PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masuknya Islam ke Asia
Tenggara di awali dengan kegiatan kaum pedagang Muslim asal Arab, Persia dan
India dan para sufi pada abad ke-7 M. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di
Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Awal
masuknya ditandai dengan munculnya kejaan Samudra Pasai yang
memperluasislamisasinya di kawasan pulau Sumatera. Disusul dengan munculnya
kerajaan demak di pulau Jawa pada abad ke-11. Selama beberapa masa para
muballig maupun pedagang melakukan aktivitas da’wahnya di Nusantara.
Di jazirah Sulawesi
tepatnya di kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling
berbatasan, biasanya disebut kerajaan
Makassar. Kerajaan ini terletak di
semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi sehingga sangat strategis untuk dijadikan
daerah transit oleh para pedagang dan Muballig. Ketika kerajaan tersebut
memeluk Islam, masyarakat Sulawaesi Selatan yang dulunya penganut paganisme
berubah 360 derajat menjadi umat muslim. Dan sampai sekarang menjadi masyarakat
mayoritas yang mempunyai kebudayaan dari hasil campuran adat penduduk pribumi
dan peradaban Islam di timur tengah. Hal ini disebabkan oleh ajaran dan prinsip
penyebaran islam yang mudah diterima oleh penduduk pribumi. Sayangnya, setelah
beberapa dekade kerajaan Islam ini mengalami kemunduran yang dilatar belakangi
oleh beberapa faktor.
B. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka
muncullah beberapa persoalan sebagai berikut:
1.
Bagaiman awal mula
kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam?
2.
Seperti apa prinsip
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan?
3.
Bagaimana perkembangan
prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan masyarakat?
4.
Apa latarbelakang sehingga
kerjaan Gowa Tallo mengalami Kemunduran?
C.
Metode dan Sistematika Penulisan
Tulisan yang berupa makalah ini mencoba
membahas persoalan atau masalah-masalah pokok sebagaimana telah dikemukakan
diatas dengan secara seksama. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan dari para pembaca demi kesempurnaan tulisan ini.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam
penulisan ini adalah metode deskriptif analisis, yakni menelaah sumber-sumber
data dan menganalisisnya dengan pendekatan sejarah.
Penulisan ini dibagi dalam tiga Bab yakni: Bab
I berisikan Pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, Permasalahan dan
Metode Penulisan. Pada Bab II akan dibahas awal kerajaan Gowa-Tallo memeluk
Islam, prinsip-prinsip dalam penyebarannya dan perkembangannya serta latar
belakang kemundurannya. Bab III adalah penutup yang memuat tentang kesimpulan
dari tulisan ini.
A. Awal Mula Kerajaan Gowa-Tallo Memeluk Islam
Sebenarnya Islam sudah dikenaldi Jazirah
Sulawesi sejak Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12
bernama I Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590)
dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk
bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk
mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah
berdiri di Sulsel.
Sejak Gowa
Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan
Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah
mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal.1 Kemudian datanglah
Datuk Ribandang seorang Muballig dari Minangkabau Sumatera, hingga Akhirnya
berhasil mengislamkan raja Gowa dan Tallo.
Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam
diterima secara resmi di Kerajaan Gowa dan Tallo disusul ketika ke dua raja
tersebut memeluk Islam yaitu Daeng Manrabia (Raja Gowa XIV), yang bergelar Sultan
Alauddin dengan Karaeng Matoaya (Raja Tallo) yang bergelar Sultan Abdullah
Awwalul Islam pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat.
Raja Tallo keesokkan hari langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama
rakyatnya yang Islam. Menurut catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja
Tallo dan Raja Gowa masuk islam adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal
Kota Minangkabau. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo
dan Gowa telah berhasil diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan
syariat Islam di kalangan rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di
kalangan karajaan. Selain itu para muballig lain menyebar ke kawasan Sulawesi
Selatan diantaranya
Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk
ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.2
Sejak
pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan
maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 –
1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa
pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah
yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan
Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
B.
Prinsip Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan
Prinsip Pendekatan Struktural dan Kultural
Penyebaran Islam dilakukan baik melalui
pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan kultural dilakukan Kerajaan
Gowa-Tallo menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera
menyebarkan ke kerajaan-kerajaan lainnya. Disamping tentunya diikuti dengan
pendekatan kultural yakni Kerajaan mengutus para muballigh keseluruh
pelosok-pelosok daerah.
Perlu dicatat bahwa penyebaran Islam oleh
Kerajaan Gowa-Tallo kepada rakyat ataupun Raja-raja memegang teguh prinsip
mengajak dengan cara damai. Maka bisa kita lihat bagaimana Kerajaan
Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang dan Sidenreng) memeluk Islam dengan cara
damai setelah diajak oleh Gowa. Berbeda halnya ketika Kerajaan yang diajak oleh
Gowa memeluk Islam, lalu menolak Islam, maka Gowa akan memeranginya, seperti
yang dilakukannya terhadap Kerajaan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo)
sampai ditaklukkannya.
Ini menunjukkan bahwa Gowa sebagai institusi
pemerintahan menyadari kewajibannya untuk menyebarkan Islam kepada siapa saja
dan dimana saja, yang akhirnya bisa kita saksikan betapa keberhasilan Gowa
menyebarkan Islam di Sulawesi, Nusa Tenggara, Ambon dan bahkan bagian timur
Nusantara lainnya hingga Marege, Australia bagian utara. Ini dipastikan tidak
akan bisa dilakukan kalau tidak didukung oleh kepemimpinan Kerajaan Gowa.
Prinsip penyebaran Islam dengan cara damai
Prinsip
damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam, dapat dicermati ketika Raja
Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (raja Tallo) Sultan Awwalul Islam
dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di
Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa sebagai raja Bone XI adalah
raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah mengadakan pembicaraan
antara raja Gowa dan Raja Bone, maka rakyat Bone dikumpul disuatu lapangan
terbuka karena Raja akan menyampaikan sesuatu kepada mereka.
Maka
berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak:
“Hai
rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone
menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita
sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada
kesanksian apa-apa, saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar,
yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad SAW.”
Selanjutnya
Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
“Dan
memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan , bahwa
barangsiapa diantara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun didepan. Raja Gowa
berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah
dua sejoli yang paling tangguh ditengan lapangan. Bila kita terima agama Islam,
maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi bila kita diperangi dahulu
dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan
menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La
Tenriruwa, bukan karena saya takut berperang
lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu
diingkarinya, maka saya akan turun kegelanggan, kita akan lihat saya ataukah
Raja Gowa yang mati.” Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat
banyak.3
Kalau kita mencermati petikan pidato diatas
dapat dipahami bahwa betapa Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja
Bone dan Rakyat Bone untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam, bahkan
dikatakan kepada mereka jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa
hidup sejoli yang saling menguatkan satu sama lain. Namun sekalipun Raja Bone
La Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun
menolak bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya. Dan
bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII
(1611-1625). Maka Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja Gowa,
sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam.
Oleh
Abdul Razak Daeng Patunru’ (1969:21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak
Kerajaan-kerajaan memeluk Islam, sebagai berikut:
“Pada
hakekatnya Raja Gowa sebagai seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama
Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama
sekali tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, akan tetapi
karena ternyata kepada baginda , bahwa selain raja-raja itu menolak seruan
baginda, merekapun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang
kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam ditanah-tanah
Bugis pada umumnya.
C. Perkembangan Prinsip-prinsip Syariat Islam pada Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)
Penyebaran Islam
yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo diseluruh Sulawesi Selatan bahkan
sampai kebagian timur Nusantara, telah memberikan pengaruh dan perubahan
terhadap kehidupan sosial masyarakat yang meliputi segala bidang, baik aspek
politik, pemerintahan, ekonomi maupun
sosial-budaya. Tentu perubahan ini adalah mengarah kepada islamisasi segala
aspek kehidupan tersebut. Karena begitu kuatnya pengaruh islam yang
dikembangkan oleh para muballigh dengan dukungan para raja-raja yang telah
memeluk Islam, maka rakyat kerajaan berbondong-bondong memeluk Islam tanpa
mereka dipaksa ataupun diancam. bisa kita lihat bagaimana proses Islamisasi di
Sulawesi Selatan yang dimulai pada abad ke-17 ini dapat merubah sendi-sendi
“Pangngadakkan (Makssar) atau Pangngaderreng (Bugis) yang menyebabkan
pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Makassar dan Bugis, Mandar dan
lain-lain memperoleh warna baru, karena sara’ (syariat) telah masuk pula
menjadi salah satu dari sendi-sendi adat-istiadat itu. Pangadakkang/Pangngaderreng
adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi
orang Bugis/Makassar. Sistem paranata sosial ini sudah lama mengakar dan
diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bugis/Makassar.4
Maka sebelum Islam datang Pangngadakkan ini
terdiri 4 sendi yaitu; Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan
berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara
(Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi yakni Sara’ (syariat Islam)
setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.5
Dalam prakteknya 4 (empat) dari yang pertama,
dipegang oleh Pampawa Ade’ (Pelaksana Adat) yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya,
sedangkan yang kelima dipegang oleh Parewa Sara’ (perangkat Syariat) dipimpin
oleh Ulama, Imam, Kadi (Qodhi), dan para pembantunya. Kedua Lembaga ini
memiliki fungsi dan tugas sesuai bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan
otonomi tersendiri. Pemimpin tertinggi Pampawa Ade’ adalah Raja yang khusus
menangani pemerintahan, sedangkan pemimpin tertinggi Parewa sara’ adalah ulama
yang menagani hal-hal yang berhubungan dengan syariat Islam. Adanya dikotomi
tugas ini berimplikasi pada sistem pengaturan sosial selanjutnaya, tetapi tidak
berarti terjadi sekularisasi antara urusan Kerajaan dan keagamaan (bukan
pemisahan negara dengan Islam, pen.). Sebab dalam prakteknya keduanya saling
mengisi atau beriringan, namun adat tetap tunduk kepada ajaran (syariat) Islam.
Sehingga yang terjadi adalah syariat Islam tetap bertoleransi kepada adat
sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan syariat Islam. Karena syariat
Islam telah masuk kedalam sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng, maka wibawa dan
kepatuhan rakyat kepada Islam dan adat sama kuatnya.6
v Bidang sosial kemasyaraktan
Ada
beberapa conntoh penerapan syariat Islam dalam undang-undang Pangngadakkan/Pangngaderreng
dapat dilihat diantarnya :
Perzinahan
Pada
wanita atau pria yang berzina setelah menikah, dimana didalam Islam dirajam
yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk dicemplungkan hidup-hidup kedasar
laut. Jika yang bezinah adalah pria atau wanita lajang maka dihukum cambuk.7
- Kawin Lari (silariang (Makassar))
Apabila
sepasang muda-mudi kawin lari (silariang) atau kabur, bila tiba dirumah Imam
(Abballa’ imang/mabbola imang) ia akan dilindungi dari kejaran to masiri’na
(mahram) demi menghargai otonomi imam yang akan menikahkan mereka menurut
syariat Islam. Bila ditemukan diluar rumah Imam, to masiri’na berhak
menghukumnya sesuai ketentuan adat karena berada dibawa wilayah otonomi adat.
- Wanita dalam menerima tamu, safar dan berpakain.
Para penjaga wanita Bugis-Makassar, istilah
mahram diterjemahkan to masiri’na (diadopsi dari budaya siri’) yang berfungsi
menjaga dan melindungi nama dan harkat perempuan. Itulah sebabnya jika tidak
ada to masiri’na didalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu
pula bila bepergian, dia harus dikawal oleh to masiri’na (mahram) dan juga
selalu menggunakan dua sarung, satu diikat dipinggang (appalikang, makassar) dan satunya lagi dipakai menutup
kepala (berkerudung) atau “abbongong (makassar)”. Begitu juga dalam pakain adat
Gowa, sebelum Islam, sudah dikenal pakain Baju Bodo (baju yang lengannya
pendek), lalu setelah Islam menjadi agama Kerajaan Gowa, maka baju Bodo diganti
menjadi Baju Labbu seperti dituturkan oleh Andi Kumala Idjo, SH selaku putra
mahkota pewaris tahta kerajaan Gowa sekarang ini menggantikan Raja Gowa ke-36
Andi Idjo Daeng mattawang Karaeng Lalolang (1946-1960).
Berbagai
penerapan syariat yang lain di Kerajaan Wajo misalnya setelah Arung Matowa
(Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru’ Mulajaji memeluk Islam tahun 1610,
maka raja Gowa mengirim ulama Minangkabau Sulaiman Khatib Sulung yang sudah
kembali dari Luwu’. Khatib Sulung mengajarkan tentang keimanan kepada Allah dan
segala larangan-larangannya, seperti:
a. dilarang mappinang rakka’ (memberi
sesajen kepada apa saja)
b. dilarang mammanu-manu’ (bertenung
tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan)
c. dilarang mappolo-bea (bertenung
melihat nasib)
d. dilarang boto’ (berjudi)
e. dilarang makan riba (bunga piutang)
f. dilarang mappangaddi (berzinah)
g. dilarang minum pakkunesse’ (minuman
keras)
h. dilarang makan cammugu-mugu (babi)
i. dilarang mappakkere’ (mempercayai
benda keramat)
Setelah ketentuan-ketentuan ditetapkan maka
Arung Matowa Wajo mempercayakan pengurusan dan penyusunan aparat sara’ (pejabat
syariat, pen.) kepada Sulaiman Khatib Sulung. Sebagaimana sudah kita sebutkan
sebelumnya bahwa Parewa Sara’ inilah yang mendampingi raja dalam menjalankan
syariat Islam. Maka sudah barang tentu bahwa apabila terjadi pelanggaran
terhadap larangan-larangan yang telah ditetapkan diatas, pasti pelakunya akan
dijatuhi hukuman/sanksi sesuai syariat Islam. Dan tentu hal serupa terjadi pada
seluruh Kerajaan dibawa kekuasaan gowa ini, karena bisa kita lihat bahwa secara
umum berlaku sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng selalu terdiri dari Pampawa
Ade’ dan Parewa Sara’.
v Di bidang hukum/peradilan
Dalam Lembaga
Pangngadakkan/pangngaderreng yang terdiri dari Pampawa Ade’ (pelaksan adat)
yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara’ (pejabat syariat) yaitu
Ulama, Qadhi, Imam, dan lain-lain. Maka kita tahu bahwa Kadi (Qodhi) inilah
yang menjadi hakim yang akan mengadili segala perkara dalam penerapan syariat
Islam. Sekalipun fungsi Kadi (Qodhi) ini tidak hanya mengadili perkara tentang
syariat Islam akan tetapi juga sebagai pejabat sara’ mengatur urusan
upacara-upacara keagamaan (hari besar Islam, pen.) seperti Maulid Nabi Muhammad
SAW, Isra’ mi’raj Nabi, Sembahyang (Shalat, pen.)Ied dan lain-lain yang
diadakan diistana raja. Juga urusan pernikahan dan urusan kematian terutama
keluarga raja.
Tentang
keberadaan Kadi (Qodhi, pen.) yang sering juga di sebut KALI bisa kita jumpai
setidaknya sebagai mewakili seluruh kerajan yang lain yakni Kerajaan Gowa
sebagai pemimpin Kerajaan-Kerajaan lainnya, diangkat seorang Kali (Kadhi)
dengan sebutan Daengta Kalia atau Daengta Kali Gowa8. Di Kerajaan Bone juga diangkat Kali (Kadhi)
dengan sebutan Petta KaliE . Disebut Petta karena semua Kali diangkat dari
kalangan bangsawan. “Petta” adalah sebutan bangsawan berarti “Tuanku”. Begitu
juga di Kerajaan Wajo diangkat juga Kali (Kadhi).9 Keberadaan Qodhi (Kadhi/Kali) yang sering
juga disebut Daengta Kalia/Petta KaliE menunjukkan bahwa penerapan syraiat
Islam sudah terlembaga dengan sitematis pada waktu itu.
v Di bidang politik dan pemerintahan
Pemberian
gelar “Sultan” kepada Raja
Raja Gowa XIV I
Mangarangi Daeng Manrabiah yang memeluk Islam pertama kali dari raja-raja Gowa
bersama pamannya I Mallingkaan Daeng manyonri’ (raja Tallo) selaku Mangkubumi
(kepala pemerintahan/perdana menteri) Kerajaan Gowa. Kemudian Kemudian I
Mangarangi Daeng Manrabiah diberi gelar Sultan Alauddin sedangkan I Mallingkaan
Daeng Manyonri diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Menurut Andi Kumala Idjo, SH
sebagai putra Mahkota kerajaan Gowa sekarang mengatakan bahwa gelar “Sultan” ini
diberikan oleh Mufti Makkah.10
Sejak raja Gowa XIV itulah gelar “Sultan” diberikan kepada setiap raja Gowa
berikutnya, semisal Raja Gowa XV I Mannuntugi Daeng Mattola Karaeng Lakiung,
diberi gelar Sultan Malikussaid oleh Mufti Arabia.11 Begitu pula raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng
Mattawang diberi gelar Sultan Hasanauddin, demikian seterusnya.
Pemberian gelar
“Sultan” ini oleh Mufti Makkah/Arabia, menunjukkan adanya hubungan struktural
antara Kesultanan Gowa dengan Negara Khilafah Islamiah pada waktu itu. Dimana
Makkah adalah bagian integral dari Kekhilafahan Islam, yakni Makkah sebagai
wilayah kegubernuran (wali) dari Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1605 saat raja
Gowa XIV telah masuk Islam, masa itu Khilafah dipimpin oleh Khalifah Ahmad I
(1603-1617) dari kekhalifahan Bani Utsmaniyah.
Setelah Islam
menjadi agama resmi Kerajaan Gowa-Tallo’ maka Kerajaan ini kemudian menerapkan
syariat Islam melalui lembaga Parewa Sara’ (Pejabat Syariat, pen.) yaitu Ulama,
Qodhi (Kali/Kadi), Imam, dst. Sekalipun masih tetap ada Lembaga Pampawa Ade’
(pelaksana Adat) yaitu raja dan pembatu-pembantunya, akan tetapi Syariat tetap
masih mengakomodasi hukum-hukum adat yang tidak bertentangan dengan Syariat
Islam. Contoh-contoh penerapannya sudah disebutkan diatas.
D.
Latar Belakang Kemunduran
Kerajaan Gowa
Daerah
kekuasaan Makassar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada
dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang
dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara
Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara
Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk
mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu
Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu
dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar.
Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan
kerajaan Makassar.
Isi dari perjanjian
Bongaya antara lain:
- VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
- Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
- Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
- Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra
Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan
rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya
Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami
kehancurannya.
Karaeng Patingalloang,
seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia,
beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai
berikut:
Ada lima penyebab
runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai
berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika
ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia
kemudian mendapat sebutan Tumenanga ri Bonto Biraeng.
BAB III
KESIMPULAN
Dari sejumlah uraian di atas,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa masuknya Islam di Kerajaan berbeda dengan
masuknya Islam di daerah timur tengah lain. Datangnya Islam ke Makassar berawal
dari aktivitas para pedagang muslim. Kemudian disusul oleh kedatangan sang
Muballig Datuk Ribandang dari Minangkabau yang berhasil mengislamkan dua raja
Kerajaan sehingga diikuti oleh rakyatnya.
Dengan prinsip-prinsip penyebaran
Islam yang bersifat damai dengan metode pendekatan kultural dan struktural.
Islam berhasil menyebar ke penjuru kawasan Sulawesi Selatan. Dan kehadiran
Islam di Makassar ternyata meninggalkan corak budaya dan adat istiadat yang
melekat pada masyarakat Bugis dan Makassar.
Setelah mengalami kemajuan
terutama dalam penyebaran Islam, kerajaan gowa mengalami kemunduran yang
dilatarbelakangi oleh persaingan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone dan kehadiran VOC yang berusaha menguasai masyarakat
pribumi. Hal itu diperparah ketika VOC dan Kerajaan Bone bekerjasama untuk
mengalahkan kerajaan Gowa-Tallo.
Akhirnya, Kerajaan Makassar tersebut mengalami kemunduran sejak
dikeluarkannya Perjanjian Bongaya akibat kekalahannya oleh kedua musuh yang bersekutu.
Yang mana isi perjanjian tersebut merugikan Kerajaan Makassar.
FOOTNOTE
1Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia,(Jakarta:Majelis Ulama Indonesia,1991). hlm. 89.2 Naim, Mochtar. Merantau
3 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988
3 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.4 Ibid.5 Ibid.6 Ibid.7 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan
3 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007.4 Ibid.5 Ibid.6 Ibid.7 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah “Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan
10 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 20078,9, dan 11. H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Gowa
Yatim, Badri, 1993, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamyah
II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta