. Seperti apa makna nasionalisme yang sesungguhnya dalam sebuah kepemimpinan Nasional?
  3. Bagaimana  Kepemimpinan nasional menghadapi multikultural etnis dan budaya?

Tujuan Makalah


Adapun tujuan  makalah ini disusun sebagai berikut :
  1. Agar memahami konsep kepemimpinan yang ideal untuk Indonesia.
  2. Untuk meluruskan pemaknaan semangat Nasionalisme Indonesia.
  3. Untuk mengetahui bagaimana cara kepemimpinan nasional menghadapi multikiultural etnis dan Budaya.




BAB II

PEMBAHASAN


1.  Kepemimpinan Nasional

1.1     Definisi Kepemimpinan Nasional

            Definisi Kepemimpinan
            Ada banyak definisi kepemimpinan dari para tokoh-tokoh. Namun secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun. Kemudian mengalami penambahan pe-  yang merubahnya maknanya menjadi pelaku, berarti orang yang memimpin, orang yang menuntun, orang yang membimbing. orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilengkapi dengan awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Sementara Menurut Ordway Tead dalam bukunya “ The Art of Leadership” Kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki.[3]
Dari berbagai definisi tersebut dapat kita temukan bahwa inti dari kepemimpinan adalah kemampuan mengarahkan sejumlah orang untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi Nasional
Dari segi etimologi, Nasional berasal dari bahasa inggris yaitu Nation. Kata nation berakar dari kata bahasa Latin, natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif).Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The Grolier International Dictionary: 1992).
Dengan adanya imbuhan maka National/ Nasional diartikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebangsaan.Sementara menurut Benedict Anderson (2002), nasion diartikan sebagai komunitas politik terbayang (an imagined political community).[4]
            Maka Kepemimpinan Nasional adalah Sebuah sistem kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, meliputi berbagai unsur dan srtuktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan Pemerintahan negara dan masyarakat, yang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa sesuai dengan posisi masing-masing dalam Pemerintahan dan masyarakat, menurut nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan konstitusi negara.
            Kriteria Seorang pemimpin Nasional
Pemimpin Nasional adalah sosok yang mampu memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai yang berlaku, agar mempunyai kemampuan memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia dan mempunyai visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.[5]
            Menurut Sutjipto Wirosardjono, Kriteria pemimpin sejati ada 5[6]
Yang pertama, Character dalam bahasa Inggris (Budi Pekerti atau Budi Luhur).Atau kalau menggunakan bahasa Islam, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kalau menggunakan bahasa sekuler, karakternya, budi luhurnya. Pentingnya sabuah karakter pernah diucapkan oleh H. Norman Schwazkopf  bahwa,Kepemimpinan adalah Kombinasi dari strategi dan karakter. Jika harus menghilangkan salah satunya, hilangkanlah srategi.[7]
Yang kedua, courage (keberanian). Keberanian itu sebenarnya bukan terjemahan yang pas bagi Courage.Tetapi artinya, orang itu seperti orang berdoa “Ya Tuhan berilah saya petunjuk dan kemampuan untuk mengatakan yag benar itu benar dan yang salah itu salah”. Kelihatannya begitu mudah, tetapi tidak begitu mudah untuk dilaksanakan. Maka seorang pemimpin itu harus berani mengambil resiko untuk menjalankan apa yang dia yakini yaitu mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Inilah yang kita maksud dengan courage. 
Yang Ketiga Kejujuran. Kejujuran itu bukan hanya materi, tapi yang dimaksud adalah sincerity, ketulusan hati. Dia tidak pernah berbohong. Dalam hidup sehari-harinya, dalam tindak-tanduknya dan reputasinya. Kalau dia bilang “ya”, maka “ya”, kalau dia bilang tidak, maka dia tidak. Kalau dia sulit untuk mengatakan tidak, dia diam. Itu Sincerity.
Yang keempat, baru soal Capability (kemampuan). Sering kali orang yang sekuler menempatkan ini pada tempat yang tinggi, Kemampuan (Capability). Menurut Sutjipto urutan capabilty di nomor empat sudah benar. Karena kemampuan yang tidak dibarengi dengan character (Karakter dan Budi Luhur), dengan courage (Keberanian) dan sincerity (Kejujuran secar tulus), maka hasilnya tidak akan maksimal.
Yang ke lima, yaitu kecakapan atau kecerdasan. Sebagaimana yang diungkapkan Tacitus bahwa pemikiran ke depan dan akal sehat adalah kualitas yang diperlukan oleh seorang pemimpin[8]. Kecerdasan dari segi intelektual, emosional maupun spiritual akan menjadi modal seorang pemimpin dalam membawa pengikutnya ke jalan yang benar. Dan sekali lagi, kecerdasan harus diberengi dengan Character, Courage, dan Sincerity.
      Dari ke lima kriteria tersebut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Pemimpin Nasional juga harus memiliki kriteria tersebut. Pemimpin yang  kuat karakternya, yang tidak ambivalen dan tidak ragu dan takut untuk membenarkan dan menyalahkan. Jujur tetapi rendah hati.Cerdas tetapi menyembunyikan kecerdasannya. Dan berbicara melalui kerja nyata.

1.2     Konsep Kepemimpinan Nasional berdasarkan Pancasila

            Dalam perjalanan sejarah, Indonesia tetap berpegang teguh pada pancasila sebagai falsafah bangsa. Sehingga Pancasila menadi landasan persatuan dan kesatuan bangsa.  Dengan landasan tersebut, usaha untuk lebih memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral, etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Menurut  Sultan Hameng Kubuwono X, semangat persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh pancasila itu adalah nilai-nilai normatif yang diperjuangkan melalui nation and character Building oleh para pendiri Bangsa. Proses itu harus dilanjutkan dan dikembangkan serta tidak boleh terhenti sejak terbangunnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Merdeka dengan tonggak-tonggak sejarah “Soempah Pemoeda”1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. [9]
Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan Pancasila merupakan suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan Indonesia, sehingga dalam kapemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
Jadi, ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:

  1. Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
  2. Nilai-nilai kepemimpinan universal
  3. Nilai-nilai spiritual nenek moyang.[10]
            Maka dari itu, kepemimpinan nasional merupakan kepemimpinan yang didasari oleh nilai-nilai pancasila. Nilai nilai pancasila tersebut tak lain dan tak bukan  adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Peri Kemanusiaan (3) Kebangsaan/ Kesatuan  (4) Kedaulatan dan (5) Keadilan.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki spiritualitas yang tinggi, Semangat nasionalisme, kekeluargaan dan semangat gotong royong yang tak padam. Pemimpin yang  optimis dalam membangun negara dan memakmurkan bangsa berazaskan persatuan, kesatuan dan kebersamaan. Pemimpin yang amanah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu ia harus tanggap terhadap kemajuan di era globalisasi tanpa memudarkan kemurnian budaya bangsa.

2.  Semangat Nasionalisme dalam Kepemimpinan

2.1 Definisi Nasionalisme

            Salah satu nilai yang harus dimiliki dalam kepemimpinan pancasila yaitu adanya semangat kebangsaan yang sering kita sebut dengan semangat nasionalisme. Nasionalisme per definisi sering dikonotasikan dengan aspek emosional, kolektif, dan idola serta sarat memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosi atau asa, seperti seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, dan senasib. Faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.
Dalam sebuah Essai berjudul “What is nation?” yang dikarang oleh es Ernest Renan, seorang teoritikus Prancis menyebutkan bahwa nasion adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama baik dalam pengoranan maupun dalam kebersamaan. Dalam semangat itulah nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan melawan kolonialisme. Di sini, nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh ketertindasan kolonialisme, dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme.[11]
            Revitalisasi Semangat Nasionalisme
Bagaimanakah patriotisme dan nasionalisme kita sekarang? Di era reformasi dan otonomi ini makna patriotisme dan nasionalisme justru terasa kabur - untuk tidak mengatakan sama sekali tidak dimengerti. Bahkan sebagai akumulasi dari sejarah perkembangan patriotisme dan nasionalisme itu sendiri, keduanya tak jarang disebut-sebut sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan zaman. Kalau kita mau belajar dari masa lalu, kita pernah memiliki semangat patriotisme dan rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang dan di awal kemerdekaan. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh bersama (common enemy), penjajahan. Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh.
Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Ketiga, karena kedua hal di atas bangsa ini menjadi merasa senasib seperjuangan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi terasa selalu diinjak-injak dan tak dihargai sama sekali. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing untuk berjuang mengubah nasib bersama.
Pemimpin yang memiliki semangat nasionalisme berarti orang yang siap menghadapi segala bentuk penjajahan dan selalu merasa senasib sepejuangan dengan rakyatnya. Susah bila rakyat susah, senang bila rakyat senang.            Saat ini kita sebenarnya masih memiliki ketiga hal itu namun luput dari kesadaran kita.
Pertama, yang dapat dijadikan musuh bersama bangsa ini dan masih sangat garang mencengkeram kita, berupa korupsi, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Musuh yang ini bukanlah sesuatu yang ringan dan sebenarnya itulah musuh bangsa ini yang sesungguhnya. [12]
Kedua, kemakmuran bangsa ini merupakan tujuan bersama yang masih terus harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Kita masih senasib di dalam cengkraman bangsa asing. Di sektor ekonomi, neo kolonialisme menyerang dengan jebakan utang yang berkedok hibah juga pasar bebas yang semakin meningkatkan konsumerisme bangsa dibandingkan dengan produktifitasnya.[13]

2.2     Pemaknaan Nasionalisme Indonesia

            Semangat Nasionalisme telah menjadi topik perbincangan dikalangan umat muslim sedunia, dan hal itu tidak terlepas dari pro dan kontra. Pada sebuah Konferensi Pemuda Islam Internasional di Tripoli (2-12juli 1973) yang diselenggarakan oleh Seruan Masyarakat Islam, Teori Internasional Ketiga diketengahkan pada sekelompok sarjana dan tokoh intelekual muslim terpilih. Rapat tersebut mengeluarkan sebuah argumentasi dalam menentang nasionalisme. Beberapa argumentasinya sebagai berikut :

  1. Nasionalisme adalah suatu bentuk kesukuan yang didandani sehingga tampak begitu indah.
  2. Nasionalisme telah meningatkan jumlah negara-bangsa yang menuntut kemajuan demi kepentingannya sendiri dengan mengesampingkan dan mengeorbankan kepentingan pihak lain. 
  3. Nasionalisme hidup dengan ditunjang oleh berbagai faktor seperti territorial, bahasa, dan keunggulan ras. [14]

Argumentasi terhadap nasionalisme tersebut bisa saja benar, namun dalam konteks yang berbeda. Perlu ditegaskan bahwa Nasionalisme Bangsa Indonesia adalah Nasionalisme yang dijawai oleh pancasila. Semangat Nasionalisme kita tentunya sangat jauh dari argumen di atas.
Jika kita kembali pada sejarah, dahulu Indonesia terdiri dari ratusan suku ras dan Budaya yang terpisah dibawah golongannya masing-masing. Namun sejak teks proklamasi deklarasikan kini berbagai suku, etnis, ras dan Agama berdiri di bawah satu bendera Merah Putih. Hal ini  bertentangan dengan anggapan bahwa nasionalisme memecah belah ummat Islam. Justru dengan kepemimpinan yang landasi semangat nasionalisme tadi ummat Islam yang dulunya dibawah suku maupun kerajaan masing akhirnya bersatu dalam kelompok yang lebih besar, dengan pemerintahan yang lebih besar dalam bentuk sebuah negara yang nilai-nilai falsafah negaranya mencerminkan ajaran Islam.
Nasionalisme bangsa kita juga merupakan nasionalis  yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai  tersebut dijiwai oleh sila ke- dua dalam pancasila. Bung Karno dalam sebuah pidatonya di istana negara (tanggal 22 juli 1985) mengemukakan bahwa nasionalisme yang tidak dihikmati oleh peri kemanusiaan akan menjelma menjadi chauvinisme dan rasialisme. Seperti nasionalisme yang dibawa oleh Hitler. Dia berkata bahwa hanya manusia-manusia turunan Arya-lah  manusia sejati. Yang bukan Arya harus dimusnahkan di muka bumi.Sehingga dalam masa kepemimpinannya di Nazi satu setengah juta orang Yahudi dibunuh.Bahkan orang Asia pun dia Benci, di dalam kitab Mein Kampf dia menyebut orang tiongok Chinese vuile koeli yang artinya Kuli Cina yang kotor.
Bung Karno kembali menegaskan dalam pidatonya bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang jahat seperti Hitler. Meskipun kita berpendirian bahwa kebangsaan adalah satu sila yang esensil untuk membuat bangsa kuat  dan negara ini kuat dan untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur, kita tak menghendaki supaya nasionalisme kita mnjadi nasionalisme yang chauvinis , tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana peri kemanusiaan nasionalisme yang mencakup usaha agar seluruh umat manusia in akhirnya hidup dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya. [15]
Semangat Nasionalisme seorang pemimpin yang dijiwai prinsip kemanusiaan akan menentang segala bentuk penjajahan, tidak pandang apakah itu negaranya maupun negara lain. Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 merupakan salah satu bukti bahwa Nasionalisme kita juga memikirkan bangsa lain. Keinginan Indonesia dalam memerangi kolonialisme berhasil menyatukan bangsa-bangsa lain.

3.  Nasionalisme Kepemimpinan dalam Bingkai Multikulturalisme.

3.1.    Definisi Multikulturalisme dan Kaitannya dengan Nasionalisme


Istilah multikulturalisme pada mulanya dikenal di negara barat ketika maraknya konfilk perpecahan pasca perang dingin. Yang mana ketika masyarakat lebih cenderung bersatu pada etitas  entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini kemudian menciptakan adanya multicultural.Masyarakat yang multikultural berarti masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya.
Secara etimologis, multikulturalisme berakar dari kata culture yang berarti kebudayaan. Kata kultur ini kemudian dibentuk dengan menambahkan kata multi (banyak) dan Isme (suatu aliran dan paham). Multikulturalisme berkembang ditengah tengah masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya. Ini adalah sebuah paham yang menekankan pada penerimaan seseorang terhadap keanekaragaman. Multikulturalisme juga bisa dikatakan sebuah pandangan yang mengedepankan prinsip paralogisme di atas monologisme,kemajemukan diatas kesatuan.
Konsep multikulturalsime baru marak di Indonesia ketika pasca reformasi. Hal ini  disebabkan pemaksaan kebijakan bersifat monokultural yang dilakukan di zaman orde baru, menjadikan masyarakat semakin bebas dan tidak sabaran untuk menunjukkan etnisitasnnya masing-masing. Adanya suasana kompetisi dalam menunjukkan eksistensi sebuah etnis terkadang menimbulkan kecemburuan pada pihak lain. Sehingga dibutuhkan kesadaran pemahaman antara satu etnis terhadap etnis yang lain. Saling mengenal (Ta’aruf), saling memahami (Tafahum), saling tolong menolong (Ta’awun) sehingga tercipta Masyarakat harmonis yang  akan menjadi salah satu pilar kedamaian berbangsa dan bernegara.
“Bhinneka tunggal ika” yang menjadi slogan falsafah negara kita adalah salah satu  bentuk multikulturalisme. Hanya saja semangat Bhinneka tunggal Ika lebih sering diekspresikan  dalam bentuk nasionalisme oleh Bung Karno. Mengenai hal tersebut ada keterkaitan antara nasionalisme dan multikulturalisme. Adanya semangat nasionalisme yang melekat pada diri seseorang menandakan dia telah mampu menerima dan menghormati kemajemukan bangsa ini sehingga mampu berbaur dalam masyarakat yang multikultural.

3.2     Nasionalisme dalam Menghadapi Multikultural Etnis dan Budaya

Dalam memperjuangkan persatuan bangsa Indonesia dalam satu kesatuan tentunya timbul pertanyaan utama, “Bagaimana membina kerukunan, membina persatuan membina bangsa diantara semuanya dan dari semuanya?”. Soekarno memberikan jawaban bahwa untuk mencapai hal tersebut , maka disamping tiap-tiap suku memberikan sumbangannya yang positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan dari suku-suku lain. Secara singkat, semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar bagi Indonesia.[16]
Soekarno berpandangan bahwa salah satu peran nasionalisme dalam rangka menjembatani segala perbedaan baik dari segi etnis maupun gerakan-gerakan perjuangan. Hal terpenting dari pemikiran nasionalisme soekarno adalah :
a)      Cita-cita tentang persatuan nasional.
b)      Toleransi dan harmoni yang diwujudkan melalui kesepakatan dan musyawarah.
c)    Sikap noon- kooperatif dengan penjajah, namun yang lebih prinsipil adalah perlunya kebangkitan kesadaran nasional .
d)     Konsep marhenisme yang merupakan penilaian jujur terhadap masyarakat Indonesia, di mana perjuangan yang dilakukan merupakan perjuangan sederhana dari kemurnian hati nurani rakyat relawan penjajah.[17]
Nasionalisme menjadi spirit yang paling kuat untuk mempersatukan keragaman etnis dan budaya dalam sebuah masyarakat. Namun nasionalisme selalu mendapat tantangan dari perubahan global seperti menguatnya etnisitas dan agama. Hal ini menyebabkan fondasi nasionalisme yang dibangun dengan filosofi Bhinneka tunggl Ika, secara perlahan mendapat kerikil tajam. Setelah Timor-timur lepas, Aceh, Papua, dan Maluku seolah tak sepi dari gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI.
Seperti dikemukakan Ghia Nodia (1992), nasionalisme ibarat satu koin dengan dua sisi, politik dan etnis. Tidak ada nasionalisme tanpa sentimen politik, tetapi substansinya tak lain adalah sentimen etnis. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Oleh karena itulah, etnisitas menjadi spirit  bagi pencarian kehidupan bersama dalam komunitas tertentu. Sayangnya dalam banyak kasus etnisitas seringkali menimbulkan gerakan separatismen di beberapa daerah. Maka, dari itu nasionalisme bukan hanya perlu menonjolkan loyaitas kepada bangsa semata , tetapi penciptaan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Sebagaimana yang ditulis Eriksen dalam bukunya: “Ethnicity and Nationalism”, bangsa adalah sebuah komunitas yang diharapkan terintegrasi dalam hal budaya dan identitas diri secara abstrak dan anonim. Semasa Bung Karno, semangat nasionalisme berhasil dijaga dan ditanamkan, sehingga merasuk ke darah daging setiap orang Indonesia, tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal.                       
Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan HB IX, tidak pernah menonjolkan identitas etnisnya. Bung Karno hampir tidak pernah menyatakan dirinya orang Jawa, tidak banyak menggunakan bahasa Jawa, tidak pula menonjolkan budaya Jawa-nya. Demikian pula Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX serta pemimpin lainnya. Kedua, kehidupan pemimpin yang tak terlalu jauh di atas kehidupan rakyat dalam kemewahan[18].
Hal tersebut salah satu bentuk keadilan  Bung karno sehingga tidak terkesan memihak pada suatu golongan. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

3.3     Kepemimpinan Nasional yang Adil dalam Bingkai Multikulturalisme

Telah disebutkan bahwa nasionalisme yang tidak dibarengi keadilan (sosial ekonomi politik)  hanya akan merapuhkan kepercayaan masyarakat pada sebuah kepemimpinan karena dalam menghadapi masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, keadilan tidak hanya cukup pada pengakuan etnis semata akan tetapi harus dibarengi pada keadilan dari segi ekonomi Sosial dan Politik.
Zaman orde baru merupakan salah satu contoh keroposnya sebuah nasionalisme yang tidak ditopang oleh pilar-pilar keadilan. Pada saat itu pemerintah pusat melaksanakan program pembangunan, tetapi dalam kenyataan mengeruk kekayaan dari daerah untuk di ambil ke pusat. Kekayaan ini tidak kembali ke daerah, bahkan di pusat pun hanya di nikmati oleh sekelompok orang.[19] Adanya ketidakadilan tersebut menimbulkan sakit hati dari daerah daerah yang kemudian mempertebal ethnic boudaries yang diikuti territorial boudaries berdasarkan etnis. Sehingga rasa kebersamaan sebagai satu bangsa pun mulai menyusut.
Jika dilihat dari kacamata Islam, baik dari al-Qur’an dan Hadist, begitu banyak disebutkan keutamaan pemimpin yang adil. Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan pancasila yang mewajibkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Bercermin pada kepemimpinan Rasulullah SAW pada sebuah miniatur negara Madinah yang juga terdiri dari berbagai etnis dan golongan. Di kalangan Muslim terdiri dari Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar, Sementara di kalangan non-Muslim juga ada yang menganut paganisme, Nashrani, dan Yahudi. Yahudi pun bersuku-suku seperti Bani Nadhir, Bani Quraidhah dan Bani Qainuqa.[20] Meskipun demikian Rasulullah mampu mengendalikan kerukunan dan keharmonisan Madinah dengan Bersikap adil kepada semua golongan. Nilai-nilai keadilannya bisa kita lihat dari Piagam Madina, Betapa setiap golongan tak ada yang dimarginalkan kecuali pengkhianat yang melanggar piagam tersebut. Secara umum kandungan Piagam Madinah berisikan hak-hak asasi menusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum sampai toleransi beragama.[21]
 Maka sekali lagi ditegaskan bahwa nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus diwujudkan dalam sebuah kepemimpinan Nasional dengan semangat nasionalisme yang benar. Keadilan tersebut harus ada pada diri pemimpinnya maupun rakyatnya. Sehingga terjadi sinkronisasi keadilan antar keduanya.
Upaya untuk menanamkan kembali semangat Nasionalisme adalah permenungan sekaligu tugas kita semua sebagai masyarakat madani di alam reformasi dewasa ini. Pemerintah dan masyrakat perlu disadakan kembali akan makna “Bhinneka tungga Ika” secara sesungguhnya, bukan sekedar semboyan yang menempel pada lambang negara kita, melainkan perbedaan yang harus dicari titik temunya. Mungkin semangat nasionalisme tidak akan memuaskan kepentingan seluruh pihak secara maksimal, tetapi kebersamaan dalam alam perbedaan ini (sebagai landasan utama semangat nasionalisme) akan lebih terasa bermakna apabila disadari secara bersama-sama pula bahwa kita adalah satu bangsa, tinggal bersama dalam satu tanah air, dimana seluruh bangsa Indnesia memiliki hak hidup yang sama, senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang masih harus berjuang meningkatkan harkat, martabat dan penghidupan yang layak di era globalisasi dan persaingan dunia internasional yang semakin tajam.[22]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

            Dalam Negara yang memilik masyarakat multikultural seperti Indonesia dibutuhkan sebuah kepemimpinan nasional yang ideal, yaitu kepemimpinan berasaskan pancasila sebagai falsafah negara yang dipetik dari nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kebangsaan, kedaulatan, dan keadilan.
Sejarah mencatat bahwa nilai-nilai tersebut telah ampuh dalam mempersatukan etnis yang beraneka ragam, salah satu nilai tersebut adalah nilai-nilai kebangsaaan dan kesatuan yang diekspresikan dalam bentuk semangat nasionalisme.
Namun, dalam realitasnya semangat nasionalisme kadangkala hanya dipahami dalam bentuk loyalitas terhadap bangsa. Padahal itu hanyalah kulitnya saja. Ketika nasionalisme hanya dimaknai  sebagai loyalitas, maka itu hampir tak ada bedanya dengan sukuisme, hanya saja dalam ruang lingkup lebih besar. Pemahaman seperti ini hanya akan menciptakan separatisme dengan bangsa lain.
Maka dari itu perlu ada pemaknaan yang benar terhadap semangat nasionalisme. Sebagaimana yang dikoarkan oleh Bung Karno bahwa substansi dari nasionalisme bangsa kita yaitu semangat kesatuan dalam menghapus kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun.
Dalam bingkai multikulturalisme budaya, semangat nasionalisme yang hanya didasari nilai nilai kebangsaaan dan kesatuan dari pancasila ternyata belumlah cukup, kolaborasi dari nilai-nilai Pancasila perlu diterapkan dalam sebuah kepemimpinan Nasional. Ketuhanan, Keadilan, dan Kemanusiaan  juga harus hadir dalam semangat nasionalisme kepemimpinan sehingga sejalan dengan makna nasionalisme Indonesia yang sebenarnya.



Daftar Pustaka



Aden. (2010).100 Prinsip Kepemimpinan Terhebat Spanjang Masa.Yoyakarta: Hanggar Kreator.
Antonio,Muhammad Syafii.(2010)“Kepemimpinan Sosial dan Politik :Ensiklopedia Leadeship and Management Muhammad SAW “The Super Leader, The Super Manager”, jilid  5. Jakarta :Tazkia Publishing
Buwono X, Hamengku. (2007). Merajut Kembali Keindonesiaan Kita.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Chandrawati ,Nurani. (2001). “Semangat Nasionalisme Soekarno dalam Jiwa Bangsa Indonesia yang Terluka” dalam Imam Toto K. Raharjo dan Herdianto. WK.Bung Karno. Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku. Jakarta : PT. Grasindo.
Hadi, Syamsu.dkk.(2005). Pancasila Bung Karno. Jakarta : Bhinneka Tunggal Ika
Sardar, Ziauddin. (1986).  Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Terjemahan Rahmani Astuti dengan judul, Bandung: Penerbit Mizan.
Syafe’ie, Inu Kencana.(2003).Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Jakarta : PT. Rafika Aditama
Tead, Ordway.(1935).The Art of Leadership.New York : McGraw Hill Book Company, Inc.
Wahjosumidjo. (2007). Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wirosardjono, Sutjipto.  (1990). ”Kepemimpinan HMI dalam Pembangunan Bangsa Masa Depan”, dalam  HMI  Menjawab Tantangan Zaman.  Jakarta : PT. Gunung  Kulabu.




[1] Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 2007), h. 8
[2]Dari Badan Pusat Statisik
[3] Ordway Tead, The Art of Leadership, (New York : McGraw Hill Book Company, Inc., 1935).
[4] Sultan Hamengkubuwono X , op. cit ., h. 85
[5]Lihat Pasal 1, Tap MPR No. VII tahun 2001
[6]Sutjipto Wirosardjono,”Kepemimpinan HMI dalam Pembangunan Bangsa Masa Depan”, Moerdiono dkk., Perkembangan HMI dalam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta : PT Gunung Kulabu, 1990)
[7] Aden R, 100 Prinsip Kepemimpinan Terhebat Spanjang Masa, (Yoyakarta: Hanggar Kreator, 2010), h. 63.
[8] Ibid, h. 21
[9] Sultan Hameng Kubuwono X , op. cit., h. 94
[10]Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 119
[11] Sultan Hameng Kubuwono X , op. cit., h. 85
[12]Ibid, h. 88-89

[14] Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilisation, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1986), h. 85.
[15] Syamsu Hadi dkk, Pancasila Bung Karno, (Jakarta : Bhinneka Tunggal Ika, 2005), h. 187-188
[16]Dra.Nurani Chandrawati, “Semangat Nasionalisme Soekarno dalam Jiwa Bangsa Indonesia yang Terluka” dalam Imam Toto K. Raharjo dan Herdianto WK, Bung Karno. Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku (Jakarta : PT. Grasindo, 2001), h. 359.
[17] ibid
[18] Sultan Hamengkubuwono X , op. cit., h.86-87.
[19]ibid, h. 87.
[20] Muhammad Syafii Antonio, “Kepemimpinan Sosial dan Politik”, Yudhistira ANM Massardi (ed), Ensiklopedia Leadeship and Management Muhammad SAW “The Super Leader, The Super Manager”, jilid  5, (Jakarta : Tazkia Publishing, 2010), h.xi-x
[21]Ibid, h. 96.
[22]Dra. Nurani Chandrawati, op. cit. h. 366.        
Comments
0 Comments

No comments: