Friday 25 January 2013

Melacur, Onani atau Impoten. Yang manakah dirimu?


"Ada pertanyaan?" tanya Pak Dosen sambil menatap para mahasiswanya. Namun suasana hening penuh kebisuan sudah cukup menjadi jawaban baginya.
Sejak 30 menit yang lalu suasana kelas masih hanya diisi oleh suara dia saja. Dosen yang satu ini memang terlihat calm dan sabar. Namanya Pak Manzhur. Perhatikan baik-baik ejaannya. Manzhur. Bukan Mansyur, Manshur, ataupun Mantsur. Ia tak akan membiarkan orang salah melafalkan namanya.
"Sedikit saja salah lafal, maka perubahan maknanya berakibat fatal", tegas Dia di awal perkenalan minggu lalu.
Dan memang benar. Mansyur[1] berarti “nama yang tersiar”, Manshur[2] artinya “orang yang mandapat pertolongan”, sedangkan Mantsur berarti “Sesuatu yang berhamburan”. Adapun Manzhur[3] (Namanya sendiri) berarti “Orang yang diperhatikan”. Tapi sepertinya nama tersebut bukanlah doa yang terkabul kali ini.

“Sampai sini ada pertanyaan?“, Lagi-lagi ia bertanya.
Beberapa wajah mulai terlihat bosan, sebagian sibuk dengan laptopnya di bangku belakang, ada pula yang hanya terpaku di depan gadget dan blackberrynya, namun beberapa juga hanya turut memperhatikan tanpa ada respon sama sekali. Dan aku?. Jangan ditanya. Mata ku masih berat untuk terbuka karena habis begadang. Film anime semalam terlalu seru untuk dicancel.
Tapi setidaknya aku masih bisa menangkap beberapa materi Sejarah pemikiran Ekonomi yang disampaikan oleh Dosen yang satu ini. Barusan ia menyinggung tentang teori Alfred Marshal  tentang Supply and Demand yang katanya mengadopsi pemikiran Ibnu Taymiyah. Dan sekarang Ia mengkritisi status Luca Pacioli sebagai Bapak Akuntansi sedunia. Katanya pencatatan dua kolom sudah ada sejak zaman Dinasti Abbasiah.
Pak Manzhur lalu mengganti slidenya dan melanjutkan materi. Terlihat ia tak bosan melihat kebosanan kami. Ia tetap menjelaskan sekan-akan diperhatikan oleh semua orang. Padahal nyatanya  tidak. Sampai akhirnya materi slidepun habis.
Ia bertanya lagi,"Ada pertanyaan?"
Bisu dan acuh, Mahasiswa masih terlihat bermasa bodoh.
"Ada pertanyaan? Atau ada yang mau memberi gagasan?".  Sedikit menekan. Kantukku mulai hilang mendengar suaranya yang setengah teriak. Kulirik kiri dan kanan, masih tak ada juga yang bertanya. 
"Ada pertanyaan?", suaranya semakin keras.
Ini sungguh lucu, bahkan untuk mendapatkan pertanyaanpun orang masih perlu bertanya. Namun lagi-lagi tak satupun manyahut dan mengangkat tangan. Aku sendiri juga bingung apa yang harus ditanyakan. Semua materi mengalir begitu saja.
"Baiklah, kalau begitu bapak yang akan bertanya?". Mahasiswa mulai cemas, yang lain buru-buru membuka catatannya.
"Apa bedanya kalian dengan pelacur?",  Semua tersentak dan saling berpandangan satu sama lain. pertanyaan macam apa itu?. Dari awal hingga akhir materi, tak ada penjelasan mengenai hal tersebut.
"Ayo! yang bisa jawab dengan tepat tak usah ikut UTS. Apa bedanya kalian dengan pelacur?" Wajahnya tampak tenang tanpa tanda amarah sedikit pun. Namun Para Mahasiswa merasa gelisah dengan pertanyaan itu. Khawatir Pak Manzhur tersinggung tak diperhatikan.
"Pak", si Lukman mengacungkan tangan.  "Jelas beda dong pak, pelacur itu hina. sedangkan kami Mahasiswa yang dipandang terpelajar"
"Ada lagi yang mau jawab?", Pak Manzhur mengharap jawaban yang lain.
"Pelacur itu dibayar sedangkan Mahasiswa membayar" Jawab Si Udin dengan asal.  Aku yakin bocah ini cuma ingin selamat dari UTS.
" Ada jawaban lain?"
tiga detik, 5 detik, 7 detik. Waktu seperti berhenti melihat tatapan Pak Manzhur ke mana-mana. Semua mahasiswa kini memperhatikannya dengan penuh kebisuan. 9 detik, 11 detik, 13 det......
"Ternyata pelacur masih lebih terhormat dibanding kalian". Semua dahi langsung berkerut mendengarnya. Semua bertambah resah dan gelisah saat dengan santainya ia melangkah  ke setiap bangku mahasiswa.
"Seorang cendekia pernah mengatakan bahwa menuntut ilmu itu lebih nikmat dari bersetubuh", yang bener aja  pikirku dalam hati.  
"Kalian yang masih asal-asalan belajarnya sudah tentu belum pernah merasakannya. Silahkan cari kitab al-ulama al-uzzab, di dalamnya akan kalian temukan ilmuwan-ilmuwan jomblo yang hidupnya mebujang karena asik bercumbu dalam keilmuwan"
Ketegangan agak reda mendengar pernyataan Pak Manzhur. Kali ini Semua menyimak penuh khidmat. Tak ada lagi laptop yang terbuka, tak ada lagi gadget di tangan.
"Proses belajar mengajar ataupun diskusi sebenarnya sama dengan hendak berjima'. yaitu bagaimana kita menjima'kan pemikiran kita masing-masing sehingga suasana keilmuwan terasa lebih nikmat. Sayangnya di kelas ini kurang memuaskan.”
Majas macam apa ini?, Kenapa analoginya harus dengan Jima’.  Pikiranku langsung kemana-mana. Yang lain pun pasti begitu.
“Dan tahu kah kalian arti dari melacur? ". Langkahnya terhenti tepat disamping bangkuku.
"Yaitu kau membiarkan siapapun masuk ke punyamu. Segala pengetahuan yang saya paparkan tadi, siapa yang menjamin kebenarannya?. Dan apakah kalian akan menerimanya begitu saja?. Tanpa ada respon ataupun pertanyaan?”, Kini aku mengerti maksud si Bapak ini, aku yakin yang lainpun sudah paham.
“Di luar sana akan banyak pemikiran-pemikiran yang hendak memperkosa otak kalian. Lantas apakah kalian hendak pasrah dan membiarkannya begitu saja?".
"Benar kata Udin”, Pak Manzhur meliriknya, diikuti semua kepala berbalik ke arah Udin. Kampret sekali bocah ini. Jawaban asalnya diiyakan juga oleh Pak Manzhur. Kulihat ia cengar cengir membayangkan dirinya bebas UTS.
“Semurah murahnya pelacur ia tetap memilih siapa yang bayar. Namun kalian?" Pak Manzhur geleng-geleng tersenyum sinis.
Aku tertunduk malu, namun ada juga yang tak sudi dikatakan seperti itu.
“Maaf Pak! kami tak memberi respon bukan berarti kami menerima pemikiran yang Bapak paparkan.”, Sahut Lukman membela diri.
Pak Manzhur menyipitkan mata ke arahnya, tajam tapi tetap tenang.
“Lantas apa?”
“Di saat kalian sudah membisu terhadap keilmuan. Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama . Kalian melacur. Kedua. Kalian onani dalam intelektualitas.  Tahu tapi pengetahuan itu dinikmati sendiri. tak mau dishare dengan memberi gagasan. Atau ketiga, kalian sudah  impoten. Apatis, acuh, dan sudah tak terangsang terhadap fenomena yang ada. Sehingga pisau analisis kalian sudah tumpul dan tak lagi peka merespon segala hal. Lukman. sekarang kamu yang mana?”. Tanya Pak Manzhur dengan tegas.
“Dia tipe yang kedua Pak”, teriak suara lain dari belakang. Tawapun meledak. Sebagian wajah masih terlihat polos dan hanya ikut tertawa. Lukman tertunduk malu.
“Tak usah saling menertawai. Kalian semua sudah pasti ada di ke tiga tipe tersebut”
Dalam hati kuiyakan juga perkataan itu. Parahya aku sering melakukan ketiga-tiganya. Melacur, entah sudah berapa kali. Ku telan habis tanpa filter semua yang orang katakan. Di seminar, kuliah, ceramah, maupun pada tulisan-tulisan mereka.
Onani intelektual?. Begitu banyak pengetahuan yang kunikmati sendiri. Sembunyi-sembunyi mencium cicipi lezatnya ilmu baru. Takut disaingi orang. Dan baru berbagi jika dipuji, dilike, serta dicomment oleh para penjilat.
Sering pula pikiranku Impoten. Tak lagi bisa dirangsang dengan sentuhan isu-isu hangat. Benar-benar Telmi tingkat dewa.
Kelas kembali sunyi. Pak Manzhur kembali berjalan di dekat papan tulis. Sentakan langkah sepatunya sampai ke setiap telinga. Ia mengambil board-marker dan menulis sebuah kalimat aneh besar-besar di papan tulis. Entah apa maksudnya.
  لَوْلَ السَّائِل لَزَالَ الْعِلْم  
“Untuk kali ini tak ada paper. Tugas kalian minggu ini adalah memahami makna kalimat di atas.  Sampai ketemu minggu depan. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Ia kemudian berlalu meninggalkan kami dalam keadaan masih terpaku.
Sejak saat itu, tak ada lagi mahasiswa yang tak memperhatikan kuliahnya.  Semuanya ingin memberi pertanyaan maupun pernyataan. Dan kini aku mengerti mengapa orang tak boleh salah mengeja namanya. Manzhur.


[1] Isim Maf’ul dari “Nasyara”  menyiar.
[2] Isim Maf’ul dari “Nashara” menolong.
[3] Isim Maf’ul dari “Nazhara”  memperhatikan
Comments
0 Comments

No comments: