Wanita bukanlah satu satunya makhluk yang sering kali
mengincar Ilo’. Pengincarnya sampai pada tataran makhluk bernama Homo Politicus, spesies yang sudah terbiasa berenang di sungai yang kotor dan dianggap
menjijikkan oleh mereka yang sudah lelah dan menyerah menggantungkan harapannya
pada para pemimpin negeri ini.
Banyaknya pengikut Ilo’ menjadi was was tersendiri bagi tiap
partai politik. Was - was jika ia akan digaet oleh sang rival atau suatu saat
menjadi rival. Sang politikus tentu tahu betul bahwa kepemimpinan adalah seni
mempengaruhi. Bukan tentang Kursi. Begitu banyak orang yang tak memiliki
jabatan namun ia mendapat posisi yang istimewa di hati masyarakat. Kata-katanya
menginspirasi dan memiliki efek dogma bagi pendengarnya. Suatu saat pengikutnya
akan bertambah banyak dan kompleksitas mendorong mereka membentuk struktur dan
organisasi tersendiri. Orang seperti ini akan sangat berbahaya jika tidak
segera diikat dalam lingkaran mereka.
“Maaf, tapi menjadi wakil rakyat tidaklah semudah menggoreng
serbuk rengginang.”, entah apa maksud perumpamaan itu, tapi Ilo' mencoba menunjukkan
ketegasannya kepada Sang politikus yang mencoba meminangnya menjadi Caleg.
“Banyak aspek kompleks yang membutuhkan kapabilitas yang
tidak ada dalam diri saya. Memangnya partai anda sudah kekurangan stok yang
lebih berkualitas?, bukankah masih banyak
kader-kader senior yang memiliki kapibilitas?”, tegasnya.
“Urusan kapabilitas, integritas, konektivitas,
senioritas dan tas tas lainnya, biar kami yang tangani. Yang sekarang kami butuhkan
adalah popularitas dan elektabilitas anda, yang tak seorangpun dari kami memiliknya”,
lobi Sang Politikus.
“Owhhh, Sebenarnya yang anda cari dari saya bukanlah
kepemimpinan melainkan kemenangan suara semata. Trus apa bedanya saya dengan si
Unyil, si Cepot, si Susan dan boneka-boneka lainnya?”.
“Itu tidak sepenuhnya benar. Anda bukan boneka. Dari
lini kultural dan moral, kami butuh kepemimpinan anda sebagai social
control. Kami sadar bahwa sebagian besar penduduk yang juga penggemar anda
lebih senang mendengarkan celotehan anda dibandingkan seruan kebijakan kami. Fans
anda ini sudah membentuk budaya dan peradaban. Patung dan gambar anda di mana
mana. Iloisme dan gaya hidup anda telah menular ke mana mana. Bahkan mungkin
satu abad mendatang orang akan lebih mengingat selebritis nasional seperti anda
dibandingkan pahlawan nasional. Kepemimpinan strukturalnya, serahkan pada
kami.”
“Penjilat”, bisik ilo’ dalam hati. Tangan imajinernya
melemparkan pasir _yang juga_ imajiner ke wajah sang politikus. Ilo’ berpikir
sejenak. Untuk memasuki medan seperti ini setidaknya ia perlu memegang 3 hal. kesempatan,
kesiapan, dan kepentingan. Satu dan dua rasanya telah terpenuhi, namun unsur ke
tiga yang belum.
“Kalau begitu berikan saya alasan menarik, mengapa saya
harus menerima tawaran anda?”
“Harta, tahta dan wanita”
“Cih, terlalu klasik. Tanpa masuk parpol pun saya bisa
mendapatkan ke tiganya”.
“Cinta dan Pengabdian. Cinta dan pengabdian pada tanah
dan darah negeri ini yang membuat anda harus menerima tawaran kami. Bersama
kita membangun negeri ini hingga terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT”, bujuk Sang Politikus.
“Maaf, tapi saya tidak merasakan hasrat pengabdian dalam
partai anda. Yang saya rasakan malah libido kekuasaan yang sudah overdosis”
Perbincangan merekapun berlangsung cukup lama kemudian
berakhir dengan keputusasaan sang politikus. Ilo’ bukannya tidak suka ataupun
jijik dengan dunia perpolitikan, hanya saja ia belum memiliki “kepentingan”
dalam ranah tersebut. Itu saja.
Kita semua tahu bahwa Kepentingan berakar dari kata
penting. Penting dan genting adalah dua komponen yang membentuk skala prioritas,
alasan seseorang untuk memilih. Dan makna penting dalam kepala Ilo’ tidak lah
sama dengan “penting” orang kebanyakan. Penting dalam dunianya menembus batas
rasionalitas, sesuatu yang hanya bisa dijangkau dengan iman.
Begitu sang politikus pulang dengan tangan hampa, suara
Sang Guru terngiang-ngiang di kepala Ilo’, “Engkau selamat nak! lagi pula anak
muda yang naik ke atas panggung kekuasaan akan kehilangan banyak ilmu”.