Permodalan Berbasis Profit Sharing
Menyuburkan Usaha Mikro
Menyadari Peran UMKM
Tahun 2005 ditetapkan
sebagai tahun mikro oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Dan mungkin masih sedikit yang mengetahuinya. Penetapan ini
berdasarkan adanya kesadaran terhadap peran UMKM (usaha Mikro Kecil Menengah)
dimasa lalu. Di antaranya sebagai berikut :
1. Kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada
tahun 2002, UMKM telah menyumbang sekitar 46,71 persen dari PDB (tanpa migas)
dan sekitar 41,25 persen dari PDB (dengan migas). Angka ini kemudian meningkat
menjadi 56,7 persen atau Rp1.013 triliun pada tahun berikutnya 2003. UMKM telah
memberikan kontribusi sekitar 2,4 poin persentase dari 4,1 persen pertumbuhan
PDB nasional.
2. Kedua, penyerapan tenaga kerja. Pada
tahun 2002, UMKM menyerap sebanyak 68,28 juta tenaga kerja atau sekitar 88,70
persen dari seluruh tenaga kerja yang ada. Kontribusi ini meningkat menjadi 79 juta tenaga kerja atau
sekitar 15,7 persen pada tahun 2003.
3. Ketiga, kontribusi terhadap sektor moneter. Tingkat
kredit macet UMKM pada tahun 2002 hanya sekitar 3,9 persen, sementara kredit
macet di sektor perbankan sendiri mencapai sekitar 10,2 persen (Gunawan
Sumodiningrat, Kompas, 16 September 2004).
Dan sampai sekarang peran UKM tersebut terbukti. 55,6% PDB nasional
ditopang oleh UMKM. Sehingga Ekonomi
Indonesia dinyatakan meningkat 6,5%. Inflasi juga masih terjaga dengan baik di
tengah-tengah hebohnya krisis
yang melanda Negara-negara eropa dan Amerika.
Oleh karena itu, gaya berpikir kapitalis dengan
mengatakan “big is beautiful” tidak selalu benar. Ada banyak lembaga keuangan yang selalu
mengorientasikan dana sebesar-besarnya untuk proyek bisnis pada perusahaan
besar namun tidak menyadari begitu banyak peluang keuntungan di sektor UMKM
(usaha kecil menengah).
Memahami pentingnya
peertumbuhanekonomi mikro ini. Beberapa
Lembaga mulai banyak beralih fokus ke sektor UMKM. Terutama terutama di area
perbankan Syariah. Begitu juga dengan BMT yang sudah banyak melahirkan lembaga
microfinance yang dengan cepatnya menjalar ke masyarakat.
Produk-Produk Syariah pada Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS) yang menjanjikan keadilan pada praktek bisinis non-riba berhasil
menarik minat masyarakat kecil dan menengah agar turut ikut berpartisipasi. Produk-produk
tersebut diantaranya, murabahah, mudharabah dan musyarakah, ijarah, Qardh, rahn
. Namun pada essai kali ini penulis hendak sedikit membahas profit-sharing _mudharabah dan musyarakah_
pada bisnis ekonomi mikro. Ke dua Bisnis
ini juga menjadi solusi di tengah-tengah
maraknya praktek riba yang sudah banyak merugikan nasabah kecil.
Aplikasi Musyarakah dan Mudharabah pada Sektor Mikro
Sebelumnya kita perlu
mengetahui seperti apa sistem musyarakah dan mudharabah itu sendiri. Diantara
manusia ada punya modal berlebih namun tak sanggup mengelolanya, sebaliknya ada
juga yang berpotensi dalam usaha bisnis, punya skil dan semangat kerja namun
dihambat oleh modal.
Dari sinilah
latar belakang timbulnya akad Mudharabah sebagai solusi untuk ke dua pihak tersebut tersebut. Al-Mudharabah adalah suatu
akad dimana shahibul maal (pemilik modal) memberikan
dananya 100 % dan pihak lainnya (mudarib) sebagai pengelola. Jika
terjadi kerugian maka semua ditanggung oleh shahibul maal dan mudharib.
Sedang keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. (Prinsib-Prinsib Bank
Syariah, Syafi’i Antonio).
Adanya kontrak antara investor dan penggiat UMKM pada akhirnya akan menimbulkan simbiosis
mutualisme antara ke dua belah pihak tersebut.
Sistem profit loss sharing yang diterapkan sangatlah pas dengn prinsip
keadilan. Dalam artian tidak ada yang dirugikan atau terzaholimi. Dalam konsep
mudharabah ini. Dana yang diserahkan diharapkan berfungsi sebagai kail yang
akan menghasilkan profit yang lain. Bukannya ikan yang setelah di konsumsi akan habis begitu saja.
Selain itu, sistem ini akan lebih menumbuhkan rasa
tanggung jawab terhadap modal yang diterima pengelola. Uang yang diserahkan
bertujuan untuk dikelola kembali bukan untuk dikonsumsi begitu saja. atau yang
sering terjadi malah digunakan untuk menutup lobang (baca utang) lain. Sehingga
uang hanya akan berputar-putar tanpa menghasilkan profit dan minim manfaat. Selain bertujuan untuk membantu pengusaha
mikro, investor pun memperoleh keuntungan dari bagi hasil tersebut. ditambah
lagi ia tak perlu lagi menerapkan praktek riba.
Ada pun Musyarakah secara makro sistemnya sama dengan
joint venture yang dilakukan 2 perusahaan. Al Musyarakah adalah suatu akad yang terjadi kesepakatan
antara dua orang atau lebih untuk saling menyertakan modalnya dalam suatu
usaha. Dan mereka saling berbagi keuntungan ataupun kerugian berdasarkan kesepakatan
bersama. Pada sektor mikro, musyarakah ini bisa
diaplikasikan oleh pihak Bank atau LKMS lainnya dan Nasabah. Dengan penyatuan
modal tersebut para pihak yang terlibat bisa memaksimalkan usaha bisnisnya
berbarengan. Tentunya ini bisa tercapai selama tujuan dari ke dua belah pihak
atau lebih sama.
Musyarakah yang diaplikasikan lembaga keuangan
seperti di bank syariah atau LKMS lainnya ada beberapa bentuk. Ada yang
melakukan proyek secara permanen dan ada juga modal yang di salurkan berfungsi
sebagai working capital, dimana pihak bank atau LKMS pada awalnya ikut
menjalankan usaha namun pada periode tertentu nasabah bisa membeli semua hak
kepemilikan pada usaha tersebut dengan membayar sedikit demi sedikit modal dari
bank yang sebelumnya dikumpulkan. Sehingga pengusaha tersebut bisa dengan mandiri menjalankan
usahanya.
Dilihat dari
sini maka hal dasar yang membedakan antara sistem kredit konvensional dan
sistem kredit syariah adalah terletak pada sistem pengembalian modal (pembagian
keuntungan ataupun kerugian). Dalam sistem konvensional didasarkan pada modal
yang dipinjam, jadi untung atau rugi tidak diperhitungkan. Sedangkan bagi bank
syariah keuntungan didasarkan pada keuntungan atau kerugian yang didapat (actual
profit / revenue) tidak pada modal yang disetor.
Bagi UMKM hal ini tentu saja akan menguntungkan bagi mereka, karena bila di
akhir nanti terjadi rugi maka yang menangung adalah dua pihak, yaitu antara
pihak penyandang dana dan UMKM sendiri. Hal ini akan membuat UMKM mencoba untuk berusaha
lagi karena modal yang digunakan untuk menangung kerugian tidak terlalu besar.
Beda dengan bank konvensional, maka kerugian yang ditangung adalah sebesar
modal dan ditambah dari presentase bunga yang disepakati.Adanya sistem seperti ini tentu saja akan semakin memakmurkan dan
meramaikan Usaha mikro di tengah masyarakat.
Analisa Pembiayaan BMT pada Usaha Mikro.
Sudah banyak lembaga
keuangan mikro yang menerapkan profit sharing. Namun yang paling eksis dan
benar-benar terjun saat ini adalah BMT (Baitul Maal Wat Tamwil). BMT adalah
Lembaga Keuangan Mikro yang dapat dan mampu melayani kebutuhan nasabah usaha
mikro kecil dan kecil-mikro berdasarkan sistem syariah atau bagi hasil (Profit
Sharing).
Didalam ilmu manajemen bahwa manajemen pembiayaan
merupakan suatu cara usaha mengatur dan melakukan proses pembiayaan untuk
mencapai tujuan pembiayaan yaitu keamanan, kelancaran dan menghasilkan. Khusus
dalam mengelola Usaha Mikro ada dua hal yang harus terpenuhi yaitu modal dan
Sumber daya manusia yang memadai. Untuk Modal, bisa dipenuhi dengan sistem
Musyarakah ataupun Mudharabah. Yang jadi
masalah adalah syarat yang ke dua. Lemahnya kualitas sumber daya manusia sebagai
pengelola bisa menghambat bisnis mikro. Sehingga pihak dituntut BMT harus bisa
mengenal calon penerima modal dengan baik
Maka dari itu, dibutuhkan analisa kelayakan dan
analisa pembiayaan dalam mengatur proses pembiayaan UMKM. Dengan kedua analisa
tersebut, pihak Investor bisa menentukan seberapa besar modal yang harus dan
layak ia sediakan untuk penggiat UMKM.
Analisa
kelayakan berdasarkan usaha meliputi aspek manajemen, aspek pemasaran, aspek
produksi, aspek hukum, aspek keuangan dan aspek sosial ekonomi. Layak
berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha belum tentu layak dibiayai karena tidak
cukup hanya layak usaha namun perlu adanya analisa kelayakan pembiayaan
dengan memperhatikan faktor carakter, capital, capacity, condition dan
colateral atau dikenal dengan istilah 5C. Penerapan 5C bukan sekedar
syarat diatas kertas, tetapi masuk dalam ruang bisnis anggota. Jadi, Investor atau pemberi modal tidak serta
merta menyerahkan modal begitu saja tanpa mengetahui dengan jelas usaha apa
yang akan dijalani si pengusaha kecil tadi.
Salah satu
yang membedakan analisa pembiayaan pada sistem syariah dengan konvensional
adalah bagaimana pihak BMT terjun langsung melihat dan terlibat dalam proses
bisnis calon anggota sehingga memahami betul kejadian-kejadian bisnis. Ini
dilakukan karena BMT bukan memberikan pinjaman uang tetapi BMT terlibat dalam
bisnisnya anggota. Untuk itu disusun manajemen pembiayaan sebagai acuan BMT
agar tidak memberikan perlakuan berbeda kepada siapapun sehinggga bila anggota
melakukan pengajuan pembiayaan dapat memahami dengan jelas tahapan dan proses
yang berlaku.
Sejauh ini BMT sudah mengoordinasikan diri dengan
membentuk payung-payung BMT untuk melakukan manajerial, pemasaran hingga
membuka akses permodalan. Diantanya adalah BMT center, Induk Koperasi Syariah
(Inkopsyah), dan pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PinBuk).
Untuk bisnis permodalan bagi hasil pada usaha
mikro, BMT Center telah mendirikan PT. Permodalan BMT Ventura (PBV). Tiga tahun
setalah mengantungi izin operasional
oleh menteri keuangan, PBV telah mampu memberikan pembiayaan yang produktif
terhadap 8388 pengusaha mikro, dengan rata-rata portofolio per pembiyaan
terhadap pengusaha UMKM sebesar Rp. 3.329.318.
Sektor perdagangan berada di urutan pertama daftar
penerima manfaat pembiyaan (63%). Perdagangan yang di maksud di sini adalah
pedagang tradisional. Disusul di urutan ke dua adalah sektor jasa, seperti
tukang cukur, tukang ojek dan jasa-jasa mikro lainnya (22%). Kemudian di sektor pertanian (7%), sektor
Industri (6%), dan konsumsi (2%). (Sharing,
edisi 47 thn V November 2010)
Kian makmurnya permodalan dengan bisnis profit
sharing seperti yang dilakukan BMT di tahun 2010 tersebut mengundang banyak Lembaga keuangan
perbankan untuk mencondongkan hati mereka pada bisnis di sektor UMKM. Mengingat
di Indonesia ada sekitar 50 juta pengusaha mikro. Pada tahun 2011 porsi pembiayaan BRI Syariah di sektor mikro 73%. Pada bank Mega Syariah (BMS), UMKM juga mendominasi pembiayaan sebesar 87%. Adapun Bank Muamalat Indonesia (BMI),
melakukan linkage program melalui pole executing dan channeling dengan sekitar
1273 BPRS dan BMT seluruh indonesia. Jumlah penyaluran BMI melalui executing
mencapai 895 Miliar dan channeling 1,13 triliun.
Kesuksesan
permodalan dengan akad musyarakah dan
mudharabah pada UMKM sekarang ini sudah bisa dibilang meyuburkan usaha mikro.
Olehnya itu kita harapkan Permodalan tersebut bisa lebi menjangkau masyarakat
miskin ke pulau-pulau terpencil lainnya.
Sehingga adanya pembiayaan yang merata di selurah indonesia