Friday 4 January 2013

Orang Bugis-Makassar = Manusia kasar?



Hanya secangkir kopi yang menemaniku pagi ini. Biasanya Aku ditemani si Udin. Namun sejak pertengkaran kemarin, batang hidungnya belum juga muncul. Iri juga rasanya ketika ku perhatikan setiap meja dipenuhi mahasiswa yang sedang menikmati obrolan bersama golongannya masing-masing.
Dan kesendirian ini semakin membuatku jengkel dengan kedatangan David, Mahasiswa yang kemarin mempermalukanku dan Udin di depan mahasiswa lain. Ingin ku daratkan pukulan  ke wajahnya. Namun hal itu kutahan mengingat ayahnya adalah seorang rektor yang memberikanku beasiswa di kampus bergengsi seperti ini. Sejenak Ia melihatku dan sepertinya bakal berulah lagi.
“Hei, semuanya!! Ada yang tahu berita kemarin gak?”, suara David tertuju pada sekelompok  Mahasiswa yang sudah memenuhi meja tongkrongannya. Begitu jelas dan terkesan sengaja di buat-buat.
“Berita anggaran toilet DPR itu bukan?”, salah satu dari mereka menebak.
“Bukan, itu sih biasa terjadi di negeri ini”
“Konser perdana BOY BAND ngetop itu? Iya gak”, yang lain ikut menebak.
“Yeee, berita kayak gitu sih,konsumsinya para ABABIL. Kalian ini pura-pura bego atau gimana sih? Itu tu, anak-anak Makassar tawuran lagi”.
“Oowww”, suara-suara lain langsung menanggapi dengan serempak diikuti dengan cekikikan yang seolah-olah itu adalah hal yang lucu. Meski berusaha untuk tidak ku perhatikan. Namun pandangan mereka jelas terasa tertuju pada ku.
Berita itu, Aku juga tahu. Heran, Sedih, kecewa, semua rasanya bercampur saat menonton berita tawuran Mahasiswa yang berakhir dengan kematian salah satu mahasiswa. Sebagai Mahasiswa Bugis perantauan, akulah yang jadi korban imej di tanah orang.
Selama ini aku telah berusaha menghapus semua persepsi mereka yang menganggap bahwa orang Bugis-Makassar itu kasar dan bar-bar. Senyum setiap saat, rajin menyapa, selalu berlaku sopan dan tidak pernah sombong. Segala upaya ku lakukan untuk membumi hanguskan paradigma sesat yang terlalu membar-barkan orang Bugis-Makassar.
Bahkan kemarin, Aku dan Udin sepakat untuk menampilkan presentase kebudayaan Bugis-Makassar pada tugas Mata Kuliah Pengantar Psikologi dan Budaya. Kebetulan hanya kami berdua mahasiswa yang berasal dari Makassar di kampus ini. Ku kira ini adalah saat yang pas untuk menunjukkan kepada mereka siapa orang Bugis-Makassar itu sebenarnya. Memori ku berputar ke peristiwa kemarin dan teringat bagaimana ku mulai Forum diskusi itu dengan sebuah pertanyaan.
“Ada yang tahu, siapa penemu benua Amerika?”
“Columbus?”, Tebak Si Fadlan dengan ragu. Namun aku hanya menggelengkan kepala.
“Jendral Cheng Ho?” Fitri ikut menebak. Tapi lagi-lagi kepalaku menggeleng.
“Keduanya jelas salah”, semua menoleh ke belakang mendengar sanggahan David, cowok berkaca mata ini terlihat sangat optimis dan dari tadi ia memang terlihat tidak sabaran ingin menjawab.
“Maksud anda bung?”, tanya Si Udin yang duduk di sebelahku.
“Columbus pernah mengatakan bahwa dia bertemu penduduk asli Amerika. Ini artinya, orang yang pertama kali tinggal di sanalah yang berhak dikatakan PENEMU, dan mereka adalah orang Indian yang sejak 20 ribu tahun datang dikarenakan mengikuti hewan buruan, melewati selat bering, bermukim, dan membuat koloni. Trus mengapa Mereka disebut orang indian?, hal ini dikarenakan pelaut eropa mengira daratan yang mereka temukan adalah India.”
Sepertinya aku harus bilang WOW pada wawasan si kutu buku ini. Sejak tadi dia memang menunggu untuk menjadi penjawab terakhir yang menyalahkan seluruh jawaban sebelumnya. Akan tetapi keinginannya tersebut tidak akan terwujud.
“Semuanya salah”, suasana hening. Wajah David mengkerut.
“Penemu Amerika adalah orang Bugis-Makassar”, tiba-tiba mahasiswa mulai gaduh, berbagai macam ekspresi muncul, ada yang dahinya berkerut, matanya menyipit heran, ada yang meledek dengan tawa yang meledak, dan ada juga yang tak mau tahu menahu dan hanya bergumam dalam hati kapan kelas ini berakhir. David jelas tak terima dengan jawabanku.
“Tenang, tenang semuanya!!. Kini saatnya anda menyucikan diri dari sejarah palsu yang telah menipu dan menodai pikiran anda selama ini. Dari dulu hingga sekarang, Orang Bugis terkenal sebagai pelaut ulung yang disegani.”, dengan pedenya ku ucapakan kalimat itu sementara aku sendiri belum tahu berenang. Selanjutnya akupun bercerita.
“Dahulu kala seorang kapten kapal beserta awaknya terjebak oleh badai, terombang-ambing lalu terdampar di sebuah daratan luas. Akhirnya, mereka menjelajahi daratan tersebut dan tak menemukan apapun kecuali flora dan fauna. Karena kurang tertarik akhirnya si pelaut memutuskan meninggalkan daerah itu dan melanjutkan perjalanannya. Sayangnya ketika hendak berlayar, angin begitu tenang, bahkan tak ada hembusan sama sekali. Sehingga kapal tak bergerak. Si pemimpin awak akhirnya mengucapkan sebuah mantra pengendali udara, layaknya Avatar”. Mereka tertawa sejenak.
Ammiri’ko’, Ammiri’ko’, Ammiri’ko*[1]. Si pemimpin terus-terusan meneriakkan mantra tersebut, lalu diikuti oleh semua awak. Sehingga kapalpun terdengar sangat brisik dengan teriakan mantra. Ajaibnya, mantra Ammiri’ko, ternyata ampuh. Angin kemudian berhembus dan menggerakkan kapal”. Sangat lucu ku perhatikan wajah mereka begitu antusias mendengar mitos yang ku ceritakan.
“Dari kejauhan ternyata masih ada awak yang bernama Samsuddin yang tertinggal karena saking asiknya menjelajahi hutan. Barulah ia sadar ketika mendengar teriakan mantra dari pesisir pantai. Iapun berlari mengejar kawannya yang lain. Tapi sungguh malang, kapalnya sudah terlihat sangat jauh dan suaranya tak kedengaran lagi. Lantas bagaimanakah nasibnya di sana?”. Aku berhenti sejenak, membiarkan mereka menerka-nerka cerita selanjutnya
“Akhirnya dia menetap di sana selama beberapa hari hingga tibalah Pelaut Eropa di pulau itu dan bertemu dengan Samsuddin. Samsuddin pun langsung menanyakan teman-teman awaknya kepada mereka, siapa tahu pernah bertamu, “ta ita ga tau, gora-gora makkeda Ammiri’ko?*[2]” pelaut Eropa tak mengerti bahasa si Samsuddin dan mengira bahwa Samsuddin mengatakan bahwa pulau tersebut bernama Ammiri’ko. Singkat cerita ketika pelaut tersebut tiba di Eropa, tersebarlah Kabar tentang daratan yang disebut Ammiri’ko yang mana dihuni oleh Samsuddin. Dan akhirnya sekarang kita mengenal Amerika, negeri paman SAMsuddin.”
Wah, benar-benar tak terduga beberapa diantara mereka memercai apa yang ku ceritakan. Tapi sepasang bola mata nampak kesal menatap ku. Jelas David tak terima, fakta yang disampaikannya ku putar balikkan dengan sebuah lelucon. Wajar saja, selain karena anak Rektor, Mahasiswa pindahan luar negeri ini sangat terkenal dikampus dengan keilmiahannya. Dia tak akan menerima begitu saja informasi dari orang lain. Selama ini jarang, bahkan hampir tak pernah ada yang membantah gagasan-gagasannya. Tapi, untuk apa kupedulikan. Toh ini hanyalah basa-basi pembukaan.
”Itu hanyalah prolog yang menunjukkan bahwa jatidiri orang bugis itu adalah petualang yang pantang menyerah dan selalu sukses.”.
 Ku tunjukkan beberapa semboyan semboyan Bugis-Makassar pada layar di depan mereka.
"Takunjunga' bangung turu'. Nakugunciri' gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia "
Layarku telah kukembangkang. Kemudiku telah kupasang. Aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut". Jelas, sebagai perantau semboyan ini pula yang mendarah daging dalam diriku, sudah ku gemakan sumpah untuk tidak pulang sebelum mencapai sesuatu yang bisa kubanggakan di kampung halaman. Orang bugis tidak boleh hanya bisa jago kandang, Aku harus besar di tanah rantau seperti Tun Abdul Razak yang menjadi perdana menteri Malaysia, BJ habibie yang menjadi Presiden RI, Syekh Yusuf yang menjadi Ulama’ termahsyur di Afrika bahkan mendapat penghargaan oleh Nelson Mandella. Mereka semua putra-putra Bugis yang harus ku ikuti jejaknya. Merantau di tanah orang. Dan mengharumkan tanah kelahirannya.
“Teman-teman sekalian, banyak yang menganggap bahwa orang Makassar itu orangnya kasar dan mudah tersinggung. Ke dua sifat ini jelas sangat berkontradiksi. Secara logika orang yang mudah tersinggung itu berarti memiliki perasaan yang halus sehingga lebih sensitif. Tentunya ini sangat bertolak belakang dengan sifat kasar yang orang kira. Jadi, yang selama ini orang katakan kasar itu mungkin dari gaya dan intonasi bertutur katanya yang tak lazim di dengar oleh orang luar yang berperawakan lembut.”
“Tapi bukankah orang menamainya Makassar karena asal katanya kasar. Ada juga yang bilang kalu makassar itu singkatan dari manusia kasar” seorang gadis menimpali.
“Oww, Kesamaan nama makassar dengan sifat kasar hanyalah sebuah kebetulan. Tahu daerah lombok di Nusa Tenggara Barat?”
“kok lombok sih? Iya saya tahu”
“Anda tahu arti lombok itu apa?”
“Cabe”
“Sama sekali bukan, Lombok itu barmakna Lurus dalam bahasa sasak. Bukan cabe, tapi kebetulan saja ciri khas makanan di sana pedas jadi orang menganggap daerah Lombok itu di ambil dari makna cabe”
“Trus kalo Makassar?”
“Ahahh, Mungkin anda tidak akan percaya, kalau penamaan makassar itu bermula dari kemunculan Nabi Muhammad SAW.”.
Wajah keheranan semakin bermunculan saja.
“Ceritanya lain kali saja, karena bukan itu yang akan kita sentuh”, aku senyum senyum sendiri melihat wajah heran mereka berubah jadi wajah penasaran. Tak terkecuali si David yang hanya semakin kesal.
“Makassar sebenarnya berasal dari kata Mangkasarak, kata ini terdiri dari mang dan kasarak. Mang merupakan imbuhan sedangkan Kasarak memiliki banyak arti, yaitu nyata, jelas, jujur,dan terang,. Kira-kira dari makna tersebut mana yang bersifat kasar?”
Intonasiku agak meninggi melontarkan pertanyaan itu. Semua terdiam. Materi pun ku perdalam lagi ke nilai luhur budaya Bugis makassar kepada mereka. Siri’ na Pacce. Dimana prinsip ini sering disalah tafsirkan oleh banyak kalangan. Siri merupakan pembudidayaan rasa malu pada setiap insan sehingga dalam setiap tindakan sosialnya dikontrol dengan rasa malu. Sementara Pacce merepresentasikan kesetiakawanan orang bugis Makassar. Ibarat satu tubuh dimana ketika ada satu yang sakit, yang lainpun akan merasakan.
Akhirnya David kembali mengacungkan tangan, entah ia ingin berargumen lagi, bertanya , ataupun menyanggah. Terserah, kupersilahkan saja untuk bicara.
“Apa yang anda sampaikan jelas sangat berbeda dari kenyataan saat ini, nilai-nilai positf dari penjelasan anda hanyalah sebuah kesemuan belaka. Lihat fakta yang ada sekarang !. Mahasiswa Makassar terkenal dengan tawurannya, bukan?.” David tersenyum sinis ke arah Kami berdua.

TO BE CONTINUED,,,,,,,,, Orang Bugis-Makassar = Manusia kasar? [Part II]

[1] berhembuslah-berhembuslah-berhembuslah
[2] apakah Anda melihat rombongan yang berteriak Ammiri’ko?
Comments
0 Comments