Saturday 9 February 2019

Bookspirasi : Cewek baik masuk surga, cewek bandel “Gentayangan”


         Gentayangan adalah buku pertama dengan format "Choose Your Own Adventure" yang saya baca. Mungkin penggemar serial petualangan karya Edward Packard di era 90-an tidak asing lagi dengan bacaan seperti ini, di mana kita disuguhkan berbagai macam pilihan pada cerita dan setiap pilihan akan menentukan arah perjalanan cerita yang berbeda beda. Judul Novel ini agak mirip dengan acara TV “Uka-uka” waktu zaman saya SD dulu, namun buku ini tak sehorror judulnya. Saya sendiri juga agak bingung ini mau diklasifikasikan ke genre apa, apakah petualangan, detektif, misteri atau apa. Ahhhh bodo amat, kita nikmati saja dulu (Dasar manusia hobinya mengotak-otakkan).

Tokoh utama pada novel ini adalah "Kau", seorang perempuan kosmopolitan yang menjalin hubungan asmara dengan Iblis, kekasih romantis yang cintanya selalu datang bersama kekejian. Pada suatu ketika ia memberi hadiah sebuah sepatu yang membawamu _ tokoh cerita _ ke berbagai tempat di penjuru dunia, mencicipi pengalaman unik, absurd dan tak kau bayangkan sebelumnya.

Kuperingatkan dirimu, sepatu ini adalah sepatu terkutuk. Kau terkutuk untuk bertualang, atau lebih tepatnya gentayangan. Bernaung, tapi tak berumah. Di tempat kau berasal, hantu gentayangan cuma bisa beristirahat dengan tenang setelah dukun merapal mantra atau kiai berkomat kamit membaca Al-fatihah. Biarlah kutegaskan bahwa di sini tak ada dukun atau kiai yang terlibat, sebab ini permainanku, dan aku juga terkutuk.
Tapi mungkin ini sesuai dengan keinginanmu. Tiket sekali jalan. Dalam perjalananmu, kau akan mendengar banyak cerita, dan kau akan memungut hadiah. Satu hadiah untuk satu cerita, begitu kira-kira. Kau boleh memilih hadiah, juga jalan cerita sesuai keinginanmu. (Iblis Kekasih, hlm. 7-8)

--------------------------------------------------------------

Lima belas halaman pertama, saya berusaha untuk memposisikan diri sebagai seorang perempuan yang mulai bosan dengan kehidupan tanpa prestasi dan hal-hal yang bisa dibanggakan, sedikit mengganti kacamata saya menjadi skeptis, sinis dan pragmatis akan segala hal. Di beberapa halaman saya bahkan merasa lucu menemukan diri saya sebagai tante sinis yang tidak terlalu senang dengan keponakannya yang lucu lucu. Atau sebagai orang medioker yang kadang merasa dengki dengan kesuksesan yang dimiliki orang lain.

Yang cukup menghibur adalah pandangan sarkas sang tokoh akan fenomena yang kadang terjadi di sekeliling kita. Tentang pacarnya yang marxis eksploitatif (ini sedikit mengingatkan saya pada tipikal senior senior di asrama dulu yang begitu lihai bercakap tentang ideologi, perlawanan dan komunisme, namun ditagih iuran bayar listrik saja susahnya minta ampun), tentang sang kakak dengan evolusi bisnis busana muslimahnya dan pemberian nama pada anak-anaknya, tentang para Ustadz dengan genre dakwahnya masing-masing,  tentang diskriminasi etnis tinghoa dan hantu hantu peristiwa 1998, atau tentang gerwani serta penamaan monumen pancasila sakti yang butuh “kesaktian” untuk mengganyang PKI (Perempuan Kutang Item), tentang kaum Kanan yang sama sama memiliki gerakan perlawanan melawan tirani namun lucunya begitu takut akan bahaya Komunis.

Ada banyak realita, mitos maupun sejarah yang disinggung (meski tidak mendalam). Selain itu cerita juga kadang melompat ke beberapa dongeng atau cerita rakyat yang didekontruksi dengan persepektif berbeda. Seperti Malin Kundang dan Wizard of Oz.

        Hasrat bepergian dan Kerinduan akan Rumah


Bepergian adalah hasrat manusia paling purba (hlm. 12)

  Pada tiap alur cerita kita akan ikut terbawa bagaimana sang tokoh “Kau” melancong (bergentayangan) ke beberapa kota terkenal di dunia seperti Berlin, New York, San Fransisco, Las Vegas, San Diego, Saigon, Lima, Tijuana,  Amsterdam, Haarlem dan Sydney yang digambarkan dengan cukup menarik oleh Penulis. Hal ini mungkin tidak lepas dari profil penulis yang merupakan seorang akademisi yang sudah lama menetap dan berpindah di berbagai negara _diam diam saya kepoin riwayat beliau setelah saya membaca novelnya_.
       Tak heran jika dalam novel ini perjalanan keluar negeri tidak terlalu banyak digambarkan dari kacamata seorang turis yang bertamasya untuk menikmati destinasi nan eksotis, namun kita diajak untuk menjadi seorang pendatang yang berusaha beradaptasi dan bertahan hidup di negeri orang dengan berbagai pilihan keputusan.

Dari pengalaman perjalanan tersebut kita mulai belajar sebuah konsep akan “rumah” dari perspektif feminis sang tokoh serta bagaimana ia memaknai sebuah identitas sebagai seorang yang kosmopolit.

Semua orang ingin pergi tapi tak bisa, maka mereka menanam kaki pada rumah, tanah dan kebun (hlm. 419)                

Sekilas saya melihat bahwa berkelana dan menetap merupakan dua hal yang saling bertentangan. Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta menjadi kesimpulan bahwa sang tokoh “Kau” adalah tipe pengelana yang bebas secara terus menerus. Ada jalur pilihan di mana ia menjadi konservatif misalnya dengan memilih menikahi Bob (seorang professor mapan) untuk memperoleh Green Card sebagai warga Amerika, atau tatkala sang tokoh sudah mulai lelah dengan petualangan yang semakin berantakan sehingga memilih pulang ke tanah airnya Indonesia, meskipun ironisnya kampung halamannya tidak lagi memiliki rasa yang sama saat ia datang. Layaknya being neither here nor there, Bergentayangan.

Dan akhirnya saya menduga-duga bahwa hasrat berkelana sang tokoh sebenarnya berbarengan dengan pencariannya atas makna rumah itu sendiri. Batas ke duanya mungkin menjadi samar namun berkelana dan menetap sebenarnya adalah dua sisi pada koin yang sama.

Di salah satu episode kita juga diperlihatkan bagaimana karakter feminis sang tokoh “Kau” dengan segala kenaifannya, penuh kebingungan dan berusaha mendobrak batas-batas paham akan peran domestik seorang perempuan. Mungkin ini yang dimaksud bandel sabagaimana tagline novel ini “Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan”, yang awalnya saya kira bandel lebih mengarah pada cewek nakal penggoda atau cewek liar pemberontak dalam arti yang sebenarnya.   

Rumah adalah tempat terbaik untuk menyalib seseorang (hlm. 6)

Kepolosan sang tokoh juga terlihat dari betapa gemasnya ia melihat kakaknya begitu menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga yang taat dengan perkataan suami namun di satu sisi sang kakak juga menjadi perempuan muslimah yang progresif dengan menjalankan bisnis busana muslimahnya. Merasakan kegemasan sang tokoh tersebut, saya malah merasa gemas dengan sang tokoh sendiri, _atau barangkali saya gemas dengan diri saya sendiri_. Perempuan memang sering diidentikkan dengan rumah. Saya pun kadang mengiyakan hal tersebut tatkala sedang merindukan emak saya atau mungkin di saat mengidamkan seorang perempuan yang suatu saat kujadikan rumah jiahahaha.
  

Persimpangan Takdir


    Seorang senior pernah berkata kepada saya bahwa garis takdir kita tersusun dari sekumpulan titik-titik keputusan yang kita ambil. Pernahkah di benak kita terlintas, “seandainya dulu saya tak memilih ini, mungkin sekarang saya tak di sini dan begini?”. Bagaimana seandainya waktu diputar kembali, lalu pada persimpangan tersebut kita memilih jalur yang berbeda dari sebelumnya?. Akankah kita menjadi lebih baik atau sebaliknya?.
    "Gentayangan" memperlihatkan hal tersebut, betapa pilihan sederhana bisa menjadi titik awal dari perubahan takdir seseorang. Hanya dengan memutuskan apakah engkau akan mampir atau tidak di rumah seseorang, akan menjadi titik penentu apakah hidupmu hanya menjadi orang yang biasa biasa saja, ataukah menjadi kekasih lesbian, ataukah menjadi istri seorang ustadz atau mungkin menjadi spesies eksperimen alien di ruang angkasa.

Namun di beberapa bagian diperlihatkan bahwa adakalanya manusia tidak bisa lari dari takdir, apapun pilihannya ia akan kembali bermuara pada jalur yang sama. Seperti ketika sang tokoh memilih menuju Zagreb ketimbang Amsterdam, namun karena faktor cuaca, mau tidak mau ia harus ke Amsterdam.

Jika direnungi kembali dalam konteks yang lebih nyata ini akan menjadi hal yang lucu.

       Menikmati Ketersesatan


Untuk saya pribadi, novel ini sungguh menyebalkan. Agak sulit mengikuti alurnya tanpa coretan-coretan rute perjalanan dan penanda di tiap halaman tertentu. Bahkan dengan itu pun saya masih suka tersesat, salah melangkahi rute yang membuat kisah saya jadi berantakan meski masih terasa nyambung.

Ketika jenuh dan jengah dalam ketersesatan, novel ini bisa saya tinggalkan berminggu-minggu sambil berganti dengan bacaan yang lain. Namun tetap saja ia selalu mengeluarkan bisikan, memanggil untuk segera dilanjutkan. Saya baru tuntas membacanya dalam kurun waktu hampir setengah tahun. Cukup lama. Itupun saya masih ragu apakah saya benar benar menyelesaikannya.

“Penulis fiksi ternyata benar-benar iseng, kalau bukan keji. Mereka bekerja keras menciptakan labirin, mencari orang orang patuh untuk disesatkan di dalmnya, menikmati penderitaan korban sambil minum kopi dan makan donat” (hal 319)

Rute yang sejauh ini saya temukan _entah bagaimana cara menghitungnya_ jika dirunut bisa sampai 23 rute, bisa juga 13 atau 15 (jika rute berbeda yang berujung pada satu tamat dihitung 2). Yang jelas saya telah melalui 23 titik persimpangan pilihan yang berujung pada 13 TAMAT. Melelahkan namun cukup menyenangkan.

Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.


------------------------------------------

(Larangan, 10/02/2019)


Comments
0 Comments

No comments: